Mas Wedana Surakso Hargo: Untuk Merapi, untuk Budaya
Terlahir sebagai anak Mbah Maridjan, Abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi nan legendaris, Mas Wedana Surakso Hargo terbiasa melihat dan mendampingi sang Ayah melakoni tugas-tugasnya. Semenjak kecil, ia sudah terjun membantu tugas para Abdi Dalem juru kunci, terutama saat menyiapkan upacara Labuhan.
Mbah Asih (sapaan akrab) kemudian didorong dan didaftarkan menjadi Abdi Dalem, meneruskan kiprah ayahnya. Sekitar tahun 1998, ia mulai magang dan diwisuda pada tahun 2000 dengan Nama Paring Dalem Surakso Hargo. Setelah Mbah Maridjan meninggal (2010), Mbah Asih dianggap sebagai orang yang paling tepat untuk menerima estafet peran sebagai pengirit (pemimpin) kelompok Juru Kunci Gunung Merapi.
Ada 23 Abdi Dalem Juru Kunci Merapi, sebagian sudah lansia dan dulunya dipimpin oleh Mbah Maridjan. Mbah Asih memperlakukan mereka semua sesuai kemampuan masing-masing. Tugas-tugas yang membutuhkan fisik prima diberikan kepada yang muda-muda, sementara Abdi Dalem yang sudah lanjut usia tetap berkarya dengan mengerjakan tugas yang lebih ringan.
“Abdi Dalem itu sebenarnya mengabdi pada budaya dan tradisi. Jadi tidak hanya mengabdi pada sultan,” demikian kesimpulan Mbah Asih. “Yang kedua harus menjaga alam karena Merapi itu kan gunung. Budaya menjaga itu termasuk misalnya bersih-bersih. Di situ tidak boleh mengotori. Siapa pun yang datang ke situ, kalau ada sampah, harus dikumpulkan, dibawa turun. Budaya kebersihan itu juga sangat penting.”
Mas Wedana Surakso Hargo menegaskan, harus dibudayakan juga untuk menjaga alam, seperti tidak menebang pohon sembarangan. Selain itu tempat-tempat sakral harus dihormati sebagai penghargaan kita manusia terhadap segala makhluk lain yang berbagi bumi. Hal itu bisa dilakukan, salah satunya dengan menjaga tutur kata ketika naik gunung. “Perkataan harus baik. Yang baik-baik saja, yang tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain,” pesan ayah dua anak ini.
Menjaga Alam Merapi
Menurut Mas Wedana Surakso Hargo, itulah tiga tugas pokok Abdi Dalem Juru Kunci Merapi; menjalankan upacara Labuhan, melestarikan budaya, dan menjaga kelestarian alam. Upacara Labuhan biasanya didahului dengan berbagai acara tambahan, di antaranya, pertunjukan wayang kulit. Tak pelak, seluruh rangkaian kegiatan bisa berlangsung beberapa hari.
Jauh sebelum upacara, para juru kunci mengemban tugas penting, yaitu membersihkan jalan setapak dari basecamp di Kinahrejo hingga punggung gunung menuju lokasi upacara Labuhan. Tugas ini cukup berat karena konturnya yang mendaki dan jarang dilewati. Rerumputan dan perdu mudah tumbuh tinggi di jalan hamparan pasir yang panjangnya kurang lebih 5 km. Karena tak mungkin selesai dalam waktu singkat, selama kurang lebih tiga bulan, setiap hari Minggu para Abdi Dalem juru kunci dibantu warga setempat dan relawan bergotong royong mencicil pekerjaan tersebut.
Lokasi Labuhan itu juga sempat berpindah-pindah. Sebelum dilakukan di Srimanganti (pos pertama di Gunung Merapi), labuhan diselenggarakan di tempat yang lebih tinggi lagi, tepatnya di Rudal (pos kedua). Namun, setelah terjadi erupsi 2006, tempat Labuhan dipindah ke Srimanganti. Tahun 2010, Merapi kembali erupsi dan jalan menuju Srimanganti tertutup, lokasi Labuhan dipindahkan lagi ke Alas Bedengan.
“Setelah erupsi, kalau menuju ke Srimanganti itu tidak berani karena jalan tipis. Kanan kiri jurang, kanan kiri itu kelihatan, saya waktu itu survei, takut. Jadi tertumpuk oleh pasir, di sini jurang, di sana jurang. Saya sudah pusing. Lalu saya cari tempat yang datar, dapatnya itu di Alas Bedengan,” kisah Mbah Asih.
Tahun 2013, Mbah Asih meminta izin keraton untuk merintis jalan baru menuju Srimanganti. Sejak itu, Labuhan kembali diadakan di Srimanganti.
Pelaksanaan Labuhan melibatkan nyaris semua warga, termasuk ibu-ibu yang menyiapkan sesaji serta hidangan upacara. Istri Mbah Asih, Ibu Mursani (Nyi Mas Lurah Surakso Boga Mursani) yang juga Abdi Dalem adalah “komandan” yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan logistik
Ada satu tugas khusus yang diemban para Abdi Dalem juru kunci terkait upacara Labuhan, yaitu mencari “oleh-oleh” untuk dipersembahkan ke keraton. Oleh-oleh ini berupa kekayaan alam khas Merapi sebagai tanda bahwa upacara Labuhan telah selesai dilaksanakan di lokasi yang telah ditentukan. Beberapa di antaranya adalah tetumbuhan yang hanya ditemui di daerah tersebut, misalnya daun lotrok, daun tesek, dan kayu angin. Masing-masing bagian tumbuhan itu memiliki kegunaan tersendiri. Kini sebagian mulai langka karena berbagai sebab, salah satunya erupsi Merapi yang sering terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Terkadang ada tugas-tugas lain dari keraton yang harus dikerjakan oleh Mbah Asih, tetapi sifatnya tidak rutin, misalnya ketika Kawedanan Kridhamardawa berziarah karena hendak mementaskan tarian sakral, ia ikut terlibat dalam penyiapan tempat ziarah.
Mbah Asih aktif bermasyarakat. Ia rutin mengikuti hajatan warga, tirakatan, uyon-uyon, dandan kali (memelihara sungai), nyadran (mendoakan leluhur), dan lain sebagainya. Ia menyadari gotong royong semacam itu vital bagi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. “Tanpa kerja sama dengan masyarakat tidak bisa jalan. “
Sebagai juru kunci, Mbah Asih sesekali juga diminta oleh pengunjung Merapi untuk mengantar mereka berziarah. “Ada orang yang mau berdoa di sana, saya harus mengantarkan, misalnya di Srimanganti, di Alas Bedengan, atau petilasan.” Dalam hal ini, perannya hanya mengantarkan. “Selanjutnya, yang punya hajat itu silakan.”
Mbah Asih dan rekan-rekan bersinergi dengan BMKG dan BPTTKG DIY untuk menjaga keselamatan warga sekitar. Tugasnya sebagai pengirit sebatas meneruskan informasi kepada warga dan menghimbau mereka untuk waspada saat diperlukan. Sementara perintah mengungsi dan penanganan para pengungsi berada di tangan pemerintah.
Terus Belajar
Mbah Asih baru saja pensiun dari pekerjaannya sebagai tenaga kependidikan di Fakultas MIPA, Universitas Islam Indonesia. Di perguruan tinggi tersebut, ia menangani urusan akademik selama 27 tahun. Tak lagi bekerja formal, ia memiliki banyak waktu untuk menjalankan kegemarannya, yaitu bermain karawitan dan berkebun sayur.
Ia berlatih memainkan gamelan seminggu sekali bersama kelompok Karawitan Umbul Lestari di kelurahan setempat. Sementara kegiatan bertani sayur, seperti menanam buncis dan kacang panjang, ia lakukan terutama untuk bersenang-senang. “Tidak untuk bisnis. Kalau sudah purnatugas, kalau tidak ke kebun nglangut.”
Meski sudah memiliki pengalaman panjang, dengan rendah hati ia mengakui masih butuh banyak belajar. Terlebih bila ia membandingkan diri dengan mendiang sang Ayah, yang ia jadikan teladan. “Bapak itu orangnya itu sabar. Menghadapi sesuatu dihadapi dengan tenang, senang. Saya sebetulnya mau ikut, tapi saya belum bisa, 75% saja belum bisa, tapi saya berusaha.”
Ia mengenang almarhum Mbah Maridjan sebagai sosok yang rajin dan serba cekatan. “Jalan rusak itu pokoknya segera diperbaiki karena kalau hujan jeglong-jeglong. Itu diuruk, air-air disimpangkan ke samping. Dibuat selokan-selokan. Rajin.”
Mbah Asih mengakui selama ini, sebelum pensiun dari posisi karyawan swasta, ia belum sepenuhnya fokus berperan sebagai Abdi Dalem. “Harus berlatih. Saya harus belajar, tentang unggah-ungguh, budaya. Saya pengin. Sampai sekarang pun masih belajar,” ujarnya. Ia terutama, ingin memperdalam bahasa Bagongan, bahasa Jawa yang khusus digunakan oleh Abdi Dalem di dalam keraton dan tradisi-tradisi keraton lainnya.
Anak-anak muda ia harapkan juga mau terus belajar, termasuk mempelajari budaya. “(Mungkin terkesan) kuno, tapi harus tahu. Paling tidak tahu, syukur sampai belajar dan mendalami karena namanya budaya setiap daerah mempunyai budaya masing-masing dan itu harus dimengerti,” pesannya.
POPULAR EVENTS
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas