Bedhaya Tunjung Anom

Bedhaya Tunjung Anom merupakan Yasan (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) untuk sang putra mahkota. Nama tarian tersebut diambil dari judul gendhing iringan utama, yakni Gendhing Tunjung Anom. Tari ini juga dikenal dengan nama Bedhaya Sigaluh karena ceritanya diambil dari Serat Babad Sigaluh. Bedhaya ini tercatat dalam Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi bernomor BS 11 pada halaman 227-233  dan Serat Kandha BS 8 halaman 299-303. Namun, versi yang akan dipentaskan pada Uyon-Uyon Hadiluhung edisi Agustus 2024 diambil dari sumber lain, yaitu manuskrip berkode BS 24 halaman 333-337 yang ditulis pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).

Karso Dalem angersakaken nyasakaken bedhaya dumateng Putra Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagara.

Sri Sultan Hamengku Buwono menciptakan bedhaya untuk putranya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunagara.

001

Jalan Cerita

Bedhaya Tunjung Anom mengisahkan peperangan antara Prabu Banjaransari dari Kerajaan Koripan dan Ratu Jim (Jin) Suprabawati dari Kerajaan Galuh. Cerita tersebut mirip dengan yang termuat dalam Bedhaya Gandrung Manis yang terakhir dipentaskan pada Uyon-Uyon Hadiluhung Februari 2024. 

Dewi Suprabawati merupakan putri Prabu Suprabagni dari perkawinannya dengan seorang bidadari. Tatkala Prabu Suprabagni moksa, Dewi Suprabawati dipaksa meneruskan takhta karena sang ayah tidak memiliki putra. Setelah menjadi pemimpin kerajaan, ia tidak menghendaki punggawa pria. Semua jabatan diisi oleh perempuan. Para laki-laki, termasuk patih dan punggawa diusir dari kerajaan. Setelah semua laki-laki pergi, Dewi Suprabawati khawatir mereka akan kembali untuk melampiaskan kemarahan. Oleh karenanya, Kerajaan Galuh dibuat tak kasatmata atau dijadikan negeri siluman. Itulah mengapa Dewi Suprabawati dijuluki Ratu Jim Surabawati. 

002

Tidak mudah bagi Prabu Banjaransari untuk menemukan kerajaan siluman Galuh. Sang Prabu harus bertapa di Gua Terusan terlebih dahulu. Ini Sang Prabu lakukan karena terinspirasi oleh kakeknya, Prabu Suryawisesa, raja Kerajaan Jenggalamanik yang kaya raya dan sangat lihai menaklukan raja-raja di Jawa. Seusai bertapa, Prabu Banjaransari dan Patih Amongsari serta para prajurit mengerahkan segala daya untuk menaklukkan bala tentara Kerajaan Galuh. Setelahnya, ia dengan mudah menemukan Kerajaan Galuh di tengah hutan belantara.

Serat Sindhenan Bedhaya menceritakan Prabu Banjaransari kemudian bertemu dengan Ratu Jim dan melihat wujud nyata Kerajaan Galuh. Sang Ratu pun menantangnya berperang. 

Sapa ingkang kuwawa nadhahi Prabu Rara angembat sarwi manabda, “Lamun sira wong priya priyongga, tadhahana.”

Siapa yang mampu menahan kekuatan pusakaku, sang Raja Perempuan menarik panahnya sembari berkata, “Jika engkau memang lelaki sejati, terimalah”

Nimas mara dhawahna marang dasih.
Dinda, silakan tujukan anak panahmu kepadaku.

003

Dewi Suprabawati tidak dapat mengalahkan Prabu Banjaransari. Pertikaian mereka dilerai oleh Raja Sindhula yang dalam serat disebut sebagai Prabu Suryawisesa. Dewi Suprabawati pun terpikat oleh kekuatan yang dimiliki Prabu Banjaransari. Akhirnya mereka berdua mengikatkan diri dan menjadi raja-permaisuri Kerajaan Galuh.

Sareng Sri Sindhula prapta, tandya pitutur mring wayah karo, ing purwa wekasanira, sampun sapih, cinatur wus dadi garwa.

Kemudian Raja Sindhula datang, memberi nasihat kepada kedua cucunya, pada akhirnya, keduanya berhasil dilerai, lalu dikisahkan menjadi pasangan suami istri.

Dalam Bedhaya Tunjung Anom, tidak ada tokoh yang menang atau kalah. Naskah sindhenan menyebutkan, setelah perang, Prabu Banjaransari dan Ratu Jim Suprabawati palakrama (menikah).

Komposisi Tari

Tidak jauh berbeda dari bedhaya Kagungan Dalem lainnya, miyos (keluarnya penari) Bedhaya Tunjung Anom diawali dengan kapang-kapang majeng (maju). Pola lantai pembukaannya baku, seperti ajeng-ajengan, mlebet lajur, lajur, medali lajur, tiga-tiga. Cerita kemudian disampaikan melalui rakit gelar. Selepas rakit gelar, para penari kembali ke rakit tiga-tiga lalu ditutup dengan ragam gerak sembahan dan kondur bedhaya dengan kapang-kapang mundur. 

004

Komposisi gerak Bedhaya Tunjung Anom diawali ngenceng encot, nyamber kiwa, dan impang tawing. Gerakan berikutnya adalah nyatok udhet maju mundur, ngenceng wetah, nggudhawa asta minggah, dilanjutkan dengan mapan ngenceng jengkeng dan nglayang nyembang. Setelah rakit tiga-tiga, masuklah inti cerita atau rakit gelar, jengkeng sembahan, mapan ongkek, bangomate, mapan ngokang kestul, puspita kamarutan, duduk wuluh, pendapan nggurdha jengjeng yang diakhiri dengan nglayang.

Bedhaya Tunjung Anom ditarikan oleh sembilan paraga penari dan seorang paraga dhudhuk yang membawa jemparing (panah). Pola lantainya mirip dengan pola lantai Bedhaya Gandrung Manis. Penari endel dan batak berdiri, sementara tujuh penari lainnya jengkeng (setengah berdiri). Prabu Banjaransari diperankan oleh posisi endel, Ratu Jim Suprabawati diperankan oleh posisi batak, dan Prabu Suryawisesa diperankan oleh posisi jangga. 

Saat rakit gelar, adegan peperangan digambarkan dengan endel yang mencoba memanah batak. Adegan melerai ditunjukkan oleh jangga yang kemudian berdiri untuk memisahkan endel dan batak.

005

Komposisi Gending

Racikan gendhing lampahan Bedhaya Tunjung Anom bernada Laras Pelog Pathet Barang dan terdiri dari Lagon Wetah, Ladrang Gati Lumaksana (kapang-kapang majeng), Lagon Jugag, Kandha, Bawaswara Sekar Tengahan Bremara Umung, Gendhing Tunjung Anom, Ladrang Tunjung Anom, Bawaswara Sekar Tengahan Pamikatsih, Ketawang Langen Gita, Lagon Jugag, Ladrang Gati Branta Wiwaha (kapang-kapang mundur), dan diakhiri dengan Lagon Jugag .

Busana 

Terdapat beberapa pilihan busana pementasan Bedhaya Tunjung Anom, di antaranya busana kampuh dengan riasan paes ageng atau baju rompi dengan kain seredan yang dilengkapi hiasan jamang serta bulu-bulu di kepala. Kostum ini adalah hasil perubahan yang terjadi semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Sebelumnya, para penari mengenakan mekak pita dengan riasan paes ageng.

Pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 19 Agustus 2024, paraga penari mengenakan busana gladhen (busana latihan) kampuh dengan motif kawung. Untuk bawahan, mereka memakai jarik polos dan sondher gendala giri merah, ditambah aksesori subang, cincin, serta tleseban praja cihna pada ukel tekuk. Tak jauh berbeda, paraga dhudhuk mengenakan busana pinjungan dengan jarik bermotif kawung dan sondher gendala giri berwarna putih.

Salah satu ciri yang membedakan Bedhaya Tunjung Anom dari Bedhaya Gandrung Manis adalah pistol yang diselipkan pada sondher tiap penari serta jemparing yang dibawa oleh paraga dhudhuk. Kedua properti tersebut sama-sama digunakan dalam adegan peperangan. Penggunaan pistol merupakan salah satu kekhasan Bedhaya Tunjung Anom yang membuatnya berbeda dari bedhaya pada umumnya. Syair sindhenan menyebutkan penggunaan senjata api tersebut sebagai berikut:

Sri Kenya nyandhak pusaka, kang jemparing, paringing jawata mulya, estu pusaka ingkang pinilih.

Sang Putri meraih pusakanya, berupa busur panah, pemberian dewata nan mulia, benar-benar pusaka istimewa.

Di antara begitu banyak bedhaya dan srimpi yang dimiliki Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, terkadang terdapat persamaan antara satu tari dengan yang lain. Sebagian tari memuat cerita yang sama, tetapi memiliki nama, ragam gerak, dan iringan yang berbeda. Ada pula yang sama dalam nama, iringan, dan cerita, tetapi berbeda ragam geraknya. Bahkan ada yang bertransformasi karena pergantian pemimpin yang berujung pada berubahnya durasi maupun busana. Ini menunjukkan bahwa kesenian di Keraton Yogyakarta banyak mengalami perkembangan dan menyesuaikan kondisi saat itu.


Daftar Pustaka

Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sri Sumarsih. 1981. Risalah Sejarah dan Budaya Banjaransari Jilid 2. Yogyakarta : Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Balai Penelitian Sejarah dan Budaya.

Mas Riyo Susilomadya. 2024. Serat Pasindhen Bedhaya Tunjung Anom (Jugag). Yogyakarta: Kawedanan Kridhomardowo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi (B/S 24 halaman 333-337), Koleksi Kapustakan Kawedanan Widya Budaya, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

https://www.kratonjogja.id/raja-raja/8-sri-sultan-hamengku-buwono-vii/ Sri Sultan Hamengku Buwono VII, diakses pada 2 Agustus 2024

Daftar Wawancara

Wawancara dengan Nyi Mas Riyo Sastrawidyakartika (Pamucal Beksa) pada 31 Juli 2024

Wawancara dengan MB Kayun Sumekto (Panata Busana) pada 9 Agustus 2024

Wawancara dengan MB Ronggojati (Koordinator Wiyaga) pada 9 Agustus 2024