GKR Hemas, Kekuatan Perempuan untuk Kebaikan
- 22-12-2020
Sejak awal berdiri, Kasultanan Yogyakarta menempatkan perempuan sebagai mitra setara dalam pemerintahan maupun pengembangan kebudayaan. Sejarah mencatat beberapa permaisuri yang berperan besar mengatur negara dan berkarya untuk masyarakat luas. Ratu Kencana Wulan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono II, contohnya, mahir dalam mengelola keuangan negara. Sementara, Ratu Emas, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III, merupakan cendekiawan yang memprakarsai penyusunan naskah-naskah keraton. Ratu Ageng, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VI, memperkaya khasanah sastra dengan menyusun delapan naskah keraton.
GKR Hemas meneruskan tradisi perempuan tangguh di Keraton Yogyakarta. Lahir sebagai anak tentara dengan enam saudara laki-laki, Ratu Hemas tumbuh sebagai pribadi yang melintas batas stereotip gender. Beliau piawai memasak sekaligus mengganti ban mobil dan memperbaiki genting. Ratu Hemas percaya perempuan memiliki kekuatan lebih meski hingga kini masih banyak tantangan menghadang.
Kesetaraan Perempuan
Sebagai ibu, Ratu Hemas memandang pendidikan sebagai unsur terpenting untuk membentuk karakter kelima putrinya. Beliau tidak pernah memberi perlakuan istimewa kepada kelimanya meski mereka berstatus putri raja. Dalam siniar (podcast) Putri Kedhaton yag disiarkan di YouTube dan Spotify, Ratu Hemas mengisahkan bagaimana beliau membiarkan GKR Bendara dihukum oleh gurunya di sekolah karena tidak memakai kaus kaki yang seharusnya. “Suster (sekolah) telepon saya, putrinya saya setrap boleh nggak, nanti pulang tanpa sepatu. (Saya menjawab) kenapa suster harus telepon saya? Hukum saja karena dia sudah tidak disiplin.”
Selain itu, beliau juga mewajibkan kelima putrinya untuk bersekolah di luar negeri, meski sebagian menolak pada awalnya. “Begitu mereka sudah tujuh belas tahun ke atas, saya dengan berat hati, dikatakan kejam, saya harus rela, menyuruh mereka pergi ke luar negeri, tapi justru ini binaan bagi mental anak-anak sendiri.” Tak diumbarnya bahwa setelah mengantar Gusti Mangkubumi, putri pertamanya bersekolah di Amerika, Ratu Hemas menangis dalam pesawat. Bagaimana pun sisi lembut seorang ibu merasa berat saat berjauhan dengan anak-anak mereka.
Tempaan ini diakui oleh putri-putrinya membentuk mereka menjadi pribadi mandiri, tangguh serta membumi. Meski berstatus sebagai putri raja, mereka jauh dari kata ‘leha-leha’. Masing-masing memilik tanggung jawab di keraton, bekerja mencari nafkah, serta berkiprah sosial. Jabatan yang mereka emban pun tidak kalah dari laki-laki.
Ratu Hemas mengakui telah menuai kerja kerasnya mendidik anak-anak. “Jadi sekarang semua punya kibaran bendera masing-masing.” Beliau menuturkan kelima putri keraton aktif menekuni bidang politik, sosial kemasyarakatan, sejarah, kebudayaan, serta teknologi digital.
Kiprah Sosial dan Politik
Sejak usia dini, GKR Hemas sudah memiliki kecakapan empatik, penuh perhatian dan peduli kepada sesama. Karakter ini rupanya menurun dari ibunya, Soesamtilah dan neneknya, Ummi Salamah yang dikenal dermawan dan gemar menolong.
GKR Hemas banyak berkiprah dalam pemberdayaan perempuan dan anak, kesehatan, dan pendidikan. Beliau aktif merangkul anak-anak terlantar di Yayasan Sayap Ibu. Beliau juga memprakarsai pendirian rumah singgah bagi perempuan korban kekerasan lewat pembentukan pokja bernama “Rekso Dyah Utami.” Tak hanya duduk sebagai pengurus, beliau terjun langsung dan mendatangi korban di tempat yang sulit dijangkau sekali pun. Pernah jam dua pagi beliau keluar rumah setelah mendapat pemberitahuan adanya bayi terlantar. Beliau menyetir sendiri demi menyelamatkan si bayi. “Jadi gunjingan, Kanjeng Ratu ke mana (malam-malam menyetir sendirian). Saya tidak peduli, yang penting bagaimana saya menyelamatkan bayi,” tuturnya dalam salah satu episode podcast Putri Kedhaton.
Jiwa sosial beliau salurkan melalui berbagai wadah. Ratu Hemas mendorong kemajuan UMKM lewat Dewan Kerajinan Sosial (Dekranas) yang beliau pimpin sejak 1999. Perempuan bernama asli Tatiek Dradjad Suprihastuti ini juga menjabat sebagai ketua YKI (Yayasan Kanker Indonesia) dan menyediakan rumah singgah serta bantuan lain untuk penderita kanker yang kesulitan berobat. LSM Teratai Putih beliau dirikan pada 2001 dan berfokus pada membantu anak dan keluarga miskin lewat pendidikan.
Kiprah politik GKR Hemas awalnya dilandasi kebutuhan untuk mengetahui politik lebih mendalam. “Karena dalam setiap kegiatan saya, kegiatan sosial kemasyarakatan, itu selalu terbentur kepentingan politik yang cukup tinggi.”
Karier politiknya secara resmi dimulai dengan terpilihnya beliau sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah pada 2004. Hingga kini, beliau masih duduk dalam lembaga tersebut dan bahkan pernah terpilih sebagai wakil ketua. Ratu Hemas juga menjadi salah satu pemrakarsa terbentuknya Kaukus Perempuan Parlemen Dewan Perwakilan Daerah RI.
Sepanjang karier politiknya, GKR Hemas tetap konsisten memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Beliau mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sensitif HAM dan gender. Kebijakan bidang kesehatan, pendidikan, sosial, dan kebudayaan hingga lingkungan juga terus beliau kawal. Salah satunya, dengan mendesak pengambil kebijakan untuk menempatkan perempuan sebagai subjek dalam pemerintahan daerah dan penguasaan sumber daya alam. Pendidikan tegas dari orang tua memberinya modal keberanian, termasuk tak segan berdebat dengan politisi lain demi membela prinsip yang beliau yakini.
Dukungan Ngarsa Dalem
“Saya berterima kasih karena hidup dengan Ngarsa Dalem ternyata menjadi suatu tambahan kekuatan. Segala sesuatu bisa mudah saya lakukan karena beliau memahami dan men-support kegiatan saya (selama) kegiatan (itu) yang membawa manfaat bagi orang banyak,” demikian Ratu Hemas menggambarkan kesetaraan dalam rumah tangganya. Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak hanya berbasa-basi saat mendorong istrinya untuk berkiprah dalam masyarakat yang lebih luas. Ngarsa Dalem mewujudkannya dalam tindakan nyata. Ratu Hemas berbagi tugas rumah tangga dan menyiapkan keperluan pribadinya sendiri.
“Saya bilang (pada anak-anak), pokoknya kalau ibu tidak di rumah, masing-masing punya tanggung jawab untuk membantu saya. Contohnya paling mudah saja, menemani bapak makan, kemudian menemani pada saat sore hari. Yang jelas kalau soal menyetrika baju, menyiapkan minum, dan sebagainya, Ngarsa Dalem mandiri,” tuturnya.
Mengatasi Tantangan
“Pada waktu saya masuk di lingkungan keraton, saya tidak menyadari tanggung jawab saya cukup besar dan tantangannya lebih besar lagi,” kenang Ratu Hemas. Tatiek belia menjalin kisah cinta dengan Bendara Raden Mas Herjuno Darpito (nama muda Sri Sultan Hamengku Buwono X) selayaknya anak muda pada umumnya. Awal berkenalan, Tatiek bahkan tidak menyadari bahwa pria yang mendekatinya adalah seorang pangeran. Masa pacaran mereka lalui dengan sederhana namun penuh keseruan di Jakarta –tempat tinggal Tatiek pada masa itu—dan Yogyakarta. Meski lahir dan besar di Jakarta, Tatiek sebenarnya punya akar di Yogyakarta. Kakek dan neneknya berasal dari kota ini.
Begitu menikah dan mendapat gelar sebagai permaisuri, Ratu Hemas harus cepat belajar unggah-ungguh di keraton, ajur-ajer (melebur) dalam keluarga besar, dan belajar bahasa Jawa yang tidak beliau kuasai pada saat itu. Namun, beliau mengambil penuh tanggung jawab yang diembannya sebagai ratu. “Karena saya kebetulan harus menempati keraton, (saya) punya tanggung jawab budaya, juga harus punya tata krama dan unggah-ungguh yang saya jalani. Tantangan buat saya, bagaimana saya menjadi contoh perempuan, bagaimana kita masih punya ruang gerak sebagai perempuan Indonesia. Dan ini pun pada era saya bukan (pekerjaan) mudah.”
Terkait Keraton Yogyakarta, Ratu Hemas menyadari lembaga tersebut telah mengalami perubahan. “Harus ada visi ke depan agar keraton tetap menjadi tempat tradisi atau budaya yang adiluhung, yang masih diugemi.”
Ratu Hemas menjadi bukti bahwa perempuan pun bisa berkarya tanpa batas selama ia berkemauan kuat. ”Kalau kita sudah niat masuk ke suatu dunia, entah itu politik, kebudayaan, atau apa pun itu harus ditekati dengan kemauan kita. Kalau kemauan kita cukup kuat, tentu kita tidak akan merasa lelah dan terus lebih memacu kita untuk berjuang.” Kepada putri-putrinya, seperti yang dikutip oleh GKR Bendara dalam siniar Putri Kedhaton, beliau menegaskan bahwa menjadi perempuan tak seharusnya menghambat langkah, “Lihatlah, perempuan memiliki keistimewaan. Halangan kita ini sebenarnya adalah tantangan, opportunity supaya kita itu menjadi manusia yang lebih baik.”