Mas Bekel Widyoyitnomardowo dan Nada-Nada Kebersamaan dari Keraton Yogyakarta
Eksistensi Musikan, korps musik barat Keraton Yogyakarta, tercatat pertama kali pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Meski tak diketahui pasti kapan terbentuk, keberadaannya diduga merupakan respons perkembangan musik barat di keraton pada masa itu. Dokumentasi menunjukkan orkes ini tampil untuk keperluan seremonial dan hiburan dalam acara-acara yang melibatkan pemerintah kolonial, misalnya penyambutan tamu-tamu berkebangsaan Belanda.
Mengalami pasang surut, korps ini bubar pada 1950 akibat kesulitan keuangan pada masa revolusi fisik dan berkurangnya acara-acara protokoler. Tujuh dekade kemudian, kesatuan musik ini kembali dihidupkan atas prakarsa KPH Notonegoro, Penghageng KHP Kridhomardowo. Penampilan perdana mereka pada 18 Agustus 2019 menyemarakkan satu hari setelah Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia di Bangsal Mandalasana Keraton Yogyakarta mendapat sambutan hangat. Salah satu tokoh penting di balik alunan nada-nada nan unik dan indah adalah Mas Bekel Widyoyitnomardowo.
Pria bernama asli Joko Suprayitno ini awalnya diminta oleh Penghageng KHP Kridhomardowo untuk menulis repertoar yang akan dimainkan oleh Kanca Musikan. Keahlian dan pengalaman panjangnya dalam menulis aransemen musik dibuktikan dalam pentas perdana. Kurang lebih setahun setelah itu tepatnya awal Juni 2020, Joko Lemazh –nama panggung—resmi diangkat menjadi Abdi Dalem. Di Kanca Musikan, selain mengaransemen lagu, MB (Mas Bekel) Widyoyitno juga melatih para anggota.
Bermula dari Gamelan
Kecintaan MB Widyoyitno terhadap musik berawal dari gamelan. Di rumahnya di Blora, sang ayah memiliki satu set gamelan. Nyaris tiap hari Joko kecil ikut menabuh gamelan. Selama SD dan SMP, Joko sering ikut lomba karawitan. Menginjak usia SMA, Joko melanjutkan pendidikan di SMM (Sekolah Menengah Musik) Yogyakarta mengikuti jejak kakaknya yang sudah lebih dahulu bersekolah di sana. Di SMM, Joko belajar memainkan trombon.
“Pada awalnya saya tidak tahu sama sekali dan belum pernah melihat yang namanya instrumen trombon,” akuinya. Joko Lemazh mengenal instrumen tersebut setelah masuk SMM dan memilih mempelajarinya atas saran sang kakak. Tak butuh waktu lama baginya untuk jatuh hati pada alat musik tiup logam tersebut. “Saya menyukai instrumen trombon karena merupakan alat musik yang khas dan unik yang menghasilkan efek bunyi glissando.” Glissando, jelasnya, adalah sebuah teknik untuk menghasilkan nada dengan cara meluncur/menyeret. Ini tidak ditemukan pada instrumen tiup lainnya.
Selulus dari SMM, Joko Lemazh melanjutkan studi ke ISI Yogyakarta, mengambil Jurusan Musik Sekolah. Di sinilah Joko Lemazh belajar teori dan teknik membuat komposisi termasuk untuk ansambel tiup. Pada masa ini, Joko Lemazh juga banyak tampil dari panggung ke panggung menjadi pemain orkestra. Tak lama setelah meraih gelar sarjana, Joko Lemazh menjadi dosen Jurusan Penciptaan Musik di almamaternya tersebut. Joko Lemazh mengajar mata kuliah instrumen trombon, teori kontrapung, komposisi musik dasar, dan ansambel tiup.
Di luar kesibukan akademis, Joko Lemazh mendedikasikan diri menulis komposisi musik untuk berbagai kelompok orkestra di Yogyakarta, Jakarta dan kota-kota lain. Ratusan –mungkin ribuan—komposisi musik telah ditulisnya. Sebagian dimainkan oleh orkestra ternama, termasuk Twilite Orchestra pimpinan Addie MS dan Jakarta Concert Orchestra yang didirikan oleh Avip Priatna.
