Musik Prajurit Keraton Yogyakarta

Korps musik menjadi bagian tak terpisahkan dari Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta. Sebagai prajurit pengawal upacara, musik prajurit keraton memiliki daya tarik tersendiri. Musik prajurit menjadi atraksi budaya sekaligus kekayaan musik lokal yang memberi warna pada budaya Jawa. Musik yang dimainkan memiliki akar jauh ke belakang, ke masa di mana Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta masih merupakan kekuatan keamanan. 

Kelengkapan Bregada PrajuritKeraton Yogyakarta yang dikenal saat ini diduga berasal dari masa berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), hasil dari pengembangan selama masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1826; 1828-1855). Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda memangkas kedaulatan politik dan kekuatan militer keraton. Sebagai imbangannya, mereka memberi atribut prajurit yang mirip dengan militer Eropa saat itu. Sejak saat itu, prajurit keraton dari awalnya berfungsi penuh sebagai kekuatan militer mulai bergeser sebagai penjaga  keamanan dan kelengkapan upacara saja. Besar kemungkinan, gendhing atau lagu bregada prajurit juga mulai dikembangkan pada masa ini dan mendapat bentuk baku pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877).

Prajurit Alat Musik 12042022 01

Seperti kelengkapan pakaian, corak musik prajurit Keraton Yogyakarta merupakan kombinasi unik antara unsur Jawa dan Eropa-Belanda. Selain itu, unsur Makassar juga terasa memengaruhi. Ini tidak mengherankan karena terdapat dua bregada prajurit yang berasal dari Sulawesi Selatan, yaitu Bregada Dhaeng dan Bregada Bugis. Akulturasi dari tiga unsur ini tampak pada nama gendhing, melodi, maupun alat musik yang digunakan. 

Ragam Gendhing Prajurit Keraton Yogyakarta

Gendhing prajurit keraton dapat dibagi ke dalam fungsinya masing-masing. Ada gendhing lampah mares dan gendhing lampah macak yang digunakan untuk berbaris. Tiap bregada memiliki gendhing-nya masing-masing. Ada pula gendhing caos yang digunakan sebagai penanda dibuka dan ditutupnya gerbang keraton oleh prajurit yang bertugas. Ada gendhing barangan, lagu-lagu yang digunakan korps musik prajurit keraton untuk dimainkan di Kepatihan (kediaman resmi Pepatih Dalem) dan Kadipaten (kediaman Putra Mahkota). Ada gendhing kurmat yang dimainkan  sebagai bentuk penghormatan. Ada juga Gendhing Tembang Tengara yang digunakan sebagai tanda berkumpul.

Gendhing yang beraneka macam ini memiliki nama-nama yang unik. Seperti Dhayungan, Tameng Medura, Harjuna Mangsah, Plangkiran, Pandhenburg, Restopelen/Stopelen, dan Mars Stok/Restok. Tiga gendhing yang disebut terakhir di atas merupakan nama gendhing lampah mares yang diserap dari bahasa Belanda. Selain nama, melodi ketiga gendhing tersebut juga mendapat pengaruh Eropa. Pengaruh musik militer Eropa tersebut dapat dikenali dengan pemakaian nada fa dan si dalam melodinya. Selain nama gendhing yang merupakan serapan dari bahasa Belanda, ada juga nama gendhing yang diduga serapan dari bahasa Bugis. Gendhing Beganjar/Makanjar yang digunakan sebagai gendhing kurmat Bregada Dhaeng diperkirakan merupakan adaptasi dari musik pakanjara di Makassar.

Prajurit Alat Musik 12042022 02

Alat Musik Prajurit Keraton Yogyakarta

Korps Musik Keraton Yogyakarta dilengkapi dengan alat musik tambur, suling, slompret, bendhe (besar dan kecil), pui-pui, ketipung, kecer, dan dhodhog. Tiap bregada memiliki kelengkapan alat musik yang berbeda. Bregada Bugis dan Bregada Surakarsa memiliki kelengkapan paling sedikit, hanya tambur dan suling. Sedang Bregada Dhaeng paling lengkap, memiliki semua alat musik kecuali slompret.

Tambur atau genderang adalah alat musik yang biasa digunakan dalam marching band, terutama dalam dunia militer. Tiap bregada memiliki alat musik ini. Dalam gendhing, tambur berguna sebagai pengatur tempo. Walau alat musik tambur berasal dari Eropa, tapi gendhing bregada prajurit keraton memiliki temponya sendiri yang tidak seteratur musik berbaris Eropa.

Suling atau seruling yang digunakan bregada prajurit adalah seruling miring. Tradisi musik Jawa memang mengenal alat musik seruling, tetapi seruling yang ditiup menyamping berasal dari tradisi militer Eropa. Suling yang digunakan oleh bregada prajurit keraton memiliki lubang berjumlah tujuh. Satu lubang untuk menempatkan bibir, dan enam lubang dimainkan dengan jari. Nada dasar yang digunakan adalah F.

Slompret atau terompet juga merupakan alat musik yang berasal dari Eropa. Terompet yang digunakan oleh bregada prajurit keraton adalah jenis terompet sangkakala (bugle) yang biasa digunakan untuk memberi tanda. Terdapat tiga jenis terompet di bregada prajurit keraton; terompet C, terompet bes, dan terompet usar. Terompet C dan bes diberi nama sesuai dengan nada dasar terompet tersebut, sedang terompet usar adalah terompet yang memiliki lengkungan badan dua kali dibanding terompet C dan bes. Terompet usar khusus dimiliki oleh Bregada Ketanggung.

Bendhe adalah alat musik seperti gong namun berukuran kecil. Alat musik ini berasal dari tradisi musik Jawa dan telah digunakan oleh prajurit Jawa sebelum era Kesultanan Yogyakarta. Ada dua bendhe yang digunakan oleh bregada prajurit keraton, bendhe besar dan bendhe kecil. Bendhe besar berdiameter sekitar 32-35 cm sedang bendhe kecil berdiameter sekitar 28-33 cm. Pada masa lalu, sama seperti terompet sangkakala, bendhe juga memiliki fungsi untuk memberi tanda. Bendhe-bendhe tersebut memiliki nada-nada dasar yang berbeda.

