Mas Bekel Ngabdul Haq, Selarasnya Budaya dan Agama
- 29-03-2022
“Keraton sampai sekarang bisa eksis tidak terlepas dari dua hal, donga dan loma.” Doa dan kedermawanan punya andil besar dalam menjaga kelestarian keraton hingga sekarang. Itulah kesimpulan Mas Bekel Sepuh Ngabdul Haq, salah seorang Abdi Dalem Kanca Kaji Selusin yang bergabung sejak 2014. Pria bernama asli Mashurori ini takjub menyadari bahwa setiap kegiatan keraton, bahkan yang terlihat sepele, seperti menanam rumput atau mengganti lampu, selalu diawali doa dan sedekah. Kedermawanan dan sedekah disimbolkan dengan sesaji serta berkatan yang senantiasa dihidangkan dalam setiap upacara lalu dibagikan kepada hadirin. Hal ini membuat Mas Ngabdul Haq yakin bahwa keraton jauh dari hal-hal klenik. Alih-alih, jiwa spiritual dan keagamaan senantiasa menjadi roh dalam tiap langkah.
Abdi Dalem Kanca Kaji berada di bawah Kawedanan Hageng Sriwandawa. Tugas utama mereka adalah memimpin doa dalam upacara-upacara keraton dan kegiatan keagamaan yang ada di dalam keraton. Saat ini terdapat empat belas Kanca Kaji yang senantiasa berdampingan dengan Kanca Suranata dalam bertugas. Anggota Kanca Kaji bergiliran berjaga di Masjid Panepen setiap seminggu sekali dan menginap semalam di sana. Merekalah yang memimpin salat di masjid khusus keluarga keraton tersebut. Di luar hari piket, mereka memenuhi timbalan atau panggilan dari keraton sesuai dengan kebutuhan.
Kegiatan rutin mereka antara lain adalah mengawaki Sugengan tiap Selasa Wage (bertepatan dengan Tingalan Wiyosan Dalem Sri Sultan HB X), Pengajian Sewelasan (tiap tanggal sebelas bulan hijriah yang diisi dengan “Dulkadiran” yakni membaca kitab manaqib Syekh Abdul Qadir al Jailani) dan upacara-upacara Sugengan Hajad Dalem, termasuk peringatan hari wafat setiap sultan. “Tergantung dhawuh, (bisa) tujuh, sembilan, kadang lima, kadang tiga (Kanca Kaji yang bertugas).”
Dalam beberapa kesempatan, mereka dimintai sesama Kanca Abdi Dalem untuk menerangkan hal-hal terkait ibadah keagamaan dan menjadi narasumber dalam kajian Islam. “Saya punya jemaah di beberapa tempat yang saya mengisi ngaji di situ. Jadi karena apa yang saya lakukan di dalam dan luar keraton itu sama, maka saya sangat enjoy, menjalankan tugas saya di keraton,” tuturnya.
Modal Kecintaan Terhadap Kebudayaan
Bertahun-tahun lalu, dalam suatu pertemuan di Masjid Kagungan Dalem Baiturrahman, Saman II, Bangunharjo, Sewon, Bantul, disiarkan pengumuman bahwa keraton membuka lowongan Abdi Dalem Kanca Kaji. “Ada yang nyeletuk, kalau itu yang cocok dan pas Pak Mashurori. Saya akhirnya ditawari sebagai perwakilan dari Masjid Baiturrahman, Saman,” kenang pria asal Blitar ini. Mas Ngabdul Haq memang tinggal di Desa Saman dan sudah lama menjadi guru mengaji di masjid tersebut.
“Saya pikir modalnya kan senang kabudayan. Akhirnya saya mau, kemudian sowan Kanjeng Ridwan (Pengirit Kanca Kaji kala itu), mengutarakan maksud dan tujuan. Ditanya, pernah mondok? Pernah. Kalau sudah pernah mondok tak perlu saya tes.” Ia mengingat momen itu dengan tawa berderai.
Mas Mashurori akrab dengan pondok pesantren semenjak kecil. Ia mondok untuk pertama kali saat masih kanak-kanak di kampung halamannya di Blitar. Pendidikan pesantren ini ia teruskan hingga remaja, sementara pendidikan formal ia kenyam di madrasah yang juga kental dengan ilmu keagamaan.
Rupanya ilmu keagamaan telah menjadi renjananya. Ia pun memilih Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN) untuk pendidikan tingginya. Berbarengan dengan kuliah, ia kembali mondok di Pesantren Krapyak dan aktif dalam bidang kemasyarakatan hingga kemudian bertemu dengan sang istri yang merupakan warga Desa Saman dan membawanya menetap di desa tersebut hingga kini.
“Warga kami itu hampir delapan puluh persen ngaji-nya di Krapyak. Sejarah berdirinya Masjid Kagungan Dalem Baiturrahman tak lepas dari peran Mbah Amat Thohir atau Mbah Jayamenggala. (Beliau) itu adalah ahli bikin senjatanya Pangeran Diponegoro.” Ketertarikan pada agama, budaya, dan sejarah ini akhirnya menjadi pijakan Mas Ngabdul Haq untuk menjadi Abdi Dalem.
“Awal mula, dalam benak saya, keraton itu pasti punya banyak hal atau pelajaran budaya. Bayangan saya pasti ada sesuatu. Betul, begitu masuk ternyata banyak hal yang belum saya dapat di luar sana,” katanya. Mas Ngabdul Haq mencontohkan sapaan “ca” bagi sesama Abdi Dalem (kependekan dari kanca, teman) yang merupakan perwujudan kesetaraan. Sementara kebiasaan berjalan urut pangkat, menurutnya, menjadi teladan sikap menghormati rekan yang lebih senior.
“Terus niteni, ilmu titen. Kami yang junior biasanya kan disuruh niteni kanca-kanca yang lebih senior. Kalau dionceki itu kan (pelajaran bahwa) kita harus tahu diri. Kita harus memperhatikan dan mempelajari hal-hal yang ada di sekitar kita.”
Mas Ngabdul Haq juga terkesan setelah mengetahui, berkebalikan dari pandangan sebagian orang, keraton ternyata jauh dari klenik. “Setelah belajar itu terbukti, keraton nggak ada kleniknya. Terkait sajen, itu kan hanya simbolis, pelajaran bagi kita, supaya kita mau niteni. Melihat, mengolah rasa, memahami tujuan dan harapan dari simbol tersebut. Setelah niteni (kita) kan tahu diri, bisa mawas diri, sejauh mana kita hidup di dunia, pada tataran apa, sudah tahu sendiri. Hari ini sangat jarang orang yang mau niteni.”
“Kalau ditarik dalam keagamaan, (hal tersebut) merupakan proses harmoni hidup yang tidak lepas dari hablum minallah dan hablum minannas, doa berhubungan dengan Allah, sedekah dengan manusia. Dua hal ini yang memang menjadi pokok kehidupan kita,” lanjutnya.
Untuk menjadi Kanca Kaji, ujar Mas Ngabdul Haq, sebenarnya tidak memerlukan kualifikasi khusus. “Syaratnya minimal bisa baca Al-Qur’an, paham agama, bisa memimpin doa, khususnya doa tahlil. Syukur-syukur bisa mengisi kajian.”
Dunia dan Akhirat yang Sejalan
Memercayai dunia dan akhirat harus berjalan seimbang, Mas Ngabdul Haq menempuh pendidikan di dua jurusan, Syariah (IAIN) dan Sipil (di perguruan tinggi swasta). “Saya berpikir Syariah itu jurusan akhirat. Jurusan dunianya cari di Sipil,” ujar pria yang lembut dalam bertutur kata ini. Ia mengambil Jurusan Teknik Sipil yang ilmunya segera diaplikasikan untuk mencari nafkah. Setelah lulus, ia mendirikan perusahaan dengan modal seadanya dan banyak menangani proyek-proyek sipil.
Berkaitan dengan prinsip menjalankan roda perusahaan sebagai sarana untuk menjemput rezeki, “Saya sekarang lebih (percaya pada) marketing-nya Gusti Allah, tegasnya.” Ia meyakini, pendapatan dari pekerjaan yang tidak mengedepankan hawa nafsu (ambisi) akan mendatangkan kedamaian hati. Oleh karenanya, ia berganti haluan dan mengelola perusahaannya menjadi spesialis desain interior yang saat ini cukup maju.
Profesi praktis semacam ini menurutnya penting agar kegiatan syiarnya tidak tercampuri tujuan materialistis. “Saya berpegang pada ngendikane kiai saya waktu di pondok, santri itu kalau nggak ngaji ya mulang. Kapan bekerjanya? Agar hati saya tidak tercampuri hal-hal seperti itu, supaya saya tidak berharap finansial dari semua kegiatan keagamaan yang saya lakukan di masyarakat, memang dari awal, saya berpikir kalau ngaji ya pure ngaji, kalau dalam pekerjaan ya pure bekerja. Jadi harus ada ilmu yang lain.”