Kecakapannya memainkan trombon menjadikan pria satu anak ini arranger (penata musik) yang tepat untuk Musikan, karena komposisi instrumen dalam kelompok musik ini didominasi oleh alat musik tiup seperti trompet, saksofon, dan trombon. Selain itu, Joko Lemazh juga sudah sering terlibat dengan perhelatan kesenian keraton sebelum menjadi Abdi Dalem, salah satunya dalam pagelaran Beksan Lawung. Sesuai spesialisasinya, Joko Lemazh memainkan alat musik tiup dalam pagelaran tersebut.
Perpaduan Timur dan Barat
Bagi MB Widyoyitno, membuat aransemen untuk kelompok Musikan sangat menarik sekaligus menantang karena adanya perpaduan antara musik timur dan barat.
“Di keraton itu ada percampuran antara musik barat dan musik timur, contohnya Gendhing-gendhing Gati itu. Di sini saya lihat ada perkembangan. Saya tertarik, apalagi gendhing-gendhing laras slendro itu tidak biasa dimainkan dalam musik barat.”
Baginya memadukan musik barat dan timur adalah hal baru. “Lagu-lagu nasional kan juga musik barat, (tapi kemudian dimainkan) menggunakan lageyan jawa, itu kan sesuatu yang tidak biasa, meski akhirnya bukan hal yang aneh lagi,” ungkap pria peraih beberapa penghargaan ini.
Amanat dari keraton ini membuatnya kembali pada kejawaan sekaligus memberinya pelajaran baru, termasuk perbedaan antara notasi instrumen musik barat dan gamelan, “Not suara (trombon) musik barat kan berbeda, misalnya nada A (bisa) disamakan dengan gamelan, namun di nada-nada berikutnya itu akan bergeser. (Tantangannya adalah) bagaimana menyesuaikan laras antara musik barat dengan gamelan. Itu juga seni notasi. Kadang-kadang juga saya baca not angka, not solmisasi tapi ala gamelan. Sangat berbeda dengan solmisasinya alat musik barat.” Namun menurutnya, hal-hal seperti ini merupakan kekayaan yang bisa digali, meski diakuinya tidak mudah, “Paling susah yang slendro. Kalau pelog nadanya tidak begitu beda,” lanjutnya.
Menyangkut kekhasan musik keraton, MB Widyoyitno menjelaskan untuk saat ini bentuk komposisi dan aransemennya masih tergolong standar umum, meski mungkin lama-kelamaan akan mempunyai ciri khas tersendiri. Keunikannya justru terletak pada para musikus yang mengenakan pakaian jawa pranakan meski memainkan musik barat.
Selain itu, Musikan merupakan ansambel sejenis, hanya tiup logam. Ini berbeda dari orkes besar yang melibatkan berbagai jenis alat, meskipun tidak menutup kemungkinan Musikan akan memperkaya diri dengan penambahan instrumen jenis lain, seperti ansambel tiup kayu, string, dan perkusi.
MB Widyoyitno tidak menemukan kendala berarti dalam melatih anggota Musikan. Mereka sudah terbiasa membaca notasi balok. Namun, sama halnya dengan keterampilan lain yang harus diasah, butuh proses panjang untuk mencapai kesempurnaan. “Untuk menghasilkan yang lebih baik dibutuhkan waktu yang banyak karena menyangkut interpretasi, dinamika, artikulasi serta kebersamaan dalam menyatukan berbagai sumber bunyi,” tuturnya.
Musikan Era Milenial
Sebagaimana unit-unit kesenian lain di bawah Kridhomardhowo, Musikan juga diproyeksikan maju ke level nasional, bahkan internasional sebagai upaya pelestarian dan pengembangan budaya bangsa.
MB Widyoyitno bersama tim terus rutin berlatih untuk menyiapkan pentas-pentas selanjutnya yang direncanakan lebih besar dan lebih beragam instrumennya, tak hanya tiup, namun juga string dan perkusi. Ini sesuai dengan harapannya agar musik keraton lebih bervariasi.
Pria yang hobi jalan-jalan bersama keluarga ini bersuka cita terlibat dalam tiap proses karena merasakan ketenangan dan persaudaraan. “Selama menjadi Abdi Dalem (saya) lebih nyaman, tenang. Unsur kekeluargaannya juga kental sekali. Kebersamaan. Jadi kan memang banyak manfaatnya. Mungkin memang guyub-nya itu, gotong royong dengan sesama Abdi Dalem. Sesuai dengan baju (seragamnya), pranakan, artinya kan paseduluran.”
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas