Musik Prajurit Keraton Yogyakarta
Korps musik menjadi bagian tak terpisahkan dari Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta. Sebagai prajurit pengawal upacara, musik prajurit keraton memiliki daya tarik tersendiri. Musik prajurit menjadi atraksi budaya sekaligus kekayaan musik lokal yang memberi warna pada budaya Jawa. Musik yang dimainkan memiliki akar jauh ke belakang, ke masa di mana Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta masih merupakan kekuatan keamanan.
Kelengkapan Bregada PrajuritKeraton Yogyakarta yang dikenal saat ini diduga berasal dari masa berakhirnya Perang Jawa (1825-1830), hasil dari pengembangan selama masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1826; 1828-1855). Pada saat itu, pemerintah kolonial Belanda memangkas kedaulatan politik dan kekuatan militer keraton. Sebagai imbangannya, mereka memberi atribut prajurit yang mirip dengan militer Eropa saat itu. Sejak saat itu, prajurit keraton dari awalnya berfungsi penuh sebagai kekuatan militer mulai bergeser sebagai penjaga keamanan dan kelengkapan upacara saja. Besar kemungkinan, gendhing atau lagu bregada prajurit juga mulai dikembangkan pada masa ini dan mendapat bentuk baku pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877).
Seperti kelengkapan pakaian, corak musik prajurit Keraton Yogyakarta merupakan kombinasi unik antara unsur Jawa dan Eropa-Belanda. Selain itu, unsur Makassar juga terasa memengaruhi. Ini tidak mengherankan karena terdapat dua bregada prajurit yang berasal dari Sulawesi Selatan, yaitu Bregada Dhaeng dan Bregada Bugis. Akulturasi dari tiga unsur ini tampak pada nama gendhing, melodi, maupun alat musik yang digunakan.
Ragam Gendhing Prajurit Keraton Yogyakarta
Gendhing prajurit keraton dapat dibagi ke dalam fungsinya masing-masing. Ada gendhing lampah mares dan gendhing lampah macak yang digunakan untuk berbaris. Tiap bregada memiliki gendhing-nya masing-masing. Ada pula gendhing caos yang digunakan sebagai penanda dibuka dan ditutupnya gerbang keraton oleh prajurit yang bertugas. Ada gendhing barangan, lagu-lagu yang digunakan korps musik prajurit keraton untuk dimainkan di Kepatihan (kediaman resmi Pepatih Dalem) dan Kadipaten (kediaman Putra Mahkota). Ada gendhing kurmat yang dimainkan sebagai bentuk penghormatan. Ada juga Gendhing Tembang Tengara yang digunakan sebagai tanda berkumpul.
Gendhing yang beraneka macam ini memiliki nama-nama yang unik. Seperti Dhayungan, Tameng Medura, Harjuna Mangsah, Plangkiran, Pandhenburg, Restopelen/Stopelen, dan Mars Stok/Restok. Tiga gendhing yang disebut terakhir di atas merupakan nama gendhing lampah mares yang diserap dari bahasa Belanda. Selain nama, melodi ketiga gendhing tersebut juga mendapat pengaruh Eropa. Pengaruh musik militer Eropa tersebut dapat dikenali dengan pemakaian nada fa dan si dalam melodinya. Selain nama gendhing yang merupakan serapan dari bahasa Belanda, ada juga nama gendhing yang diduga serapan dari bahasa Bugis. Gendhing Beganjar/Makanjar yang digunakan sebagai gendhing kurmat Bregada Dhaeng diperkirakan merupakan adaptasi dari musik pakanjara di Makassar.
Alat Musik Prajurit Keraton Yogyakarta
Korps Musik Keraton Yogyakarta dilengkapi dengan alat musik tambur, suling, slompret, bendhe (besar dan kecil), pui-pui, ketipung, kecer, dan dhodhog. Tiap bregada memiliki kelengkapan alat musik yang berbeda. Bregada Bugis dan Bregada Surakarsa memiliki kelengkapan paling sedikit, hanya tambur dan suling. Sedang Bregada Dhaeng paling lengkap, memiliki semua alat musik kecuali slompret.
Tambur atau genderang adalah alat musik yang biasa digunakan dalam marching band, terutama dalam dunia militer. Tiap bregada memiliki alat musik ini. Dalam gendhing, tambur berguna sebagai pengatur tempo. Walau alat musik tambur berasal dari Eropa, tapi gendhing bregada prajurit keraton memiliki temponya sendiri yang tidak seteratur musik berbaris Eropa.
Suling atau seruling yang digunakan bregada prajurit adalah seruling miring. Tradisi musik Jawa memang mengenal alat musik seruling, tetapi seruling yang ditiup menyamping berasal dari tradisi militer Eropa. Suling yang digunakan oleh bregada prajurit keraton memiliki lubang berjumlah tujuh. Satu lubang untuk menempatkan bibir, dan enam lubang dimainkan dengan jari. Nada dasar yang digunakan adalah F.
