Raden Penewu Ngeksibrongto, Penjaga Kelestarian Irama Karawitan
- 25-05-2021
Jalan takdir. Raden Penewu Ngeksibrongto percaya jalan takdir telah menuntun ke bidang yang ditekuninya hingga kini; karawitan.
RP (Raden Penewu) Ngeksibrongto menyebut-nyebut takdir saat mengenang dirinya tertolak dari SMK Jurusan Otomotif. “Daripada tidak sekolah, saya didaftarkan oleh kakak ke SMKI.” Awalnya berada di posisi cadangan, Agung Harwanto –nama asli RP Ngeksibrongto— akhirnya diterima di sekolah menengah seni itu. Di sanalah Agung mengasah keterampilan bermain alat musik tradisional yang sudah diakrabinya sejak belia. Memang, sewaktu SMP, Agung sudah mengikuti kegiatan ekstrakurikuler gamelan. “Tetapi saya sudah senang (pada gamelan) dari dahulu karena simbah saya Abdi Dalem, pengendang, dan pemain suling juga. Kakak saya almarhum juga pengendang RRI, bagus sekali.” RP Ngeksibrongto begitu mengagumi sang kakak, Suhirjan, yang telah menginspirasinya mencintai instrumen perkusi ini.
Selain di SMKI, Agung juga mendalami karawitan di Sanggar Suryo Kencono dan Krida Beksa Wirama. Tak main-main, bersama Suryo Kencono, Agung pernah berkeliling Eropa Barat selama tiga bulan untuk pentas di enam negara saat usianya masih belasan.
Pengendang Keraton
RP Ngeksibrongto sudah terbiasa pentas di keraton bahkan sebelum diangkat sebagai Abdi Dalem, biasanya untuk mengiring pertunjukan tari. “Saya sering diminta membantu ketika keraton ada jamuan atau pertunjukan, semuan istilahnya, saya disuruh membantu ngendang, tetapi waktu itu saya belum jadi Abdi Dalem.”
Sudah lama mendalami seni klasik, RP Ngeksibrongto tak memiliki kesulitan berarti saat bergabung dengan kelompok wiyaga keraton. “Sudah tidak asing lagi. Waktu (memainkan gamelan) di keraton hanya dipoles sedikit.”
Sering berada di dalamnya, bapak tiga anak ini pun jatuh hati pada keraton, “Dengan adanya interaksi dengan Abdi Dalem, timbul rasa tertarik terutama pada suasana di keraton. Saya merasakan Abdi Dalem yang muda-muda pun, jiwanya sudah prasaja, semeleh, tidak kemrungsung. Saya tertarik dengan itu karena hidup saya penuh dengan cepat-cepat. Jadi kurang semeleh.”
Tahun 2013, akhirnya Agung resmi menjadi Abdi Dalem dan langsung bertugas sebagai wiyaga atau penabuh gamelan. Tak hanya sebagai penabuh, RP Ngeksibrongto juga ditunjuk sebagai pengirit atau pemimpin rombongan wiyaga. Kini sebagian besar waktunya dihabiskan untuk latihan karena ada banyak pementasan yang harus ditampilkan, minimal sebulan tiga kali. Ini masih ditambah berbagai rapat demi kelancaran acara, salah satunya pertemuan besar seluruh Abdi Dalem Kridhomardowo setiap selapan atau 35 hari sekali. “Sekitar dua minggu setelah pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung, semua dalang, penabuh, penari, wiyaga, mengadakan pertemuan. Ditampung semua aspirasi (mereka) dan disampaikan pada Kanjeng Noto (KPH Notonegoro, Penghageng Kridhomardowo),” tuturnya, “Ada juga diskusi kelompok, dalang sendiri, lebdaswara sendiri. Itu luar biasa.”
Nguri-Uri Ilmu Karawitan
Menamatkan sekolah di SMKI, RP Ngeksibrongto melanjutkan pendidikan di Jurusan Seni Karawitan ISI Yogyakarta. Seperti halnya sewaktu bersekolah di SMKI, RP Ngeksibrongto semasa kuliah juga sibuk pentas dari panggung ke panggung.
Setelah lulus dari ISI pada 1996, RP Ngeksibrongto menjalankan usaha toko bangunan yang menghidupi keluarganya hingga sekarang. Namun, ilmu karawitan tetap RP Ngeksibrongto sebarkan dengan menjadi instruktur di Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta sejak lembaga itu berdiri pada 2014. Selain itu, RP Ngeksibrongto juga melatih kelompok karawitan putri mahasiswa UGM Sekar Jindra dan kelompok karawitan Kridho Mudho Wiromo. Tak mau melupakan komunitas yang membesarkannya, laki-laki yang sudah berkali-kali meraih juara karawitan ini tetap aktif terlibat dalam pementasan Sanggar Suryo Kencono, Krida Beksa Wirama, dan sanggar lain.
Prasaja dan Semeleh
Meski tidak mengalami kesulitan berarti terkait teknis bermain gamelan, RP Ngeksibrongto mengakui ada rasa kaget dan kagok di awal-awal menabuh gamelan keraton karena mendapati cengkok yang berbeda dari biasanya. Abdi Dalem yang masih terhitung keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono III ini menuturkan irama yang semeleh atau pelan membuatnya terpana. “Saya pertama kali ngendang bersama Kanjeng Purwo, rasa saya nggak tekan (tidak sampai), karena iramanya antal (pelan sekali), tetapi semeleh, kalau penarinya tidak ampuh, tidak bakal bisa (mengimbangi).” Kanjeng Purwo adalah pengendang senior di keraton sekaligus guru dan inspirator bagi RP Ngeksibrongto.
RP Ngeksibrongto menyadari bahwa irama antal hanya bisa dihasilkan oleh orang-orang yang sudah semeleh atau sepenuhnya berserah. “Lain kan, yang sudah semeleh dengan saya yang masih kemrungsung. Begitu masuk (keraton), greg, saya tidak bisa ngikuti dengan irama seperti itu,” lanjutnya.
Rasa semeleh ini yang kemudian RP Ngeksibrongto upayakan. Pergaulan dengan sesama Abdi Dalem disebutnya sangat membantu. “Semeleh itu susah sekali. Kita bisa (semeleh) karena sowan tiap minggu dua kali. Kita sowan terus selama delapan tahun baru kita bisa merasakan, oh seperti ini, kemudian masuk di insting, kemudian sudah bisa jalan sendiri.”
Selain rasa semeleh, ilmu yang RP Ngeksibrongto dapatkan dari keraton adalah mengelola kegiatan. “Misal, ada pertunjukan, ada pimpinan produksi, ada kanca hinggil, ada administrasi, ada publikasi, ada properti, semua sendiri-sendiri.” Baginya, sistem seperti ini menguntungkan para wiyaga, “Seperti saya kan enak, latihan ya cuma tinggal nabuh. Saya tidak perlu angkut-angkut gamelan.”
Mengingat banyaknya ilmu yang didapat dari keraton, RP Ngeksibrongto menyimpulkan keraton sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah habis. “Walaupun sudah sampai kita umur berapa, tidak akan pernah habis, hanya kita mau mandek atau terus. Kalau kita sudah merasa pintar, ya sudah sampai di situ kemampuan kita. Kalau kita masih merasa bodoh, keraton itu bisa diambil (ilmunya) banyak sekali.” RP Ngeksibrongto mencontohkan naskah-naskah lama mengenai tari yang bisa direkonstruksi dengan interpretasi baru. “Misalnya (dalam naskah itu) tidak ditulis gendhingnya apa, kita nafsir sendiri. Itu kan termasuk kekayaan.”
RP Ngeksibrongto membuktikan sendiri bagaimana keraton memberinya berlimpah wawasan baru, “Saya bisa mengerti garap gendhing-gendhing kuno yang belum pernah saya dengar di luar. Saya belajar dan akhirnya tahu, gendhing ini karakternya ini, gendhing itu karakternya itu.”
Lucu sampai Haru
“Kalau dari sisi fungsi, kendang (adalah) konduktor, sopir,” demikian pengandaian RP Ngeksibrongto mengenai alat musik ini. “Ketika berkolaborasi dengan beksan atau wayang, kendang itu menghidupkan sekali.” RP Ngeksibrongto akui memainkan alat musik ini menguras energi, namun mendatangkan kepuasan. Kendang menjadi instrumen terpenting dalam mengatur cepat dan lambatnya irama. Selain menyukai kendang, Abdi Dalem yang pernah pentas di Abu Dhabi, Irlandia, dan Belanda bersama keraton ini juga menyukai rebab. Seperti kendang, rebab juga mengatur irama meski tidak sedominan kendang.
Bertahun-tahun menjadi pengendang di bawah Kridhomardowo, RP Ngeksibrongto memiliki banyak pengalaman berkesan. Salah satu kejadian jenaka adalah ketika RP Ngeksibrongto ‘diserbu’ pengunjung sekaten saat berebut udhik-udhik yang disebarkan oleh Sri Sultan. “Walau sudah ditahan oleh personel dari Kauman, itu tetap tidak bisa. Cepet sekali. Begitu disebar, langsung bruk.” Gong nyaris ambruk, keris Abdi Dalem juga ada yang hilang, kenangnya sambil tertawa.
Pengalaman yang membuatnya gugup adalah tugas menabuh gamelan sekaten pertama kali, “Itu (gamelan) pusaka. Lagipula ditonton banyak sekali orang. Tetapi kalau sudah empat atau lima kali (bertugas) sudah tidak masalah. Pertama kali ngeri, takut benar. Itu kan tabuhnya besar, berat. Belum pernah nabuh (gamelan) semacam itu sebelumnya saya.”
Perasaan haru melandanya saat pentas pertama kali di Kagungan Dalem Bangsal Kencana, “Itu mau nangis,” kenangnya.
Unggah-Ungguh dan Tata Krama
RP Ngeksibrongto mendapat dukungan penuh dari istri dan anak-anaknya untuk mengabdi di keraton. Sang ibu pun bangga sekali bila melihatnya mengenakan busana Abdi Dalem. Sebaliknya, RP Ngeksibrongto membawa tradisi unggah-ungguh dan tata krama luhur keraton kepada keluarganya. RP Ngeksibrongto berharap bisa menerapkan kebaikan tersebut dalam keluarganya.
“Jangan meninggalkan budaya nenek moyang kita,” pesannya. Penghormatan terhadap sesama RP Ngeksibrongto anggap sebagai salah satu esensi budaya Jawa. “(Unggah-ungguh) itu menjembatani. Kalau kita menghormati orang tua dan sesama, kan enak nanti, tidak ada jarak.”
Sementara untuk keraton yang selama ini mengayominya, RP Ngeksibrongto berharap pusat kekayaan budaya Jawa tersebut bisa lestari dan langgeng selamanya.