Mas Ngabdul Haq juga aktif dalam organisasi masyarakat NU (Nahdlatul Ulama) dan memimpin jemaah-jemaah pengajian. Saat ini ia menjadi pembimbing bagi sekitar sepuluh kelompok pengajian. Ia menganggap kegiatan tersebut sebagai bentuk khidmat kepada umat.
Nilai-Nilai Spiritualitas dan Moralitas
Mas Ngabdul Haq mendapatkan banyak pengalaman menyenangkan selama mengabdi di keraton. “Terutama ketika kami didhawuhi Ngarsa Dalem melalui Putra Dalem. Setelah biasanya kami matur, ‘Sampun cekap Gusti’, beliau selalu ngendika, ‘Matur nuwun’. Rasanya mak ces. Kami merasa begitu berharga ketika dibilang nuwun seperti itu. Sampai merinding. Itu sangat berkesan bagi kami.”
Mas Ngabdul Haq juga merasakan betul ada perubahan dalam dirinya setelah menjadi Abdi Dalem. “Sekecil apa pun kegiatannya, (kami) selalu terlibat. Jadi Kanca Kaji itu selalu tahu diri, selalu berbusana rapi, dan selalu seragam.”
Pria yang hobi jalan-jalan dan ziarah ini juga merasa lebih semeleh dan mawas diri. “Kalau sudah bisa mawas diri itu kan artinya ayem. Lebih bisa lagi mengupas hati, mengupas hal-hal yang seharusnya menjadi pembelajaran bagi diri sendiri. Kalau saya, sekarang lebih suka mengupas hal-hal yang bersifat filosofis. (Akhirnya) kita tidak gampang menyimpulkan sesuatu yang kita tidak tahu.”
“Alhamdulillah, bagi saya pribadi membawa lebih baik, baik secara spiritual, maupun tata lahirnya.”
Mas Ngabdul Haq pun menjelaskan, “Ketika saya sudah berpakaian seperti ini (busana pranakan Abdi Dalem), rasanya beda, hasilnya beda. Beda ketika saya tidak berpakaian seperti ini. Itu pengalaman saya pribadi. Rasanya luwih abot, lebih berisi. Ketika berdoa lebih berisi.”
Untuk itu ia mengingatkan pada sesama Kanca Kaji untuk memperkaya diri dengan nilai-nilai spiritual sesuai dengan keunggulan masing-masing, baik itu puasa, wiridan, atau berceramah.
Literasi Budaya dan Agama
Mas Ngabdul Haq menyimpan keresahan menyangkut gesekan sosial yang sering terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, literasi, terutama literasi budaya, menjadi salah satu kunci untuk mengatasi persoalan tersebut. “Sekarang kita harus banyak literasi, terutama literasi budaya. Hal seperti itu sangat jarang, atau malah ditinggalkan. Kita tidak mau berpikir panjang. Akhirnya terjadi kekisruhan dalam berinteraksi. Saya harap kanca-kanca muda ini mau mempelajari budaya kita karena itu sangat berharga.”
Ia pun mencita-citakan adanya semacam pondok pesantren berbasis agama dan budaya. “Kita restorasi semua nilai-nilai itu, kita ajarkan ke anak-anak kita.” Ia mengangankan budaya keraton dipelajari dalam suasana pembelajaran semacam itu. “Keraton kan didasarkan pada nilai-nilai agama juga.”
Dukungan penuh dari keluarga membuat Mas Ngabdul Haq total dalam mengabdikan diri kepada keraton dan masyarakat luas. “Bahkan anak saya mengatakan, kalau ditanya pekerjaan ayahmu apa? Abdi Dalem. Artinya anak-anak saya juga bangga dengan keabdidaleman saya.” Kedua anak laki-lakinya mengikuti jejak sang ayah menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren. Anak pertama bahkan akan segera kuliah di Al-Azhar Kairo dengan beasiswa. Keadaan ini sangat ia syukuri, “Yang penting, kami bisa mengabdi di sini (keraton), sudah matur nuwun, sudah merasa berharga. Mudah-mudahan anak-anak kami bisa meneruskan, di sini. Harapan saya seperti itu. Alhamdulillah (mereka) tidak jauh berbeda dari saya.”
Abdi Dalem Kanca Kaji senantiasa melindungi keraton dengan doa-doa mereka. Secara khusus mereka memanjatkan permohonan kepada Gusti Allah SWT untuk menguatkan (panjang umur, kesehatan, dijauhkan dari mara bahaya), mengasihi, melindungi, dan memberkahi sultan serta keluarga. Secara umum, mereka mendoakan agar Yogyakarta selalu aman, nyaman, tenang, bermartabat dan selalu dalam lindungan serta keberkahan Gusti Allah SWT.