Yang Bertakhta
Halaman ini menyajikan informasi mengenai pemimpin tertinggi di Keraton Yogyakarta yang saat ini bergelar Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Meneruskan tradisi di Keraton Yogyakarta, terdapat berbagai macam perangkat yang melambangkan keagungan setiap Sultan yang bertakhta.
Biodata
Lahir |
: |
Yogyakarta, 2 April 1946 |
Nama Kecil |
: |
Bendara Raden Mas Herjuno Darpito |
Orang Tua |
: |
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (ayah) |
Naik Tahta |
: |
7 Maret 1989 |
Gelar |
: |
Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Ka 10, Suryaning Mataram, Senopati Ing Ngalogo, Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Tata Panotogomo |
Penyebutan |
: |
Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 biasa juga disebut dengan istilah Ngarso Dalem, Sinuwun atau Sri Sultan |
Istri |
: |
Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Hemas |
Anak |
: |
1. GRAj Nurmalita Sari/GKR Pembayun/GKR Mangkubumi 2. GRAj Nurmagupita/GKR Condrokirono 3. GRAj Nurkamnari Dewi/GKR Maduretno 4. GRAj Nurabra Juwita/GKR Hayu 5. GRAj Nurastuti Wijareni/GKR Bendara |
Sebelum Bertahta
Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito pada tanggal 2 April 1946 di Yogyakarta, kemudian menghabiskan sepanjang hidupnya di kota yang ia cintai, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 tumbuh menjadi pribadi yang sangat dekat dengan kota dan rakyatnya. Setelah dewasa beliau ditunjuk oleh ayahandanya sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan diantara semua pangeran di Keraton Yogyakarta. Mas Jun, begitu beliau biasa disapa pada saat muda, kemudian diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Mangkubumi.
Sebelum bertakhta sebagai Sultan Yogyakarta, KGPH Mangkubumi sudah terbiasa dengan pelbagai urusan di pemerintahan. Beliau sering diminta membantu tugas-tugas ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu, KGPH Mangkubumi sendiri juga aktif di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban diantaranya sebagai Ketua Umum Kadinda DIY, Ketua DPD Golkar DIY, Ketua KONI DIY dan Presiden Komisaris PG Madukismo.
Pada tanggal 2 Oktober 1988 Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. KGPH Mangkubumi kemudian menjadi calon paling tepat untuk menjadi Sultan berikutnya. Proses suksesi ini menjadi hal yang baru dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pada era sebelumnya, setiap Sultan yang akan dilantik harus mendapat persetujuan dari Belanda.
Sesaat sebelum dinobatkan, KGPH Mangkubumi mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Hamengku Negara Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram yang bermakna sebagai putera mahkota. Setelah itu, baru kemudian secara sah beliau dinobatkan sebagai Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 7 Maret 1989 atau Hari Selasa Wage, tanggal 29 Rajab 1921 berdasarkan penanggalan Tahun Jawa.
Lambang
Regalia
- Banyak (Angsa) melambangkan kewaspadaan dan kesucian
- Dhalang (Kijang) melambangkan kegesitan dan cepat mengambil keputusan.
- Sawung (Ayam Jantan) melambangkan keberanian
- Galing (Merak) melambangkan kewibawaan atau keindahan
- Hardawalika (Naga) melambangkan kekuatan dan tanggung jawab
- Kutuk (Kotak Uang) melambangkan kedermawanan
- Kacu Mas (Saputangan) melambangkan sikap pemaaf
- Kandil (Lampu Minyak) melambangkan pencerahan
Yang membawa benda-benda pusaka tersebut adalah para gadis yang disebut dengan istilah Manggung. Para Manggung biasanya merupakan kerabat dekat Sultan yang disebut dengan istilah Sentana Dalem. Terdapat delapan Manggung yang masing-masing bertugas membawa benda-benda pusaka di atas. Mereka berjalan berjajar berirringan di depan Sri Sultan pada saat miyos dari Dalem Ageng Prabayeksa menuju Sitihinggil Lor. Sementara itu, terdapat dua Manggung yang berjalan di belakang Sri Sultan untuk membawa benda pusaka lainnya yang berupa Kecohan (tempat meludah) dan Wadah Ses (tempat rokok). Dengan demikian terdapat total sepuluh Manggung yang bertugas mengiringi Sri Sultan pada saat digelar suatu upacara besar.
Semua benda-benda upacara yang dibawa oleh Manggung terbuat dari emas. Selain sepuluh benda di atas, terdapat satu lagi benda yang terbuat dari emas dinamakan Cepuri. Cepuri, Wadah Ganten atau Pekinangan merupakan tempat segala peralatan makan sirih. Pada setiap upacara besar, Cepuri akan dibawa oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti. Baik Cepuri maupun Kecohan mempunyai makna sebagai berikut:
- Kecohan (Tempat meludah) melambangkan kehati-hatian dalam bertutur
- Cepuri (Tempat segala keperluan makan sirih) melambang kesiap-siagaan