Kecer adalah alat musik yang menyerupai simbal kecil. Bentuknya bundar dengan bagian tengah cekung dan dilengkapi tali. Kecer dimainkan dengan menggesekkan dan menangkupkan kedua piringan. Setiap bregada yang dilengkapi bendhe pasti juga dilengkapi dengan kecer. Alat musik ini juga terdapat pada tradisi musik Jawa. Sedang di Makassar, terdapat pula alat musik mirip kecer yang bernama kancing

Pui-Pui adalah alat musik tiup yang berasal dari Sulawesi Selatan (Makassar). Berbentuk seperti terompet dengan tujuh lubang penjarian. Namun bentuk fisik dan cara memainkan pui-pui yang  dimiliki bregada prajurit keraton berbeda dengan pui-pui yang berasal dari Makassar. Pui-pui di Keraton Yogyakarta memiliki ukuran lebih besar dan sumber bunyinya berasal dari carang (bambu tipis). Sementara pui-pui dari Makassar menggunakan daun lontar sebagai sumber bunyi. Ini mengakibatkan teknik pernapasan berputar (tanpa jeda) yang digunakan untuk memainkan pui-pui dari Makassar tidak memungkinkan digunakan pada pui-pui dari keraton.

Ketipung dan dhodhog adalah alat musik yang bentuknya menyerupai kendang Jawa namun dimainkan dengan menggunakan pemukul kayu dengan ujung bulat. Kedua alat musik ini kemungkinan merupakan adaptasi dari alat musik tradisional Makassar yang bernama ganrang/gandrang. Keduanya, ketipung dan dhodhog, hanya dimiliki oleh Bregada Dhaeng dan Bregada Bugis. Ganrang/gandrang sendiri berbeda dengan ketipung dan dhodhog. Ganrang/gandrang bentuknya cembung, sedang ketipung dan dhodhog berbentuk lurus.

Prajurit Alat Musik 12042022 03

Pelestarian Musik Prajurit Keraton Yogyakarta

Pada era modern kini, usaha untuk melestarikan musik keprajuritan terus dilakukan. Termasuk dengan melakukan dokumentasi audio visual atas kekayaan budaya yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta ini. Pengetahuan mengenai musik dan gendhing prajurit Keraton Yogyakarta diteruskan secara turun temurun, dari satu generasi prajurit ke generasi prajurit lain secara lisan. Karena itu besar kemungkinan adanya perubahan atau informasi-informasi yang hilang, termasuk nama atau melodi gendhing. Apalagi mengingat bahwa prajurit Keraton Yogyakarta pernah dibubarkan dari tahun 1942 dan baru diaktifkan kembali tahun 1970.

Baru pada akhir masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang pemain tambur Bregada Mantrijero bernama Sukarno membuat notasi gendhing keprajuritan. Namun notasi ini belum mampu mendokumentasikan seluruh gendhing, karena hanya berguna untuk memudahkan pembelajaran dan hanya untuk tambur dan suling saja.

Berbagai unsur budaya yang menyatu membuat musik keprajuritan Keraton Yogyakarta terasa unik. Mendengarkan lantunan gendhing-gendhing tersebut laksana menyelami semangat budaya Jawa  yang menyambut budaya-budaya lain dengan tangan terbuka, menyerap dan mengolahnya menjadi sesuatu yang baru tanpa meninggalkan kepribadian Jawa yang dimilikinya.


Daftar Pustaka:
Arsa Rintoko. 2016. Akulturasi Gending Keprajuritan Keraton Yogyakarta. Skripsi. Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Danang Ari Nugraha. 2013. Analisis Struktur Komposisi dan Fungsi Musik Bregada Dhaeng di Keraton Kasultanan Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Yuwono Sri Suwito. 2009. Prajurit Keraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Prajurit Kraton SELANJUTNYA

Pakaian Keprajuritan Kasultanan Yogyakarta

Pakaian keprajuritan telah dikenal dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta sejak Pangeran Mangkubumi masih berperang melawan pemerintah VOC (Kompeni Belanda). Pakaian keprajuritan ini kemudian berubah dari waktu ke waktu hingga yang kita kenal saat ini. 

Pakaian perang Pangeran Mangkubumi berupa semacam seragam, celana dan bebed (kain yang menutup badan bagian bawah dan kaki), baju sikepan (baju luar yang dipakai saat membawa senjata), udheng atau ikat kepala, sebilah keris yang diselipkan dalam sabuk, dan satu buah keris lagi yang digantungkan pada sabuk.

Pakaian Prajurit pada Awal Kesultanan

Gubernur VOC Nicolaas Hartingh pernah mendeskripsikan pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi saat pertemuan pribadi mereka di Pedagangan, Grobogan, saat mereka menegosiasikan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas bumi Mataram. Pangeran Mangkubumi menggunakan pakaian putih dan kain, memakai dua keris, tutup kepala ulama yang dibalut dengan ikat kepala linen halus berjahit benang emas. Para pengiring Pangeran Mangkubumi juga mengenakan pakaian yang mirip.

Deskripsi mengenai pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi dalam berperang menunjukkan bahwa pakaian keprajuritan pada awal Kasultanan Yogyakarta telah dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Namun menilik beberapa lukisan tentang prajurit Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat dikatakan bahwa corak Islam ada dalam tiap seragam prajurit.

 

3.3.3 1 Prajurit Bugis
Prajurit Bugis dengan pakaian yang didominasi warna hitam

 

Masuknya Pengaruh Eropa pada Pakaian Prajurit Keraton Yogyakarta

 

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai dipakai pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-pengaruh Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler pada Sultan yang berkuasa.

Selepas kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), pemerintah Hindia Belanda memangkas kemampuan militer Kasultanan Yogyakarta hingga prajurit keraton hanya berfungsi sebagai kesatuan pengawal istana dan upacara keraton saja. Mulai masa inilah pakaian prajurit keraton berkembang menjadi yang dikenal sekarang. Saat ini kita melihat unsur-unsur Eropa tersebut diselipkan secara bijak dalam bentuk kaos kaki, sepatu, maupun topi.

Makna Warna pada Pakaian Prajurit Keraton

 

Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata. Mulai warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya sendiri. Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia dibagi ke dalam empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian di tengah sebagai pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Keempat nafsu ini kemudian diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu warna hitam, merah, kuning, dan putih. 

Warna hitam terletak di utara. Warna merah berada di selatan. Warna putih di timur. Warna kuning bertempat di barat. Sedang sebagai pusat adalah perpaduan berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut memiliki asosiasi dengan berbagai macam hal. Seperti sifat, benda-benda, maupun titah alus.

Pada pakaian prajurit keraton, warna-warna ini juga memiliki makna maupun asosiasinya masing-masing.

Warna hitam digunakan secara dominan pada baju, celana, dan topi Prajurit Bugis, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian Prajurit Nyutra Ireng, dan topi mancungan dari Prajurit Dhaeng. Warna hitam adalah warna tanah. Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.

Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan oleh hampir semua prajurit. Misalnya untuk blangkon Prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih. Warna wulung dekat dengan warna hitam sehingga bermakna sama.

Warna biru digunakan secara terbatas. Misalnya pada kaos kaki Prajurit Jagakarya, lonthong (sabuk) Prajurit Dhaeng (Jajar Sarageni, Jajar Sarahastra, dan Prajurit Dhaeng Ungel-ungelan). Makna dari penggunaan biru dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh dan ayom.

Warna hitam dalam mancapat berasosiasi dengan arah utara, besi, burung dhandang (semacam bangau hitam), lautan nila (warna biru indigo), hari pasaran Wage, serta Dewa Wisnu. Warna ini merupakan perwujudan dari nafsu aluamah, yaitu nafsu yang dasar seperti nafsu untuk makan dan minum.

3.3.3 2 Prajurit Wirabraja
Prajurit Wirabraja dengan pakaian yang didominasi warna merah

 

Warna merah digunakan pada beberapa pasukan. Prajurit yang paling dominan menggunakan warna merah adalah Prajurit Wirabraja, yang menggunakan warna ini pada topi centhung, baju sikepan, celana, srempang, dan endhong. Prajurit lain yang juga menggunakan warna merah adalah Prajurit Dhaeng. Warna merah diterapkan pada hiasan di depan dada, ujung lengan baju, serta plisir pada samping celana.

Prajurit Nyutra Abang menggunakan warna merah pada baju tanpa lengan dan celana. Prajurit Prawiratama menggunakannya sebagai celana. Prajurit Patangpuluh menggunakan warna merah untuk pelapis baju serta rangkapan baju dan celana. Warna merah juga digunakan dalam kain cindhe yang dikenakan oleh berbagai pasukan prajurit. Warna jingga atau oranye digunakan untuk baju dalam Prajurit Jagakarya. Warna ini jarang digunakan dan sering dimasukkan ke dalam warna merah.

Merah sering dikonotasikan dengan keberanian. Dalam mancapat, warna merah berasosiasi dengan api, arah selatan, logam swasa (campuran antara emas dan tembaga), burung wulung, lautan darah, hari pasaran Pahing, serta Dewa Brahma. Warna ini merupakan perwujudan nafsu amarah, dimana manusia memiliki nafsu untuk bercita-cita hidup sejahtera, termasuk nafsu untuk memiliki harga diri.

Warna kuning tidak digunakan secara dominan pada prajurit keraton. Warna ini hanya digunakan sebagai hiasan saja. Warna kuning bermakna keluhuran, ketuhanan, dan ketentraman.

Warna emas dianggap dekat dengan warna kuning. Warna kuning emas digunakan misalnya oleh Prajurit Wirabraja untuk plisir pada topi centhung Panji dan plisir pada baju sikepan Panji. Warna emas digunakan antara lain untuk membedakan antara Lurah dan Prajurit Jajar. Warna emas adalah lambang kemuliaan dan keagungan.

Warna kuning dalam mancapat berasosiasi dengan udara, arah barat, logam emas, burung podhang, lautan madu, hari pasaran Pon, serta Dewa Bayu. Warna ini merupakan perwujudan nafsu supiyah, di mana manusia memiliki cita-cita untuk menikmati keindahan (lukisan, pemandangan, kecantikan, dll).

Warna putih digunakan oleh hampir semua prajurit dalam berbagai bentuk, terutama untuk bagian yang sekunder seperti baju rangkap, atau sayak. Pasukan yang menggunakan warna putih secara dominan adalah Prajurit Dhaeng dan Surakarsa. Kedua pasukan ini menggunakan warna putih untuk baju dan celana panjang. Sebagian lain yang menggunakan warna putih untuk celana panjang adalah Prajurit Ketanggung, Prawiratama, dan Patangpuluh.

Warna putih berdekatan dengan makna dengan kebersihan dan kesucian. Dalam mancapat, warna putih berasosiasi dengan arah timur, perak, burung kuntul, air, santan, hari pasaran Legi, serta Dewa Komajaya. Warna ini merupakan perwujudan nafsu mutmainah, di mana manusia memiliki jiwa yang bersih dan bisa membedakan hal baik dan hal buruk.

Makna Motif pada Pakaian Prajurit Keraton

 

Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan pakaian prajurit juga memiliki motif. Motif yang ada antara lain batik, lurik, dan cindhe.

Kain dengan motif batik digunakan oleh para Manggala, Wedana Ageng, Pandhega, dan Panewu Bugis. Prajurit lain yang mengenakan kain batik adalah Surakarsa. Kain batik digunakan secara simbolik untuk menunjukkan adanya hirarki. Kain batik dengan ragam hiasnya yang bervariasi tersebut memiliki lebih banyak makna dan relatif lebih mahal memiliki lebih banyak makna daripada sekadar kain polos.

?Kain dengan motif lurik digunakan sebagai baju luar untuk Prajurit Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Patangpuluh, dan Langenastra. Baik untuk Lurah Parentah maupun untuk Prajurit Jajar. Kain lurik bukanlah kain mahal seperti batik. Filosofinya juga tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian sehari-hari seperti surjan dan peranakan. Oleh karena itu, makna kain ini cenderung kepada kesederhanaan, kesetiaan, dan kejujuran.

Motif lurik yang digunakan sebagai pakaian seragam prajurit keraton dinamakan Lurik Ginggang yang berarti renggang karena antara lajur warna yang sama diisi oleh lajur warna yang lain. Namun makna yang lebih dalam lagi adalah kesetiaan prajurit kepada rajanya, serta hubungan antar prajurit jangan sampai ada kerenggangan.

Warna lurik yang mendekati abu-abu melambangkan kasih sayang dan restu raja terhadap prajurit laksana abu yang tak dapat dibakar oleh api. Meskipun demikian, terdapat motif lurik yang berbeda di antara prajurit-prajurit tersebut. Dalam hal ini, perbedaan motif dapat dianggap bermakna identitas.

Kain dengan motif cindhe digunakan untuk celana panji-panji, lonthong (misalnya untuk Manggala, Prajurit Ketanggung, Prajurit Patangpuluh, dan Prajurit Mantrijero), serta bara (misalnya untuk Manggala, Prajurit Patangpuluh, dan Prajurit Mantrijero). Cindhe merupakan motif kain yang terpengaruh dari India. Penggunaan motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos dan batik. Biasanya berdasar warna merah. Penggunaan warna yang cenderung menegaskan makna keberanian yang disandang oleh para prajurit.

 

3.3.3 3 Prajurit Surakarsa
Prajurit Surakarsa dengan pakaian yang didominasi warna putih

Mengenal Bregada Prajurit Keraton Berdasar Pakaiannya

Dengan mengamati warna dan motif pakaian, prajurit keraton dapat dibedakan dengan mudah. Prajurit Wirabraja mudah dikenali lewat pakaian yang dominan merah. Termasuk topinya yang berujung lancip sehingga sering disebut sebagai Prajurit Lombok Abang.

Prajurit Nyutra terbagi dua. Prajurit Nyutra yang memakai baju merah dan yang memakai baju hitam. Persamaannya adalah kedua prajurit tersebut menggunakan lengan baju berwarna kuning. Pada masa lalu, warna kuning itu dimunculkan dengan lulur yang langsung diberikan pada kulit lengan dan kaki prajurit.

Ada dua prajurit yang dapat dikenali lewat pakaiannya yang dominan putih. Prajurit Surakarsa dan Prajurit Dhaeng. Bedanya adalah Prajurit Dhaeng memiliki hiasan berwarna merah di dada.

Adapun prajurit yang pakaiannya dominan hitam adalah Prajurit Bugis dan Prajurit Prawiratama. Bedanya adalah Prajurit Bugis menggunakan topi tinggi berbentuk silindris.

Ada empat bregada prajurit yang menggunakan pakaian bermotif lurik. Prajurit Ketanggung, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Jagakarya. Perbedaannya mudah dilihat dari celana dan kaus kaki. Prajurit Ketanggung menggunakan celana hitam. Prajurit Patangpuluh menggunakan celana merah. Prajurit Mantrijero dan Jagakarya sama-sama menggunakan celana bermotif lurik, namun Prajurit Mantrijero menggunakan kaos kaki putih sedang Prajurit Jagakarya menggunakan kaos kaki hitam/biru tua.

Pakaian prajurit keraton memang telah kehilangan fungsi praktisnya dalam peperangan. Hal ini sesuai dengan fungsi prajurit keraton yang sebelumnya sebagai kesatuan militer berubah menjadi pengawal kebudayaan. Walau demikian, simbol-simbol yang diwakili oleh pakaian dan atribut yang dikenakan oleh prajurit keraton tidak lantas pudar. Watak ksatria yang dimiliki oleh prajurit keraton diharapkan tetap dipegang teguh oleh para prajurit dan dapat dipancarkan kepada masyarakat yang lebih luas.

 
4.jagakarya
Kain lurik pada pakaian Prajurit Jagakarya

 


Daftar Pustaka:
Mari Condronegoro, 1995. Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta (Cetakan Kedua/Edisi Revisi). Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama
M. Ricklefs. 2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi. Yogyakarta: Matabangsa
RM Pramutomo. 2009. Tari, Seremonial, dan Politik Kolonial (I). Surakarta: ISI Press Solo
_____________. 2010. Tari, Seremonial, dan Politik Kolonial (II). Surakarta: ISI Press Solo

 

 

Prajurit Kraton SELANJUTNYA

Dari Penjaga Kedaulatan Hingga Pengawal Budaya

Keberadaan Prajurit Keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari perang antara Pangeran Mangkubumi melawan VOC (1746-1755). Dalam perang yang disebut juga sebagai "Perang Mangkubumen" ini, Pangeran Mangkubumi dibantu oleh banyak pihak, termasuk kerabat dari lingkungan keraton. Di antaranya ada Raden Rangga Prawirasentika, Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Singasari, Pangeran Hangabehi, dan Raden Mas Said. Beberapa kerabat tersebut memiliki pasukan sendiri yang tentu saja turut serta dalam perang yang dijalankan oleh pemimpin mereka.
 
 
Perang Mangkubumen berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti menandai pula lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Dengan terbentuknya kerajaan baru, maka sudah menjadi kewajaran apabila dibentuk pula perangkat untuk menjalankannya. Abdi Dalem sebagai aparatur sipil, dan prajurit sebagai aparatur militer. Kesatuan-kesatuan prajurit yang berperang dalam Perang Mangkubumen itulah yang kemudian menjadi cikal bakal Prajurit Keraton Yogyakarta.
 
 
Tidak mengherankan apabila kemudian kekuatan militer Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tergolong sangat kuat. Sebagai gambaran, pada tahun 1781, Sri Sultan Hamengku Buwono I mampu memenuhi permintaan bantuan dari Belanda yang sedang berperang melawan Inggris. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengirim 1132 prajurit ke Batavia. Jumlah itu terdiri dari 1000 prajurit biasa, 100 pasukan milik Putra Mahkota (Adipati Anom), dan 32 perwira yang terdiri dari para pangeran.
 
 
2. Ilustrasi Pengikut Mangkubumi
Ilustrasi pengikut Pangeran Mangkubumi dalam relief di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Sumber: Tepas Tandha Yekti
 
Kekuatan militer Keraton Yogyakarta berkembang lagi pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II sangat membenci Belanda yang ia nilai terus merongrong kewibawaan dan kekuasaannya. Karena itu ia terus memperkuat kekuatan pertahanan sebagai persiapan jika harus berperang.
 
Keempat sudut benteng dibangun lebih menonjol dan diperlengkapi dengan bastion (menara pantau) sehingga tampak seperti yang kita kenal saat ini. Meriam-meriam baru di cor di Gresik, sedang perlengkapannya dikerjakan di pabrik senjata kerajaan di Kota Gedhe.
 
 
Pada 1808, Sri Sultan Hamengku Buwono II memiliki sekitar 1.765 prajurit, 976 di antaranya menyandang senapan. Semuanya merupakan pengawal pribadi Sultan yang digaji dalam bentuk tanah dan tinggal sangat dekat dengan keraton.
 
 
Selain pasukan istimewa tersebut, Sultan dapat juga mengerahkan pasukan para pejabat yang disebut sebagai prajurit arahan. Ada sebanyak 7.246 prajurit milik para pangeran keraton. Sedangkan dari para bupati, Sultan masih bisa mendapatkan 2.126 prajurit lagi. Dapat dikata, Sultan mampu menghimpun pasukan lebih dari 10.000 prajurit jika dibutuhkan.
 
 
Kesatuan-kesatuan prajurit yang dimiliki keraton saat itu memiliki kekhasannya masing-masing. Seperti misalnya Prajurit Suronoto, adalah pasukan yang terdiri dari kelompok pejabat agama bersenjata.
 
 
Begitu juga Prajurit Dhaeng, yang berasal dari Sulawesi. Pasukan ini didatangkan ke Jawa dan menjadi bagian dari kekuatan Raden Mas Said. Awalnya Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I) dan Raden Mas Said bersekutu. Tapi terjadi perselisihan yang berujung pada perceraian Raden Mas Said dengan istrinya, Ratu Bendara, yang merupakan putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono I.
 
Raden Mas Said kemudian memulangkan mantan istrinya itu dengan pengawalan prajurit pilihan yang tidak lain adalah Prajurit Dhaeng. Sesampainya di Keraton Yogyakarta, rombongan ini disambut dengan sangat baik oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Atas keramahan itu, Prajurit Dhaeng memutuskan tidak pulang dan malah mengabdi setia kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I.
 
 
Ada juga Prajurit Langenkusumo. Kadang disebut juga sebagai prajurit estri (perempuan). Prajurit Langenkusumo terdiri dari prajurit perempuan yang berasal dari anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga lapisan atas di pedesaan. Kemampuan Prajurit Langenkusumo pernah mengundang decak kagum Daendels pada kunjungannya di tahun 1809. Selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, ia disuguhi pertunjukan berupa perang-perangan yang dilakukan empat puluh anggota Prajurit Langenkusumo di alun-alun selatan. Prajurit-prajurit perempuan tersebut mampu menunggang kuda dengan begitu tangkas dan mampu menembakkan salvo dengan sangat baik.
 
 
Seperti yang sudah diperhitungkan, ketegangan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan pemerintah kolonial semakin memuncak. Perselisihan ini berakibat pada penyerbuan tentara Inggris, yang saat itu menguasai Hindia Belanda, ke dalam Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juni 1812 pertahanan Keraton berhasil dijebol. Peristiwa ini dikenal dengan Geger Sepehi, yang mengambil nama dari resimen Sepoy asal India yang direkrut oleh Inggris untuk menyerang Keraton.
 
 
Kekalahan Keraton Yogyakarta mengakibatkan Sri Sultan Hamengku Buwono II turun dari tahta. Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II kemudian digantikan oleh Putra Mahkota yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Akibat kekalahan ini, Sultan yang baru terpaksa menandatangi perjanjian yang disodorkan oleh pemerintah kolonial. Perjanjian tersebut antara lain melarang keraton untuk memiliki pasukan militer apapun kecuali yang diizinkan oleh pemerintah kolonial. Prajurit Keraton tidak lebih hanya berfungsi sebagai pengawal Sultan dan penjaga keraton.
 
 
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV, usaha untuk melemahkan pertahanan keraton terus dilakukan. Jumlah prajurit dikurangi kembali. Pemukiman prajurit yang sebelumnya ada di dalam benteng dipindahkan keluar dengan alasan pemukiman di dalam benteng sudah terlalu padat.
 
 
Tak ayal pemindahan prajurit ke luar benteng melemahkan pertahanan keraton. Menanggapi hal trsebut, Sri Sultan Hamengku Buwono IV kemudian menempatkan pemukiman baru tersebut mengelilingi keraton sehingga membentuk tapal kuda dari arah barat, timur, dan selatan. Dengan demikian para prajurit masih bisa segera melindungi keraton apabila diperlukan.
 
 
Dalam masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V, terjadilah perang terbesar dalam sejarah Pulau Jawa. Perang tersebut dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro, putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III. Oleh karenanya sering disebut sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830).
 
 
Perang yang sangat luas dan berkepanjangan ini menimbulkan trauma pada pihak Belanda. Mereka tidak mau lagi ada prajurit yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk melawan mereka. Sekali lagi terjadi pemangkasan Prajurit Keraton secara besar-besaran. Jumlah kesatuan prajurit dikurangi separuhnya hingga tinggal tiga belas saja. Pada tiap kesatuan dilakukan pelucutan senjata hingga kekuatan personil berkurang sampai hanya tinggal seperempatnya. Prajurit Keraton yang awalnya merupakan penjaga kedaulatan kini benar-benar hanya berfungsi sebagai prajurit seremonial belaka.
 
 
Tatkala sisi militer keraton dipangkas hingga habis, sisi kebudayaan menjadi berkembang pesat. Pada saat itulah seragam Prajurit Keraton yang sederhana mulai dikembangkan hingga tampak semarak dan menarik dipandang.
 
 
3. Prajurit Keraton Masa Hb Vii Alternatif
Prajurit Keraton pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Sumber: KITLV
 
Keadaan ini terus berlanjut hingga sepeninggal Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Gubernur Jenderal Hindia L. Adam mendekati calon raja terpilih, GRM. Dorojatun (yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX). Gubernur Adam menyodorkan kontrak politik yang salah satu pasalnya menginginkan supaya Prajurit Keraton Yogyakarta diubah sifatnya. Prajurit yang semula hanya bersifat seremonial diangkat menjadi legiun dan bernaung di bawah panji-panji KNIL, Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Sedang pembinaan dan anggaran pasukan itu diambil dari kas Keraton Yogyakarta.
 
 
GRM. Dorojatun menolak dengan tegas permintaan Gubernur Adam. Selain memandang hal itu tidak adil, GRM. Dorojatun juga sudah memperhitungkan gerak serbuan Jepang yang mengarah ke selatan. Besar kemungkinan legiun baru itu akan dikirim untuk membantu pasukan Belanda melawan Jepang sedangkan Keraton Yogyakarta tidak bisa berbuat apa-apa.
 
 
Perundingan ini terus berlarut sampai Jepang berhasil mengalahkan Belanda di Jawa. Jepang mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda dan menunjuk Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai koo (penguasa daerah) Yogyakarta.
 
 
Pada tanggal 1 Agustus 1942, Jepang mengeluarkan petunjuk yang salah satunya adalah pembubaran balatentara Kesultanan Yogyakarta. Mulai saat itu, Keraton Yogyakarta benar-benar tidak lagi mempunyai prajurit.
 
 
Ada yang menyatakan pendapat bahwa pembubaran ini sebenarnya taktik dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan tidak mau Prajurit Keraton dipergunakan Jepang untuk kepentingannya. Hal ini sejalan dengan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang membangun selokan Mataram agar penduduk Yogyakarta tidak dikerahkan Jepang untuk melakukan romusha, kerja paksa untuk membangun proyek-proyek militer Jepang.
 
 
Prajurit Keraton dihidupkan kembali pada tahun 1970. Keberadaannya direkonstruksi atas prakarsa BRM. Herjuna Darpita (yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10), RM. Tirun Marwita, Karebet Sutardi, RM. Mudjanat Tistama, KRT. Brajanegara, dan RB. Niti Gumito. Kemunculannya didorong oleh penyelenggaraan karnaval budaya waktu itu.
 
 
 
4. Prajurit Keraton Awal Abad Ke 20
Prajurit Keraton pada awal abad ke-20.
Sumber: Tepas Tandha Yekti
 
Dhaeng adalah kesatuan pertama yang dihidupkan kembali. Kesatuan Dhaeng dinilai paling menarik karena instrumennya yang ramai sehingga mampu menarik perhatian masyarakat. Kelengkapan instrumen Prajurit Dhaeng terdiri dari tambur, seruling, ketipung, dhodhog, bendhe besar, bendhe kecil, kecer, dan pui-pui.
 
 
Mulai saat itu, satu persatu kesatuan-kesatuan prajurit yang disebut sebagai bregada mulai dihidupkan kembali guna melengkapi acara-acara kebudayaan Keraton. Ada kesatuan-kesatuan yang dihidupkan kembali namun ada juga yang dilebur menjadi kesatuan baru. Jumlah keseluruhan terdapat 10 kesatuan (bregada) yang dipertahankan hingga hari ini. Bregada-bregada Prajurit Keraton ditempatkan di bawah kepengurusan Tepas Kaprajuritan. Secara struktural merupakan bagian dari Keraton Yogyakarta, namun para anggota prajuritnya tidak terikat oleh pangkat dan kedudukan tertentu dalam Keraton.
 
 
Keberadaan prajurit ini tidak lagi memiliki fungsi pertahanan. Semata hanya untuk kegiatan budaya. Dari masa ke masa, keberadaan Prajurit Keraton mengikuti dinamika zaman. Prajurit yang awalnya berfungsi sebagai penjaga kedaulatan berangsur-angsur telah berganti fungsi menjadi pengawal kebudayaan.
Prajurit Kraton SELANJUTNYA

Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta

 

Saat ini, keraton memiliki sepuluh kelompok pasukan yang disebut sebagai bregada. Jumlah seluruh prajurit cukup kecil, sekitar 600 orang. Jumlah anggota tiap pasukan berbeda-beda. Bregada Nyutra misalnya, hanya terdiri dari 64 orang saja.
 
 
Pimpinan tertinggi dari keseluruhan bregada prajurit keraton adalah seorang Manggalayudha atau Kommandhan/Kumendham. Sebutan lengkapnya adalah Kommandhan Wadana Hageng Prajurit. Manggalayudha bertugas mengawasi dan bertanggung jawab penuh atas keseluruhan pasukan. Ia dibantu oleh seorang Pandhega (Kapten Parentah), dengan sebutan lengkapnya Bupati Enem Wadana Prajurit, yang bertugas menyiapkan pasukan.
 
 
Setiap pasukan atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten. Kecuali bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana.
 
Pandhega didampingi oleh perwira yang disebut Panji (Lurah). Perwira ini bertugas mengatur dan memerintah keseluruhan prajurit dalam bregada. Setiap Panji didampingi oleh seorang Wakil Panji. Sementara itu, regu-regu dalam setiap bregada dipimpin oleh seorang bintara berpangkat sersan.
 
Keseluruhan perwira dalam semua bregada dipimpin oleh seorang Pandhega, kecuali Bregada Wirabraja dan Bregada Mantrijero yang langsung di bawah Kommandhan.
 
 
Prajurit Keraton Yogyakarta dapat dibagi ke dalam tiga kelompok. Prajurit yang dimiliki Kepatihan, yaitu Bregada Bugis. Prajurit yang dimiliki Kadipaten Anom (putera mahkota), yaitu Bregada Surakarsa. Dan sisanya dimiliki oleh keraton. 
 
12. Pandhega
Pandhega Prajurit

Bregada Bugis

Bregada Bugis awalnya berasal dari Bugis, Sulawesi. Namun prajurit yang ada kini sudah tidak lagi terdiri dari orang-orang Bugis. Dalam upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan yang dibawa menuju Kepatihan.
 
 
Panji-panji/bendera/klebet Prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran dengan warna kuning emas. Wulan berarti bulan. Dadari berarti mekar, muncul timbul. Secara filosofis bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberi penerangan dalam gelap. Ibarat berfungsi seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap, cahayanya menggantikan matahari.
 
 
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Bugis adalah tombak (waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Pada saat berjalan Bregada Prajurit Bugis diiringi dengan Gendhing Sandung Liwung.
 

 

9. Bugis

Bregada Prajurit Bugis

 

Bregada Surakarsa

Nama Bregada Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata sura berarti berani, sedangkan karsa berarti kehendak. Secara filosofis Surakarsa bermakna prajurit yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan Adipati Anom (Putra Mahkota). Dalam upacara Garebeg, Bregada Surakarsa bertugas mengawal gunungan yang dibawa ke Masjid Gedhe.
 
Klebet prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna kuning. Pareanom berasal dari kata pare (sejenis tanaman berbuah yang merambat) dan kata anom yang berarti muda. Klebet ini memiliki makna bahwa Surakarsa adalah pasukan yang selalu bersemangat dengan jiwa muda.
 
 
Senjata yang digunakan oleh seluruh Bregada Prajurit Surakarsa adalah tombak (waos). Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Banyak Angrem. Pada saat berjalan Bregada Prajurit Surakarsa diiringi dengan Gendhing Plangkenan.
 

 

3.3.3 3 Prajurit Surakarsa
Bregada Prajurit Surakarsa

Bregada Wirabraja

Nama Bregada Wirabraja berasal dari kata wira dan braja. Kata wira berarti berani, dan braja berarti tajam. Secara filosofis Wirabraja berarti prajurit yang sangat berani dan tajam panca inderanya. Mereka selalu peka dengan keadaan, pantang menyerah dalam membela kebenaran, dan pantang mundur sebelum musuh dikalahkan.
 
 
Klebet prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan chentung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya terdapat segi empat berwarna merah dan segi delapan berwarna putih pada bagian dalamnya. Gula-klapa berasal dari kata gula dan kelapa. Gula yang dimaksud adalah gula Jawa yang berwarna merah. Sedang kelapa berwarna putih. Klebet ini memiliki makna bahwa Wirabraja adalah pasukan yang berani membela kesucian dan kebenaran.
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Wirabraja adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Slamet dan Kanjeng Kiai Santri dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Manggaran/ Catursara/ Crengkeng. Pada saat berjalan cepat (mars) Bregada Prajurit Wirabraja diiringi dengan Gendhing Dhayungan. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Reta Dhedhali.
 
1. Wirobrojo
Bregada Prajurit Wirabraja

Bregada Dhaeng

Nama Bregada Dhaeng berasal dari sebutan gelar bangsawan di Makasar. Pada awalnya prajurit Dhaeng memang berasal dari sana. Namun prajurit yang ada kini sudah tidak lagi terdiri dari orang-orang Makasar.
 
Klebet prajurit Dhaeng adalah Bahningsari. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya terdapat bintang segi delapan berwarna merah. Bahni berarti api, dan sari berarti indah. Klebet ini memiliki makna bahwa Dhaeng adalah pasukan yang tidak pernah menyerah karena keberaniannya, sama seperti semangat inti api yang tidak pernah kunjung padam.
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Dhaeng adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Jatimulya dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Dhoyok. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Dhaeng diiringi dengan Gendhing Ondhal-Andhil. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Kenaba.
 

 

2. Daeng
Bregada Prajurit Dhaeng

Bregada Patangpuluh

Asal usul nama Bregada Patangpuluh masih kabur sampai sekarang, yang jelas nama tersebut tidak ada hubungannya dengan jumlah anggota bregada.
 
 
Klebet prajurit Patangpuluh adalah Cakragora. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, ditengahnya terdapat bintang segi enam berwarna merah. Cakra adalah senjata berbentuk roda bergerigi, dan gora berarti dahsyat atau menakutkan. Klebet ini memiliki makna bahwa Patangpuluh adalah pasukan yang mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apapun bisa terkalahkan.
 
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Patangpuluh adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Daramanggala/ Trisula Carangsoka. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Patangpuluh diiringi dengan Gendhing Bulu-Bulu. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mars Gendera.
 

 

3. Patangpuluh
Bregada Prajurit Patangpuluh

Bregada Jagakarya

Nama Bregada Jagakarya berasal dari kata jaga dan karya. Kata jaga berarti menjaga dan karya berarti tugas atau pekerjaan. Secara filosofis Jagakarya bermakna prajurit yang mengemban tugas selalu menjaga dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan.
 
 
Klebet prajurit Jagakarya adalah Papasan. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, ditengahnya terdapat lingkaran dengan warna hijau. Papasan mungkin berasal dari nama tumbuhan atau burung papasan. Namun ada pendapat lain yang menyatakan kalau Papasan berasal dari kata dasar papas menjadi amapas yang berarti menghancurkan. Jika demikian, Papasan berarti pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan teguh.
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Jagakarya adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang juga dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Jagakarya diiringi dengan Gendhing Tameng Madura. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slahgendir.

 

4.jagakarya

Bregada Prajurit Jagakarya

Bregada Prawiratama

Nama Bregada Prawiratama berasal dari kata prawira dan tama. Kata prawira berarti berani atau perwira. Kata tama dalam bahasa Sansekerta berarti utama atau lebih, sedang dalam bahasa Kawi berarti ahli atau pandai. Secara filosofis Prawiratama bermakna prajurit yang pemberani dan pandai dalam setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.
 
Klebet prajurit Prawiratama adalah Geniroga/Banteng Ketaton. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna merah. Geni berarti api dan roga berarti sakit. Klebet ini memiliki makna bahwa Prawiratama adalah pasukan yang diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Prawiratama adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Prawiratama diiringi dengan Gendhing Pandebrug. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Balang.

 

5.prawiratama
Bregada Prajurit Prawiratama

Bregada Nyutra

Nama Bregada Nyutra berasal dari kata dasar sutra yang mendapat awalan "n". Kata sutra dalam bahasa Kawi berarti unggul atau ketajaman. Sedang dalam bahasa Jawa Baru mengacu pada kain sutra yang halus. Sedang tambahan awalan "n" memberi arti tindakan aktif sehubungan dengan sutra. Prajurit Nyutra merupakan pengawal pribadi Sultan. Secara filosofis Nyutra bermakna prajurit yang sehalus sutra dan selalu mendampingi dan mejaga keamanan raja, tetapi memiliki ketajaman rasa dan keterampilan yang unggul.
 
Klebet prajurit Nyutra adalah Podhang Ngingsep Sari dan Padma-Sri-Kresna. Podhang Ngingsep Sari untuk prajurit Nyutra Merah, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna merah. Padma-Sri-Kresna untuk prajurit Nyutra Hitam, berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya terdapat lingkaran dengan warna hitam. Podhang berasal dari kepodang, burung dengan bulu warna kuning keemasan. Ngingsep berarti menghisap. Sari berarti inti. Klebet ini memiliki makna bahwa Nyutra Merah adalah pasukan yang selalu memegang teguh keluhuran. Padma berarti bunga teratai. Sri Kresna adalah tokoh pewayangan yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Klebet ini memiliki makna bahwa Nyutra Hitam adalah pasukan yang selalu membasmi kejahatan, seperti yang selalu dilakukan oleh Sri Kresna.
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Nyutra adalah tombak (waos), towok, tameng, panah dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Trisula. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Nyutra diiringi dengan Gendhing Surengprang. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Mbat-Mbat Penjalin/ Tamtama Balik.
 

 

6.nyutra

Bregada Prajurit Nyutra

Bregada Ketanggung

Nama Bregada Ketanggung berasal dari kata tanggung yang mendapat awalan "ke-". Tanggung berarti beban atau berat. Sedangkan awalan "ke-" bermakna sangat. Secara filosofis Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat.
 
 
Klebet prajurit Ketanggung adalah Cakra-Swandana. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat bintang persegi enam berwarna putih. Cakra berarti senjata berbentuk roda bergerigi. Swandana berarti kendaraan atau kereta.
 
Klebet ini memiliki makna bahwa Ketanggung adalah pasukan yang membawa senjata dahsyat yang akan memporakporandakan musuh. Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Ketanggung adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Nenggala dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Nenggala. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Ketanggung diiringi dengan Gendhing Lintrikmas/Ricikanmas/Pragolamilir. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Harjunamangsah dan Bimakurda.
 
7. Ketanggung
Bregada Prajurit Ketanggung

Bregada Mantrijero

Nama Bregada Mantrijero berasal dari kata mantri dan jero. Mantri berarti juru bicara, menteri, atau jabatan di atas bupati. Jero berarti dalam. Secara filosofis Mantrijero bermakna prajurit yang mempunyai wewenang ikut ambil bagian dalam memutuskan hal-hal dalam lingkungan keraton.
 
Klebet prajurit Mantrijero adalam Purnamasidhi. Berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya terdapat lingkaran warna putih. Purnama berarti bulan penuh dan sidhi berarti sempurna. Klebet ini memiliki makna bahwa Mantrijero adalah pasukan yang diharapkan selalu memberikan cahaya dalam kegelapan.
 
 
Senjata yang digunakan oleh anggota Bregada Prajurit Mantrijero adalah tombak (waos) dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Cakra dengan bentuk ujung (dapur) yang dinamakan Cakra. Pada saat berjalan cepat (mars), Bregada Prajurit Mantrijero diiringi dengan Gendhing Plangkenan/Mars Setok. Apabila berjalan lambat (lampah macak) akan diiringi dengan Gendhing Slagunder/ Restopelen.
 
8.mantrijero
Bregada Prajurit Mantrijero
 
Setiap prajurit maupun Abdi Dalem keraton Yogyakarta diharapkan memiliki ‘watak kesatria’. Watak yang dilandasi kredo (sasanti) Nyawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh. Sebagai pandangan hidup, nyawiji diartikan konsentrasi yang harus diarahkan ke cita-cita. Greget adalah semangat hidup yang harus diarahkan ke tujuan melalui saluran-saluran yang wajar. Sengguh artinya percaya penuh pada kemampuan pribadi untuk mencapai tujuan. Ora mingkuh perlu dipegang erat-erat. Tidak akan mundur setapak pun meski dalam perjalanan menuju tujuan harus menghadapi berbagai halangan.
 
 
Sawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dijadikan landasan pembentukan watak kesatria yang pengabdiannya ditujukan pada nusa, bangsa, dan negara. Watak luhur berdasar idealisme dan komitmen atas kebenaran dan keadilan yang tinggi, integritas moral, serta nurani yang bersih.
 
17.korps Musik   Penambur
Korps Musik Penambur
 

 


Daftar Pustaka:
Yuwono Sri S, dkk. 2009. Prajurit Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Dharma Gupta, dkk. 2007. Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta

 

 

Prajurit Kraton SELANJUTNYA