Slompret atau terompet juga merupakan alat musik yang berasal dari Eropa. Terompet yang digunakan oleh bregada prajurit keraton adalah jenis terompet sangkakala (bugle) yang biasa digunakan untuk memberi tanda. Terdapat tiga jenis terompet di bregada prajurit keraton; terompet C, terompet bes, dan terompet usar. Terompet C dan bes diberi nama sesuai dengan nada dasar terompet tersebut, sedang terompet usar adalah terompet yang memiliki lengkungan badan dua kali dibanding terompet C dan bes. Terompet usar khusus dimiliki oleh Bregada Ketanggung.
Bendhe adalah alat musik seperti gong namun berukuran kecil. Alat musik ini berasal dari tradisi musik Jawa dan telah digunakan oleh prajurit Jawa sebelum era Kesultanan Yogyakarta. Ada dua bendhe yang digunakan oleh bregada prajurit keraton, bendhe besar dan bendhe kecil. Bendhe besar berdiameter sekitar 32-35 cm sedang bendhe kecil berdiameter sekitar 28-33 cm. Pada masa lalu, sama seperti terompet sangkakala, bendhe juga memiliki fungsi untuk memberi tanda. Bendhe-bendhe tersebut memiliki nada-nada dasar yang berbeda.
Kecer adalah alat musik yang menyerupai simbal kecil. Bentuknya bundar dengan bagian tengah cekung dan dilengkapi tali. Kecer dimainkan dengan menggesekkan dan menangkupkan kedua piringan. Setiap bregada yang dilengkapi bendhe pasti juga dilengkapi dengan kecer. Alat musik ini juga terdapat pada tradisi musik Jawa. Sedang di Makassar, terdapat pula alat musik mirip kecer yang bernama kancing.
Pui-Pui adalah alat musik tiup yang berasal dari Sulawesi Selatan (Makassar). Berbentuk seperti terompet dengan tujuh lubang penjarian. Namun bentuk fisik dan cara memainkan pui-pui yang dimiliki bregada prajurit keraton berbeda dengan pui-pui yang berasal dari Makassar. Pui-pui di Keraton Yogyakarta memiliki ukuran lebih besar dan sumber bunyinya berasal dari carang (bambu tipis). Sementara pui-pui dari Makassar menggunakan daun lontar sebagai sumber bunyi. Ini mengakibatkan teknik pernapasan berputar (tanpa jeda) yang digunakan untuk memainkan pui-pui dari Makassar tidak memungkinkan digunakan pada pui-pui dari keraton.
Ketipung dan dhodhog adalah alat musik yang bentuknya menyerupai kendang Jawa namun dimainkan dengan menggunakan pemukul kayu dengan ujung bulat. Kedua alat musik ini kemungkinan merupakan adaptasi dari alat musik tradisional Makassar yang bernama ganrang/gandrang. Keduanya, ketipung dan dhodhog, hanya dimiliki oleh Bregada Dhaeng dan Bregada Bugis. Ganrang/gandrang sendiri berbeda dengan ketipung dan dhodhog. Ganrang/gandrang bentuknya cembung, sedang ketipung dan dhodhog berbentuk lurus.
Pelestarian Musik Prajurit Keraton Yogyakarta
Pada era modern kini, usaha untuk melestarikan musik keprajuritan terus dilakukan. Termasuk dengan melakukan dokumentasi audio visual atas kekayaan budaya yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta ini. Pengetahuan mengenai musik dan gendhing prajurit Keraton Yogyakarta diteruskan secara turun temurun, dari satu generasi prajurit ke generasi prajurit lain secara lisan. Karena itu besar kemungkinan adanya perubahan atau informasi-informasi yang hilang, termasuk nama atau melodi gendhing. Apalagi mengingat bahwa prajurit Keraton Yogyakarta pernah dibubarkan dari tahun 1942 dan baru diaktifkan kembali tahun 1970.
Baru pada akhir masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, seorang pemain tambur Bregada Mantrijero bernama Sukarno membuat notasi gendhing keprajuritan. Namun notasi ini belum mampu mendokumentasikan seluruh gendhing, karena hanya berguna untuk memudahkan pembelajaran dan hanya untuk tambur dan suling saja.
Berbagai unsur budaya yang menyatu membuat musik keprajuritan Keraton Yogyakarta terasa unik. Mendengarkan lantunan gendhing-gendhing tersebut laksana menyelami semangat budaya Jawa yang menyambut budaya-budaya lain dengan tangan terbuka, menyerap dan mengolahnya menjadi sesuatu yang baru tanpa meninggalkan kepribadian Jawa yang dimilikinya.