Suharjiman “Pak Pele”, Anggota Bregada Prawiratama: Antara Sepak Bola, Bakmi, dan Keprajuritan
Nama Suharjiman mungkin tak begitu dikenal. Namun, apabila Pak Pele disebut, nyaris semua orang Yogyakarta tahu. Ya, Suharjiman adalah pendiri warung bakmi Pak Pele yang legendaris itu.
Di luar keberhasilannya sebagai pengusaha kuliner, ada satu kebanggaan yang digenggam oleh Suharjiman jauh sebelum warungnya berdiri, yaitu kebanggaan sebagai prajurit keraton. Ia bergabung sebagai anggota pada 1974, dua tahun setelah bregada diaktifkan kembali. Sebelumnya, kesatuan prajurit keraton ini dibekukan selama masa kependudukan Jepang.
“Saya jadi prajurit sejak umur 24, sekarang (umur saya) 71, masih suka jadi prajurit,” tutur Suharjiman. Ia ditempatkan di Bregada Prawiratama, awalnya sebagai dwajadara (pembawa bendera kesatuan), lalu beralih menjadi sersan senjata. Setelah bertahun-tahun menjadi pembawa senapan, pada 2020, ia didapuk menjadi Panji 2 (wakil komandan).
Bregada Prawiratama memiliki seragam hitam putih dengan aksen merah dan penutup kepala lancip berwarna hitam. Klebet atau benderanya berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam dan lingkaran merah di tengahnya. Klebet ini disebut Geniroga atau Banteng Ketaton yang melambangkan harapan agar pasukan ini memiliki kekuatan dan keberanian seekor banteng yang ketaton (terluka).
Selama setengah abad, komitmen Suharjiman tak terkikis. Ia tetap berlatih sesuai jadwal seperti prajurit lainnya. “Satu tahun itu kan tiga kali (bertugas mengawal gunungan garebeg), sebulan sebelumnya pasti diwajibkan latihan geladi kotor dua kali, geladi bersih sekali, tempuking gawe sekali. Jadi, sebulan itu bisa empat kali bertugas, ditambah kegiatan piket wajib sepuluh hari sekali.”
Mengenal Ngarsa Dalem Sejak Muda
Kedekatan Suharjiman dengan keraton terbangun sejak ia belia. Ayahnya, Atmo Sardjono, adalah Abdi Dalem pengurus kereta kuda. Kala itu, keluarga Suharjiman meski berpindah-pindah, selalu tinggal di dekat keraton. Perjalanan hidup membawa Atmo Sardjono bekerja sebagai tenaga kebersihan di SD Keputran I yang terletak tak jauh dari kompleks keraton. Suharjiman kecil sering membantu sang Ayah dan tak lama kemudian, ia berjualan minuman es di situ.
Faktor ekonomi memaksa Suharjiman berhenti sekolah saat kelas empat SD. “Saya usaha cari uang untuk main sepak bola,” ujarnya. Selain untuk berlatih, uang itu juga ia gunakan untuk menjadi suporter pertandingan-pertandingan sepak bola di mana saja. Ia bahkan pernah berlaku sebagai koordinator suporter PSIM.
Kegemaran bermain sepak bola membawa Suharjiman mengenal dekat Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 yang saat itu masih berstatus putra mahkota. Suharjiman sering bermain bola bersama Ngarsa Dalem dan melayani kebutuhan beliau. “Pertama, saat Sugengan dari Herjuno Darpita menjadi KGPH Mangkubumi saya sudah sowan. Lalu, (saya) membantu beliau saat pertandingan sepak bola antar bregada, lalu saya bekerja di kantor PT Punakawan dan itu pun atasannya Ngarsa Dalem.” Di PT Punakawan, Suharjiman bekerja selama kurang lebih sepuluh tahun di bagian percetakan sebelum mengundurkan diri pada 1983.
Julukan Pele pun ia dapatkan dari Ngarsa Dalem. Suatu hari pada 1984, diadakan pertandingan bola antar bregada di Pracimasana (kompleks prajurit). Ngarsa Dalem ambil bagian, demikian pula Suharjiman. Atas permainannya yang bagus, ia mendapat pujian dari Ngarsa Dalem, “Wah, koyo Pele le main.” Pele adalah legenda bola asal Brasil. Atlet yang bernama asli Edson Arantes do Nascimento itu berjaya pada 1970-1980-an.
Julukan “Pele” pun akhirnya melekat pada Suharjiman. Nama itu kemudian ia gunakan sebagai jenama warung bakmi yang ia dirikan pada 1983, setelah mengundurkan diri dari PT Punakawan.
Olahraga yang Membuka Jalan
Dapat dibilang sepak bola membuka banyak pintu bagi Suharjiman, termasuk pintu keanggotaan bregada. Pada masa awal reaktivisi bregada, sering diadakan pertandingan olahraga antar prajurit, seperti sepak bola, bulu tangkis, catur, dan voli. Bakat Suharjiman di bidang ini membuatnya dilirik untuk memperkuat tim dan diajak menjadi anggota bregada. “Saya suka sepak bola, memilih (ikut pertandingan) sepak bola.”
Hobi sepak bola ia tekuni selama bertahun-tahun. Namun, pada 1995 ia gantung sepatu dan beralih menjadi wasit. Ia juga mendirikan Sekolah Sepak Bola bernama SSB MAS (Marsudi Agawe Santosa) dan bertindak sebagai pelatih. Kini, ia telah berhenti melatih, dan memilih menduduki kursi direktur. Namun, kegiatan olahraganya tak berhenti. Ia tetap bermain badminton seminggu tiga kali, bahkan mendirikan GOR badminton di dekat rumahnya di bilangan Gunung Sempu. Hal ini bisa ia lakukan karena anak-anak dan cucunya telah mampu mengelola warung bakmi tanpa ia dampingi penuh.
“Saya tuh senang olahraga, jadi kalau tidak olahraga sehari saja, rasanya ingin (berkegiatan) di lapangan.” Kegemarannya itu diperkuat oleh pesan guru sekolahnya dulu. “Kalau kamu mau awet hidup, mainlah di lapangan,” kutipnya, “Jadi saya tiap hari (ke lapangan), hujan pun pakai jas hujan lihat lapangan.”
Tenteram
Suharjiman mantap menekuni dunia keprajuritan. Selama menjadi anggota bregada, Suharjiman mengaku belum pernah sakit berat. Hidup ia rasakan tenteram dan nikmat. “Apalagi kumpul banyak orang, saya senang. Jadi bagaimana ya, menjadi prajurit itu suatu kebanggaan tersendiri.”
Keberhasilan yang diraih Suharjiman tak lepas dari komitmen kuat. Ia mengedapankan kejujuran dan selalu berusaha memenuhi kewajiban. Ia pun mengaku yang ia cemaskan adalah jatuh sakit ketika ada jadwal geladi. “Kalau pas sehat saya biasa-biasa saja. Mengingkari (kewajiban) itu rasanya deg-degan. Saya terbiasa disiplin. Kalau disuruh bohong tidak bisa.”
Terkait kejujuran, ia mengatakan telah terlatih sejak kecil. “Meski kita tidak punya, tak boleh mencuri, tak boleh menipu. Bekerjalah, nanti pasti dapat rezeki. Saya bolak-balik usaha, sudah hampir enam kali, ya jualan es, jualan minuman, prajurit, bisa saja.”
Bukan sifatnya untuk menggampangkan amanat, termasuk saat ditunjuk sebagai panji dua. “Merasa berat dimintai tanggung jawab, harus disiplin. Kegiatan harus bisa saya atur. Apabila saya tidak bisa mengatur, yang punya kekuasaan panji satu. Dulu, saat saya masih belum jadi panji, enak (karena) diatur. Sekarang latihan harus memimpin, harus menjelaskan, harus bisa memberi aba-aba, misal dwaja, siaga yitna, lawung hasta. Panji harus hafal dan bisa.”
Lima dekade menjalankan tugas sebagai prajurit, Suharjiman tak merasakan perubahan berarti, “Sepertinya sama-sama saja. Kalau ada perubahan tidak terlalu banyak.” Namun, ia mengakui semua hal meningkat ke arah yang lebih baik.
Suharjiman tak lagi memiliki ambisi pribadi. Lewat kerja keras dan konsistensi, ia telah meraih titik-titik prestasi yang didambakan banyak orang. Sekarang, ia berfokus untuk membekali anak dan cucunya secara moral dan material. “Jadi saya hanya memberi tahu anak cucu saya dengan kata-kata mudah supaya bisa dijalankan. Kalau saya dulu hidup tanpa modal, cari modal untuk hidup, sekarang anak saya, saya modali, dan saya minta berusaha. Semua ternyata bisa berkembang sendiri.”
POPULAR EVENTS
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas