Hajad Dalem
Ceremonies, celebrations or congratulations organized by the Sultan. For the sake of science, this section will display information related to the celebration of Islamic religious holidays, commemorations of the ascension of the throne and congratulations to mark the human life cycle which are held in the Ngayogyakarta Hadiningrat Palace environment.
Hajad Dalem Labuhan
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya membuang, meletakkan, atau menghanyutkan. Maksud dari labuhan ini adalah sebagai doa dan pengharapan untuk membuang segala macam sifat buruk. Pada pelaksanaannya, Keraton Yogyakarta melabuh benda-benda tertentu yang disebut sebagai ubarampe labuhan. Uborampe labuhan yang akan dilabuh di tempat-tempat tertentu atau yang disebut petilasan, beberapa diantaranya merupakan benda-benda milik Sultan yang bertahta.
Memperingati Isra' Mi'raj dengan Yasa Peksi Burak
Jalannya Upacara Garebeg
Garebeg merupakan salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta yang bisa disaksikan dan diikuti oleh masyarakat umum. Dalam satu tahun Jawa, keraton menggelar tiga upacara Garebeg; Garebeg Sawal pada tanggal 1 Sawal (Idul Fitri), Garebeg Besar pada tanggal 10 Besar (Idul Adha), dan Garebeg Mulud pada tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi). Pada ketiga Garebeg tersebut, keraton mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah Sultan kepada rakyat. Gunungan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Numplak Wajik
Numplak Wajik merupakan upacara yang menandai dimulainya proses merangkai gunungan, simbol sedekah raja kepada rakyat. Nantinya, gunungan tersebut akan diarak dan dibagikan kepada warga pada upacara Garebeg.
Dalam setahun Keraton Yogyakarta menggelar tiga kali upacara Garebeg; Garebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, Garebeg Sawal menandai akhir bulan puasa, dan Garebeg Besar untuk memperingati hari raya Idul Adha. Karena dalam setiap Garebeg tersebut keraton selalu mengeluarkan gunungan untuk dibagikan, maka dalam setahun tiga kali pula Keraton Yogyakarta menggelar upacara Numplak Wajik.
Upacara Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal
Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal adalah dua upacara yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya hanya diselenggarakan tiap 8 tahun sekali, tepatnya pada tahun Dal. Dal adalah nama salah satu tahun dari siklus delapan tahunan (windu) pada sistem penanggalan Jawa. Dalam bahasa Jawa, bethak berarti menanak nasi. Sedang pisowanan, berasal dari kata sowan (menghadap), memiliki arti sebagai pertemuan menghadap raja.
Berikut adalah jalannya upacara Bethak dan Pisowanan Garebeg Mulud Dal berdasar upacara yang diadakan pada tahun Dal 1951 Jawa atau 2017 Masehi.
Memperingati Lailatul Qadar dengan Malem Selikuran
Tiap bulan Pasa atau Ramadhan, Keraton Yogyakarta selalu mengadakan acara Malem Selikur. Malem Selikur diadakan untuk menyambut malam Lailatul Qadar. Acara ini merupakan bagian dari kegiatan Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam untuk senantiasa menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa.
Agama Islam mengajarkan bahwa akan tiba suatu malam yang istimewa pada sepertiga akhir bulan Ramadhan. Malam yang disebut malam Lailatul Qadar ini dipercayai lebih mulia dibanding malam-malam lainnya sehingga digambarkan memiliki nilai yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam ini pula, Nabi Muhammad dahulu menerima Al Quran yang diturunkan oleh Allah. Untuk menyambut malam ini, umat Islam memperbanyak amal dan ibadah karena diyakini pula pahala yang didapat seribu kali lebih banyak dari hari-hari biasa.
Syiar Islam Melalui Sekaten
Jamasan Pusaka
Memperingati Isra' Mi'raj dengan Yasa Peksi Burak
Dalam rangka memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rejeb tahun Jawa, Keraton Yogyakarta mengadakan Hajad Dalem Yasa Peksi Burak. Yasa berarti membuat atau mengadakan. Peksi adalah burung. Burak adalah Buraq, makhluk yang diyakini menjadi kendaraan nabi saat melakukan Isra' Mi'raj. Hajad Dalem ini diawali dengan membuat Peksi Burak, pohon buah dan empat pohon bunga.
Garebeg
Garebeg
Tradisi Mendhem Ari-ari dan Brokohan di Keraton Yogyakarta
Sesaat setelah terjadi kelahiran di lingkungan Keraton Yogyakarta, tradisi mendhem ari-ari dan brokohan dilangsungkan. Kedua tradisi ini biasa dilakukan tepat pada hari kelahiran. Namun, jika kondisi kurang memungkinkan, seperti bayi lahir terlalu malam, maka boleh dilakukan esok hari.
Upacara Mitoni, Tradisi Memuliakan Calon Ibu
Upacara Mitoni disebut juga tingkeban. Mitoni berasal dari kata pitu—tujuh—, dalam Bahasa Jawa. Tradisi Mitoni dijalankan untuk calon ibu pada kehamilan pertama saat janin memasuki usia tujuh bulan.
Masyarakat umum biasa melaksanakan Mitoni pada hari Rabu atau Sabtu tanggal ganjil berdasarkan penanggalan Jawa sebelum bulan purnama muncul. Sementara di lingkungan Keraton Yogyakarta, upacara Mitoni digelar pada hari Selasa atau Sabtu.
Supitan, Upacara Menuju Kedewasaan bagi Lelaki
Salah satu bagian dari upacara daur hidup masyarakat Jawa adalah upacara supitan, yakni upacara sunat atau khitan bagi anak laki-laki. Sunat adalah proses memotong kulit zakar sehingga kepala penisnya terlihat, dengan maksud untuk menghilangkan sesuker atau kotoran yang ada dalam penis. Bagi penganut agama Islam, proses ini adalah hal yang wajib dilakukan.
Berikut adalah tahap-tahap pelaksanaan Supitan untuk Putra Dalem (anak Sultan) yang dilaksanakan di lingkungan Keraton Yogyakarta, berdasarkan Pranatan Lampah Lampah atau pedoman tata laksana pada tanggal 12 Mei 1975.
Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa
Ada banyak macam upacara adat di Jawa. Sebagian besar lazim dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun terkadang kita masyarakat masih merasa asing dan tidak begitu paham dengan makna dan proses acaranya sendiri, serta apa saja manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia Jawa adalah produk peradaban simbolis, yaitu makhluk yang berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktivitas dengan menggunakan simbol-simbol yang diberi makna. Maka, makna dan simbol-simbol tersebut memungkinkan manusia untuk melanjutkan tindakan dan interaksi sesama mereka. Kemudian makna dan simbol-simbol tersebut diinterpretasikan melalui proses berpikir yang dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi lainnya sehingga menjadi sebuah pola kebiasaan dalam keseharian.