Musikan, Kesatuan Musik Diatonik Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta pernah memiliki Abdi Dalem yang khusus bertugas untuk memainkan musik Eropa. Kesatuan Abdi Dalem tersebut bernama Musikan. Nama Musikan berasal dari bahasa Belanda yang berarti musikus. Jejak keberadaannya masih bisa ditemui melalui kampung di sebelah timur Pagelaran Keraton, kampung Musikanan.
Musikan pada Masa Hindia-Belanda
Walau jejak instrumen musik Eropa telah ditemukan sejak awal berdirinya Keraton Yogyakarta, namun tidak diketahui kapan tepatnya kesatuan Abdi Dalem Musikan berdiri. Catatan mengenainya baru muncul pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).
Pada 26 Mei 1923, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock (1921-1926) berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Sri Sultan mengadakan pementasan musik Eropa untuk menghormatinya. Untuk itu berbagai persiapan dilakukan. Termasuk membuat seragam baru dan mengutus seorang Belanda dan dua Abdi Dalem untuk membeli alat-alat musik tambahan ke Batavia (Jakarta). Kebutuhan protokoler ini diduga menjadi alasan kenapa kesatuan Musikan dibentuk.
Pada November 1923, Sri Sultan mengundang seorang seniman bernama Walter Spies untuk bekerja sebagai instruktur dan dirigen musik. Saat itu, Walter Spies yang berasal dari Jerman sedang berkelana ke tanah Jawa. Ia dikenal sebagai pelukis dan musikus ulung. Kehadiran Spies yang mulai bekerja pada keraton sejak 1 Januari 1924 memberikan pengaruh cukup besar. Selain mengajar musik Eropa, ia sendiri mendalami gamelan Jawa. Dalam masa kerjanya yang singkat sebelum pergi ke Bali tahun 1927, ia meninggalkan beberapa manuskrip notasi gamelan untuk dimainkan dengan piano.
Saat itu, kesatuan musik Eropa keraton memiliki 40 anggota dan orkesnya dinamai Kraton Orcest Djogja. Para Abdi Dalem Musikan diberi nama dengan kata-kata dari bahasa Belanda. Beberapa menggunakan nama-nama hari seperti Zondag (Minggu), Maandag (Senin), dan Dinsdag (Selasa). Beberapa menggunakan nama-nama bulan seperti Januari, Februari, Maart, April, dan Mei. Beberapa lainnya menggunakan nama-nama yang berasal dari opera. Seperti Aida, nama opera karya G. Verdi yang muncul tahun 1871 di Italia. Atau Carmen, judul opera karya Georges Bizet yang muncul pada tahun 1875 di Perancis. Ada juga yang mengambil nama dari komposer opera, seperti Leoni. Franco Leoni adalah nama seorang komposer berkebangsaan Italia yang hidup antara tahun 1864-1949. Nama-nama Abdi Dalem ini digunakan secara turun temurun. Nama tersebut akan disandang oleh keturunan yang menggantikan Abdi Dalem yang sudah berakhir masa tugasnya.
Setelah Spies berhenti bekerja di Keraton Yogyakarta, jabatan dirigen diserahkan pada Abdi Dalem bernama Mas Lurah Regimentsdochter. Saat Mas Lurah Regimentsdochter wafat pada tahun 1931, jabatan dirigen diserahkan pada putranya yang bernama Leoni. Setelah diangkat sebagai dirigen, Leoni kemudian bergelar Raden Lurah Regimentsdochter II.
Pada masa itu Kraton Orcest Djogja berkembang dengan baik. Banyak kegiatan dilakukan. Seperti pementasan musik untuk mengiringi perarakan gunungan saat Garebeg Sawal, menyambut kunjungan para Gubernur Jenderal ke keraton, pentas dalam rangka penobatan Sunan Paku Buwono XI di Surakarta, menyambut kunjungan Sunan Paku Buwono XI ke keraton Yogyakarta, dan tak ketinggalan pementasan dalam rangka penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selain pementasan dalam acara-acara penyambutan, Kraton Orcest Djogja melakukan kegiatan rutin di Pagelaran yang disebut Pasowanan. Ada pula pementasan dua kali sebulan di Societeit de Vereeniging, gedung rekreasi bagi orang Belanda yang kini menjadi bagian dari kompleks Taman Budaya Yogyakarta.
Bangsal Mandalasana berhiaskan ornamen alat musik Barat
Musikan pada Masa Pendudukan Jepang
Pada Maret 1942, Jepang merebut Jawa dari kerajaan Belanda. Keadaan berubah. Mengingat betapa Jepang begitu antipati pada Belanda, hal-hal yang berbau Belanda menjadi tabu.
Kraton Orcest Djogja berhenti memainkan lagu-lagu Eropa dan mulai memainkan lagu Jepang seperti Gunkan, Akatsuki, dan Kimigayo. Tenaga kulit putih yang sebelumnya ada, tidak dipergunakan lagi. Abdi Dalem Musikan yang dahulu disebut Kanca Musik, diubah menjadi Kanca Waditraya. Nama-nama Abdi Dalem yang sebelumnya menggunakan nama Eropa, diubah menjadi nama Jawa. Tiap nama Abdi Dalem diakhiri dengan kata waditra, seperti Mulyawaditra, Somawaditra, Kartawaditra, dan Pranawaditra. Waditra sendiri berarti alat musik.
Pada masa ini, hampir tidak ada kegiatan bagi Abdi Dalem Kanca Waditraya. Baik itu berupa pementasan di dalam, atau di luar keraton. Abdi Dalem yang ada pun berkurang hingga menjadi 33 orang.
Musikan Pasca Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan berakhirnya masa pendudukan bala tentara Jepang di Nusantara, kegiatan Abdi Dalem Musikan mulai dibangkitkan kembali. Mereka bermain mengiringi parade militer dan upacara bendera selama ibu kota berada di Yogyakarta. Kraton Orcest Djogja pun sempat melakukan tour ke Jakarta dari 23 Desember 1949 sampai 1 Januari 1950. Kembali dari tour, Regimentdochter II, yang juga dikenal sebagai R. Rio Suryowaditra mendapat kenaikan pangkat pada tanggal 11 Januari 1950. Ia mendapat nama baru sebagai RW Pradjawaditra.
Kesulitan keuangan yang dialami oleh Keraton Yogyakarta akhirnya berpengaruh pada kesejahteraan Abdi Dalem Musikan. Ditambah berkurangnya acara-acara protokoler dan acara-acara hiburan yang memerlukan iringan musik Eropa, akhirnya kesatuan ini dibubarkan. Alat-alat musik dihadiahkan kepada Abdi Dalem yang berhenti sebagai modal untuk mencari nafkah.
Posisi Musikan dalam Keraton
Kraton Orcest Djogja memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama adalah fungsi protokoler. Fungsi kedua adalah sebagai hiburan, baik acara-acara jamuan yang dilaksanakan di dalam atau di luar keraton. Apabila seorang pejabat tinggi Hindia Belanda datang ke keraton, lagu kebangsaan Belanda Wilhemus dimainkan saat mereka memasuki Plataran Kamandhungan Lor. Di dalam Kedhaton, mereka disuguhi musik yang dimainkan dari Bangsal Mandalasana.
Secara struktur organisasi, Abdi Dalem Musikan ditempatkan di bawah Kawedanan Kriya, yang nantinya menjadi Kawedanan Hageng Punakawan Wahana Sarta Kriya. Musikan tidak ditempatkan di bawah Kawedanan Hageng Punakawan Kridamardawa yang menangani seni budaya keraton.
Sikap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengenai musik Eropa dalam Keraton Yogyakarta tampak dari penempatan tersebut. Walau menerima dan menggunakan produk budaya kolonial, Sri Sultan menempatkannya di luar khazanah budaya Jawa. Selain itu, perlu dicatat bahwa personel-personel berkebangsaan Eropa yang dipekerjakan di Kraton Orcest Djogja berkebangsaan Jerman, Austria, dan Spanyol. Tidak ada yang berasal dari Belanda.