KRT Zhuban Hadiningrat, Menegakkan Syiar Agama di Keraton Yogyakarta
- 26-04-2022
Keraton Yogyakarta merupakan salah satu kerajaan Islam nusantara yang masih lestari hingga kini. Pusat budaya Jawa ini senantiasa aktif mensyiarkan ajaran agama Islam lewat program-program religius yang digawangi terutama oleh Abdi Dalem Pengulon. Kata “pengulon” berasal dari “pengulu” atau “penghulu”, yaitu Abdi Dalem yang bertugas menikahkan putra-putri keraton. Posisi semacam itu sekarang sudah tidak ada lagi. Namun, Abdi Dalem Pengulon tetap eksis untuk membangun agama Islam di keraton dan sekitarnya.
Tugas utama Abdi Dalem Pengulon adalah menyampaikan nilai-nilai keutamaan Islam di luar tembok keraton, kebanyakan di masjid-masjid Kagungan Dalem lewat forum-forum majelis yang terbuka untuk umum. Ini berbeda dengan Abdi Dalem Kanca Kaji yang berkewajiban melaksanakan kegiatan keagamaan di dalam lingkup cepuri.
Kanjeng Raden Tumenggung Zhuban Hadiningrat (nama asli Drs. H. Syaifuddin Anwar) adalah salah satu Abdi Dalem Pengulon yang telah membaktikan diri lebih dari tiga dekade. Pria asal Jawa Timur ini awalnya datang ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu. Namun, di kota ini, takdir mempertemukannya dengan putri dari saudara Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang kemudian menjadi istrinya. Bapak dan ibu mertuanya sering datang ke keraton. Lantaran itulah, Kanjeng Zhuban perlahan-lahan mengenal lingkungan dan keluarga keraton. Saat sang ayah mertua meninggal pada tahun 1990an, Kanjeng Zhuban diminta oleh mendiang GBPH Joyokusumo, Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura kala itu, bergabung dengan keraton untuk mengembangkan agama Islam di Yogyakarta.
Kekuatan Utama Syiar Agama
Awalnya Kanjeng Zhuban menjabat sebagai Wakil Penghageng Pengulon. Namun, seiring perubahan struktur yang meniadakan jabatan pengulu (penghulu), Kanjeng Zhuban kemudian bertugas sebagai Pengirit hingga sekarang. Selain melantunkan doa-doa dalam majelis serta upacara-upacara adat, seperti sugengan dan kuthamara bersama Kanca Kanji, Abdi Dalem Pengulon berperan sentral dalam peringatan hari besar keagamaan, seperti Maulud Nabi dan Isra Mikraj. Dalam upacara Garebeg di Masjid Gedhe, misalnya, mereka bertugas menerima gunungan yang hadir dalam kawalan prajurit keraton.
Jadwal tugas Abdi Dalem Pengulon terbilang padat karena banyaknya kegiatan yang harus mereka jalani. Setiap malam Selasa Kliwon, dua lapan sekali, misalnya, mereka mengadakan “Bukhoren”, yaitu kajian kitab-kitab hadis Al Bukhari. “Setiap Selasa Kliwon, dua lapan sekali, (kami) ngaturi alim ulama se-Yogya. Tujuan Bukhoren adalah melanjutkan kajian yang dimulai sejak era Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk memperat hubungan kiai-kiai sepuh dengan keraton,” jelasnya. Sebelum pandemi jumlah kiai yang diundang bisa mencapai 250 orang. Lebih jauh Kanjeng Zhuban menerangkan, setelah membaca kitab hadis Bukhari, mereka akan berdiskusi mengenai tafsir suatu hadis yang dipilih. “Semua kiai dikasih satu (hadis) dengan judul berbeda lalu nanti (bila) ada salah satu yang punya pendapat yang berbeda atau kurang pas diutarakan dalam forum dan didiskusikan.” Hasil diskusi tersebut kemudian dirumuskan dan disimpulkan. Abdi Dalem Pengulon, khususnya golongan kajian, akan menulis notula yang selanjutnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam jurnal bukhoren dan disebarluaskan ke pengurus-pengurus masjid atau peserta majelis.
Ada pula kajian yang mereka selenggarakan setiap Jumat Wage dan Senin Pon. Pada bulan Ruwah, sebelum datangnya puasa Ramadan, mereka berziarah ke makam-makam Kagungan Dalem dalam tradisi yang disebut Kuthamara. Saat memasuki malam ke-21 bulan Ramadan, mereka memimpin jemaah beribadah menyambut lailatulqadar. Inilah yang disebut malam selikuran.
Tugas lain yang diemban oleh Abdi Dalem Pengulon adalah menyusun buletin dakwah. Hal ini dilakukan sebulan sekali. Kanjeng Zhuban membuatnya bersama tim kajian yang terdiri dari tokoh-tokoh dari UIN dan pondok-pondok pesantren di Yogyakarta. Buletin ini awalnya ditulis dalam bahasa Jawa, tetapi belakangan disajikan dalam dua bahasa, Jawa dan Indonesia. Buletin tersebut kemudian diperbanyak dan dibagikan ke masjid-masjid Kagungan Dalem. Untuk melancarkan semua tugas, mereka mengadakan rapat koordinasi antar Pengirit setiap dua minggu sekali.
Di luar upacara keagamaan, Abdi Dalem Pengulon juga terlibat dalam pemeliharaan masjid-masjid Kagungan Dalem, mulai dari urusan legalitas hingga renovasi. Praktis, Kanjeng Zhuban hadir di keraton setiap hari.
Dengan kesibukan yang begitu padat, Kanjeng Zhuban tak pernah merasa berat hati menjalankan tugas. Sebaliknya, ia merasa nyaman. “Nyaman sekali karena di sini ternyata setiap aktivitas keraton merupakan aktivitas yang sangat religius, terlaksana, dan terdampingi dengan sedekah-sedekah.” Menurutnya, sedekah merupakan bentuk pengayoman dari sultan.
Pencerahan Spiritual
Setelah menjadi Abdi Dalem Pengulon, Kanjeng Zhuban seperti menyibak tabir yang membuatnya paham bahwa praktik-praktik kultural di keraton tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keduanya berjalan seiring. “Menambah pengertian bahwa antara agama dengan keraton sinkron dan setiap kegiatan keraton mengacu pada ajaran agama. Di situlah ketemunya. Dan (itu pengalaman) paling berkesan sampai sekarang.”
Kanjeng Zhuban mampu mengambil makna ritual budaya yang sesungguhnya menyimbolkan nilai-nilai agama. Ia pun menularkan pemahaman ini pada khalayak. “Masyarakat belum paham. Sering mahasiswa menemui saya dan minta penjelasan. (Sebelumnya mereka menganggap keraton) tempatnya orang syirik, tetapi setelah saya beri penjelasan banyak yang suka,” tuturnya. Kanjeng Zhuban pun makin mantap mengabdikan diri. “Saya di sini (keraton) bisa mengabdi dunia akhirat.”
Sepenuhnya untuk Umat
Kanjeng Zhuban merupakan alumni Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada. Semasa kuliah, Kanjeng Zhuban aktif dalam organisasi kampus, bahkan sempat menjadi ketua dewan mahasiswa. Karena itulah, ia memiliki jaringan luas yang akhirnya memberinya peluang kerja sebagai kontraktor proyek sipil. Kanjeng Zhuban pernah menjabat sebagai pemimpin cabang perusahaan dan bergabung dalam organisasi gabungan pengusaha kontraktor. Kiprahnya melebar ke politik hingga pernah terpilih menjadi Wakil Ketua II DPRD Sleman. Namun, di kemudian hari ia memilih undur diri ketika dihadapkan dengan praktik politik yang tak sehat.
Saat ini Kanjeng Zhuban sudah jauh mengurangi kegiatan yang bersifat duniawi. Kanjeng Zhuban juga sudah tak memiliki ambisi pribadi yang terkait materi. Namun, ia masih menjadi konsultan untuk beberapa pekerjaan kontraktor. Di sisi lain, kegiatan sosial keagamaannya makin padat.
“(Seiring) usia, cita-cita baik di keraton maupun di luar keraton saat muda dahulu sudah tidak ada lagi. Di keraton saya tidak ingin pangkat naik, gaji naik. Hanya saya ingin, bagaimana kalau sudah terpanggil, baik di keraton maupun di masyarakat, saya ada sejarah. Dahulu pernah sumbang saran.”
Di luar keraton, Kanjeng Zhuban menjadi sesepuh dan takmir di Masjid Ngampilan. Di kampung inilah dia tinggal, menempati rumah mertuanya, sementara istrinya sudah berpulang beberapa tahun lalu. Keempat anaknya sudah dewasa dan mandiri. Tiga di antaranya bekerja sebagai PNS, sementara satu lagi menjadi Carik di Kawedanan Pengulon. Cucu-cucunya terkadang datang untuk menemani atau mengantarnya ke majelis-majelis. Ia masih sering diundang oleh masjid-masjid di seputar Yogyakarta untuk memberikan tausiah, baik untuk peringatan hari besar maupun khotbah Jumat.
Kanjeng Zhuban juga aktif dalam bidang kemasyarakatan. “Kalau misalnya ada kematian, di kampung saya, saya sering diminta jadi kaum untuk membacakan doa pemberangkatan jenazah, kadang selamatan tahlilan.”
Tak heran, masyarakat pun menaruh hormat padanya. “Masyarakat sekitar, dahulu memanggil (saya) Pak Haji. Sekarang, ‘Kanjeng, Kanjeng’,” tuturnya senang.
Walau fisiknya sudah tak sekuat dahulu, Kanjeng Zhuban merasa semua kegiatan yang dijalani justru membuatnya sehat dan mendatangkan manfaat, misalnya mencegah kepikunan dan mendatangkan saudara.
Menyerap Nilai-Nilai Positif
Sebelum menjadi Abdi Dalem, Kanjeng Zhuban sudah mengenal dekat Sri Sultan Hamengku Buwono X. Saat itu Sri Sultan menjabat sebagai Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) dan Kanjeng Zhuban menjadi anggota di organisasi tersebut serta sering memimpin doa dalam berbagai forum yang mereka adakan.
“Dengan adanya itu saya cukup mempunyai pandangan Ngarsa Dalem itu begitu merakyat, santun. Saya mendapatkan contoh atau tuntunan, itulah pemimpin yang bisa kita ikuti.” Kanjeng Zhuban mengaku sering merekam pidato-pidato Ngarsa Dalem menyangkut masalah kenegaraan atau kedaerahan lalu menyampaikannya kembali karena tertarik dengan redaksionalnya.
Abdi Dalem yang gemar bersepeda ini berpesan kepada generasi muda untuk tidak membuat jarak dengan keraton, karena keraton merupakan sumber pembelajaran dan banyak memiliki program pengembangan agama Islam.
Mendapatkan ketenteraman rohani selama mengabdi, Kanjeng Zhuban senantiasa berdoa dengan khusyuk untuk kelestarian keraton dan para pendirinya. Untuk dirinya sendiri, ia sudah merasa cukup, “Alhamdulillah, saya betul-betul semeleh. Menyadari usia, mau apalagi, wong semua sudah ada yang ngatur di sana.” Singkatnya, Kanjeng Zhuban sudah sampai pada tataran berserah diri. “Kita semeleh-nya itu tawakal. Apa pun yang saya mau kalau Tuhan nggak mau, tidak akan terjadi. Apa pun yang saya minta kalau Tuhan ngersaake pasti akan dikabulkan. Begitu saja. Semeleh-nya saya begitu,” pungkasnya.