GKR Mangkubumi, Penjaga Inti Kebudayaan Keraton Yogyakarta
GKR Mangkubumi saat memimpin upacara Numplak Wajik
Menjadi anak sulung, terlebih dari keluarga raja, tentu dilekati tantangan luar biasa. “Banyak beban dan tugas yang dipikul,” tutur Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi, putri pertama Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan permaisuri GKR Hemas. Di sisi lain, beliau menyatakan bahwa tanggung jawab sebesar apa pun bisa dijalani dengan baik asal didasari ketulusan.
Lurah Sentana Putri
Saat ini putri yang bernama lahir GRAj Nurmalita Sari ini menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Parwabudaya. Kawedanan ini bertugas menjaga inti dari kebudayaan Keraton Yogyakarta. Tugasnya terkait merawat mesjid, petilasan, serta makam kagungan Dalem. Juga melestarikan dan mengedukasi masyarakat tentang tradisi seni klasik Jawa.
Sebagai putri tertua, Gusti Mangku menjabat sebagai lurah putri yang memimpin Abdi Dalem keparak (Abdi Dalem perempuan) dan Sentana Dalem putri.
“Keterlibatan putri dibutuhkan lebih aktif dan lebih banyak karena tugasnya yang sangat banyak dan menjadi utama saat ada upacara tradisi,” jelasnya. Sentana putri memang memiliki banyak anggota, namun tidak semua bisa aktif. Gusti Mangku mengakui diperlukan sosialisasi tugas keputren untuk meneruskan tugas budaya yang harus dilandasi keikhlasan hati ini.
Menurutnya, tak banyak kesulitan dalam melaksanakan tugas di dalam keraton. Namun, keselarasan antara generasi senior dan junior masih menjadi pekerjaan rumah. Memang dibutuhkan waktu untuk memahami tugas dan fungsi tiap bagian, atau bahkan tiap individu, karena semua terbentuk lewat sejarah panjang.
Bagi perempuan kelahiran Bogor ini, penyeimbangnya adalah kecintaan dan kesetiaan para keparak dan Abdi Dalem. “Saya suka mendengarkan mereka bercerita, karena pengalaman mereka merupakan suatu hal yang luar biasa, karena terkandung rasa lilo legowo, pasrah, cinta untuk mengabdi pada keluarga besar kerajaan.”
Pegiat Sosial
Menyandang gelar Bachelor Degree bidang Retail Management dari Griffith University, Queensland, Australia, Gusti Mangku pernah mencoba menerapkan ilmu yang didapatnya dari bangku kuliah. “Tapi ternyata tidak bisa, karena (saya) lebih sering membeli daripada menjual,” terangnya sambil tertawa.
Jiwa sosialnya yang kuat mendorongnya bergiat di bidang organisasi, mulai dari organisasi kepemudaan, hingga pendampingan untuk usaha mikro perempuan. “Seiring dengan saya belajar dan berkegiatan, akhirnya saya memutuskan untuk mengabdikan diri saya pada masyarakat, dan sampai sekarang saya menekuni kegiatan sosial.” Banyak jabatan telah diemban, mulai dari ketua Karang Taruna DIY, ketua KNPI DIY, hingga wakil ketua Kwarnas bidang pengabdian masyarakat. Kini beliau aktif di beberapa organisasi, antara lain Kwartir Daerah Gerakan Pramuka DIY, Karya Bakti Husada Nasional (BKKBN), AKU (asosiasi kelompok usaha mikro), dan Forum CSR Kesejateraan Sosial (di bawah kementerian sosial).
Gusti Mangku mengakui tak mudah membagi waktu antara karier dan keluarga. Namun, ibu dengan satu putri dan satu putra ini bekerja sama dengan sang suami, KPH Wironegoro, untuk memberi pemahaman kepada anak-anaknya agar belajar mandiri.
Di setiap organisasi yang beliau pimpin, Gusti Mangku memberi penjelasan kepada pengurus dan anggota terkait kesibukannya. Bagi Gusti Mangku, tugas pemimpin adalah membawa ‘gerbong’ ke arah yang benar. Untuk itu pemimpin sudah harus selesai dengan dirinya di luar organisasi. “Dalam artian, tidak boleh mengambil keuntungan dari organisasi, karena organisasi adalah untuk kebersamaan.”
