A decade of Yogyakarta Palace journey
1755-1792
1792-1828
Sri Sultan Hamengku Buwono II
Lahir di lereng Gunung Sindoro pada tanggal 7 Maret 1750 dari permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono I, ia diberi nama kecil RM. Sundoro. Masa kecilnya dilalui bersama ibunda, Kanjeng Ratu Kadipaten, di wilayah pengungsian akibat perang melawan VOC. Situasi tersebut kelak membentuk karakter yang keras pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Ketika tiba masa perjanjian Giyanti, dan berlanjut ke perpindahan keluarga besar Pangeran Mangkubumi ke Keraton Yogyakarta, RM Sundoro mulai tinggal di dalam keraton dengan status putera raja.
Semenjak itu pula kecintaan dan kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada RM Sundoro mulai tampak. Sehingga pada tahun 1758 ketika RM Sundoro dikhitan, beliau diangkat menjadi putra mahkota. Meskipun GKR Kencono, permaisuri pertama, juga memiliki dua orang putera, tetapi status putera mahkota tetap disematkan kepada RM Sundoro.
1810 - 1814
Sri Sultan Hamengku Buwono III
Beliau memiliki nama kecil Raden Mas Surojo, lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton. Dalam biografi Tan Jin Sing disebutkan bahwa beliau adalah orang yang pendiam dan cenderung mengalah.
Pada usianya yang ke 21, tepatnya bulan Desember 1810, terjadi penyerbuan pasukan Belanda ke Keraton Yogyakarta sebagai buntut perseteruan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Prajurit Keraton Kasultanan Yogyakarta mengalami kekalahan dalam peristiwa ini sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya.
1814 - 1822
Sri Sultan Hamengku Buwono IV
Lahir pada tanggal 3 April 1804 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, beliau ditunjuk menjadi putera mahkota saat penobatan ayahnya sebagai sultan pada tanggal 21 Juni 1812. Tidak lama berselang, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hageng ini naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV pada tanggal 9 November 1814 ketika umurnya masih 10 tahun.
Karena usianya yang masih belia, maka pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV didampingi oleh wali raja. Satu-satunya wali raja yang ditunjuk saat itu adalah Pangeran Notokusumo yang telah bergelar Paku Alam I.
1823 - 1855
Sri Sultan Hamengku Buwono V
Lahir pada tanggal 20 Januari 1821, putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu Kencono ini diberi nama Gusti Raden Mas Gatot Menol.
Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V ketika baru menginjak usia 3 tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.
Dikarenakan usia sultannya yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan.
1855 - 1877
Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Dilahirkan dengan nama Raden Mas Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono.
Pada tahun 1839 ketika sudah berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi, beliau mendapat pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Belanda. Kelak pangkat beliau naik menjadi Kolonel pada tahun 1847.
Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat dalam kondisi tidak meninggalkan putera. Selang 13 hari kemudian, baru sang permaisuri -Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, melahirkan seorang putera yang diberi nama GRM Timur Muhamad yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga ketika sudah dewasa.
1877 - 1921
Sri Sultan Hamengku Buwono VII
Raden Mas Murtejo, demikian nama kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu Sultan (Gusti Kanjeng Ratu Hageng). Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Menginjak usia 36 tahun beliau menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sultan, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI mangkat. Pada tanggal 22 Desember 1877 beliau resmi naik tahta dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel).
1921 - 1939
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Rabu Wage, tanggal 03 Maret 1880, lahirlah seorang putra yang diberi nama Gusti Raden Mas Sujadi dari rahim Gusti Kanjeng Ratu Mas. Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Setelah dewasa GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Tahun 1920 GRM Sujadi sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Strium agar upaya pergantian tahta dipercepat.
1940 - 1988
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Masa muda GRM. Dorojatun dihabiskan di luar lingkungan keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menitipkan beliau ke pasangan Belanda. Semenjak berusia 4 (empat) tahun, beliau dititipkan di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javanesche Jongen School).
Pihak keluarga Mulder diberi pesan supaya mendidik GRM Dorojatun layaknya rakyat biasa. GRM Dorojatun diharuskan hidup mandiri, tanpa didampingi pengasuh. Nama keseharian beliaupun jauh dari kesan bangsawan keraton. Di keluarga ini, beliau dipanggil sebagai Henkie (henk kecil).