Tempaan untuk Kemandirian
Masa kecil Gusti Mangku dijalani di luar istana. Ia tumbuh seperti halnya anak-baik lain. “Perbedaannya, kami sudah diberi pengetahuan dan diajarkan soal budaya dan mengikuti acara tradisi di keraton.” Sejak kecil ia sudah sowan ke keraton dan mengikuti upacara meski awalnya hanya menyaksikan dari jauh. Begitu menetap di keraton, rutinitasnya berubah drastis. Gusti Mangku remaja tidak lagi leluasa bertemu dengan teman-temannya.
Seperti lazimnya anak-anak, Gusti Mangku juga sering berselisih dengan adik-adiknya, terlebih jarak usia mereka cukup jauh. Ia mengakui komunikasi bisa berjalan baik setelah mereka dewasa. Mengenai Ngarsa Dalem, Gusti Mangku merasakan hubungan ayah dan anak justru berkesan di saat-saat santai. Pada saat itulah mereka bisa bercerita dan melakukan banyak hal selayaknya orang tua dan anak. “Kalau pas di kantor atau acara formal, kami pasti bicaranya dengan formal.”
Pengalaman terberat ia dapat saat ia dikirim belajar ke luar negeri. Awalnya ia sempat menolak keras. Baru setelah diskusi panjang, Gusti Mangku yang saat itu hendak naik kelas 3 SMA akhirnya bersedia berangkat ke Singapura. “Sampai di sana, tiga bulan saya menangis tiap hari karena merasa kesepian.” Ia tak bisa memasak atau bersih-bersih. Ini diperburuk dengan kemampuan berbahasa Inggris yang minim hingga tiap hari dimarahi guru.
Untuk mempersiapkan diri menempuh pendidikan tinggi Gusti Mangku sempat belajar di community college, San Luis Obispo, California USA. Pada saat itu, gempa besar dan kebakaran dahsyat pernah ia alami pada saat tinggal di Amerika. “Setelah saya selesai menjalani semua itu, lulus sekolah, saya menyadari dan memetik, bahwa pelajaran hidup lebih sulit dari pada sekolah.” Episode ini memaksanya untuk belajar tegar, sabar, dan mandiri. “Sampai saya memberanikan diri pindah negara dan hidup sendiri dan beradaptasi dengan banyak hal.”
Ini sejalan dengan pesan sang ayah yang seterusnya ia terapkan baik dalam pekerjaan maupun berumah tangga, yaitu kemandirian dan kepedulian terhadap sesama. Prinsip lain yang ia tegakkan adalah menjaga kepercayaan serta memegang teguh kejujuran.
Menjaga Tradisi
Sebagai putri tertua dan lurah putri, Gusti Mangku memiliki tugas memimpin beberapa upacara keraton. Ini bagian dari tanggung jawabnya melestarikan tradisi. Selain itu, ia dan adik-adiknya juga aktif menarikan tarian istana. Gusti Mangku sendiri, dibandingkan dengan saudara yang lain, adalah yang paling banyak membawakan Tari Bedhaya di Bangsal Kencana. Hal tersebut merupakan pertunjukan seni sekaligus ritual yang sangat sakral di Keraton Yogyakarta.
Gusti Mangkubumi memandang bahwa budaya keraton harus terus diselaraskan dengan perubahan zaman. Walaupun demikian, esensi, filosofi dan aturan adat harus dipegang teguh. Tradisi tak boleh lenyap, meski pelaksanaannya dapat menyesuaikan zaman. “Kita ini semua mempunyai tugas untuk menjaga, merawat dan melestarikan. Sudah sangat luar biasa yang di kerjakan oleh pendahulu kita hingga kraton masih berdiri kokoh sejak 1755 hingga sekarang. Keraton bukan milik kita pribadi, tapi keraton milik leluhur yang harus kita jaga seutuhnya.”
Terhadap generasi muda, Gusti Mangku berharap agar memiliki wawasan luas dan konsep kebersamaan hingga dapat menjadi pemimpin yang baik. “Konsep Jawa untuk pemimpin yang tinggi, diperlukan sareh, semeleh lan lilo legowo serta memahami tatanan Jawa.”
Untuk itu perempuan yang mencita-citakan Yogyakarta menjadi kawasan heritage dunia ini mengajak semua warga Yogyakarta untuk belajar kembali mengenai sejarah, tradisi, dan budaya Jawa yang adiluhung. Cara paling mudah yang beliau contohkan adalah berbicara dengan unggah-ungguh kepada sebaya atau yang lebih tua.
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas