Nyi Mas Riya Murtiharini dan Estafet Tari Klasik Yogyakarta
- 22-08-2022
Menari sudah seperti bernapas bagi Dra. Veronica Retnaningsih yang akrab dipanggil Bu Ning. Gemar menari sejak kecil, perempuan kelahiran Tegal ini dihidupi dan menghidupi tari nyaris sepanjang hidupnya. Ia resmi menjadi Abdi Dalem Pamucal (guru tari) di Kawedanan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta pada 2021. Namun, jauh sebelumnya, ia sudah membaktikan diri di keraton sebagai penari. Tak terhitung berapa ratus tari telah ia bawakan, termasuk tari-tari klasik pusaka keraton, bedhaya dan srimpi. Kini, ia siap mengalihkan peran tersebut kepada murid-murid asuhannya.
Bu Ning menari sejak kanak-kanak karena kesenian ini membuatnya gembira. Ia kemudian masuk sanggar tari Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa Pujokusuman. “Menjadi murid Rama Sas dan makin mencintai tari, ingin sekali memperdalam lalu menjadi penari yang bagus,” kenangnya. Mendiang Rama Sas yang ia sebut tak lain adalah KRT Sasminta Dipura, maestro tari sekaligus pendiri pamulangan beksa tersebut.
Rama Sas jugalah yang berjasa mengantarkan Bu Ning sebagai penari keraton. Tahun 1984, keraton menyelenggarakan pameran sebagai rangkaian perayaan Sekaten. Salah satu mata acara pembukaannya adalah fragmen Ramayana Senggana Duta. Menjelang pementasan, ada satu orang penari yang harus diganti. Rama Sas, yang juga mengajar tari di keraton, menunjuk Bu Ning untuk mengisi kekosongan tersebut, meski Bu Ning belum pernah berlatih di dalam keraton.
Ibu Ning hanya memiliki dua hari untuk latihan dan geladi resik, tetapi ia berhasil tampil dengan baik. Dari situ, empat guru tari keraton pun berpesan padanya, “Setelah ini, kamu latihan yang rajin ya di keraton.”
Njih, hanya itu jawaban Ning sesuai dengan amanat yang disampaikan Rama Sas sebelumnya, “Nanti bila ditanya oleh guru, jawablah ‘iya’, jangan lainnya.”
Menjelang remaja, Bu Ning mulai belajar di keraton hingga akhirnya, lebih dari dua dekade kemudian, meneruskan tongkat estafet dari para guru yang telah mendidiknya.
Belajar Sepanjang Usia
Tak pernah puas belajar, Ibu Retnaningsih juga bergabung dengan Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja. Di sini, Ibu Ning digembleng langsung oleh empu tari kreasi baru, Bagong Kussudiardja. Mentalnya pun turut ditempa hingga muncul kesadaran bahwa kemampuan menari saja tidak cukup untuk mendaki puncak keberhasilan. Upaya mengasah keterampilan raga, harus diiringi kedisiplinan, ketekunan, dan komitmen.
Ia menjelaskan tari klasik yang cenderung lembut dan penuh pakem sangat berbeda dengan tari kreasi baru yang aktif dan reaktif. Mimiknya pun berlainan. Klasik cenderung natural, sementara kreasi baru serba ekspresif-berani. “Sangat beda, tetapi semuanya ada bagusnya.”
Lewat jalur formal, perempuan yang lembut dalam bertutur ini memperdalam kompetensinya di Jurusan Seni Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Di saat yang sama, ia menjadi pengajar di Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa atas dorongan Rama Sas. “Waktu itu saya belum punya sangu (bekal) sama sekali tetapi Rama Sas ngendika, ‘Ya ra papa, karo sinau.’ Saya dapat sangu lagi kalau mengajar ada trik-trik sendiri, itu istilahnya saya disangoni Rama Sas.”
Hubungannya dengan Rama Sas terbilang dekat meski tetap sebatas antara guru dan murid yang ngangsu kawruh. “Dibilang (murid) kinasih tidak, intinya saya tanda kutip rajin, rajin latihan. Itu mungkin yang memacu Rama Sas berpikir untuk melatih saya jadi guru.”
Di PLT Bagong Kussudiardja perjalannya pun sama. Perempuan yang tinggal di Kasihan, Bantul ini kemudian menjadi pengajar untuk seni tari klasik di situ. “Murid-murid dan guru-guru di PLT juga berlatih tari klasik, walau dari awal berangkatnya berbeda.”
Transformasi Ilmu
“Ingin nguri-uri dan mengetahui seluk beluk tata cara serta adat tradisi Jawa baik yang di masyarakat umum maupun di keraton,” ujarnya mengenai motivasi menjadi Abdi Dalem. “Setelah saya masuk, ingin sekali juga melestarikan dan mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta dan menularkan apa yang saya dapat dari empu dahulu kepada generasi berikutnya.”
Di keraton, Bu Ning mendapat Nama Paring Dalem Murtiharini dan kini telah berpangkat Riya Bupati Anom. Awalnya, ia diangkat menjadi Abdi Dalem Kaprajan pada 2012, yaitu status Abdi Dalem yang diperuntukkan bagi ASN karena waktu itu tengah bekerja di Dinas Kebudayaan DIY. Dua tahun kemudian, tahun 2014, ia di-liyer (dipindahkan) ke Kridhamardawa karena kawedanan ini baru saja membuka sekolah tari dan membutuhkan pengajar.
Sepanjang kariernya di Dinas Kebudayaan, Bu Ning bertugas di berbagai bagian. Ia pernah ditempatkan di Taman Budaya Seksi Pengembangan dan Penyajian. Setelahnya, dia bekerja di Seksi Film, lalu kembali lagi ke Taman Budaya pada Seksi Dokumentasi dan Informasi. Seni memang tak pernah lepas darinya. Selama menjadi ASN, tugas utama Bu Ning adalah mengolah, melestarikan, dan mengembangkan kesenian yang ada DIY, termasuk tari klasik, kreasi baru, kontemporer, maupun kerakyatan. Selain itu, ia bersama tim mendokumentasi rekontruksi tari dan menulis profil para seniman serta budayawan.
Kini ia sudah pensiun sebagai ASN, tetapi pengalaman kerja yang ia dapatkan dalam birokrasi membantu melancarkan tugas-tugasnya sebagai guru tari, terutama dalam menjalankan administrasi.
Dari Keraton untuk Dunia
Sebagai pengajar di Kridhamardawa, tugas utama Bu Ning adalah mencetak penari-penari andal yang nantinya bisa mengisi kebutuhan keraton. Para pengajar bergiliran menjalankan tugas. “Saya bertanggung jawab mengajar pada Minggu Pahing, sementara tugas ngeprak-nya Minggu Legi,” tuturnya.
Selain itu mereka juga bertugas menjadi penata tari dan bertanggung jawab atas pementasannya, termasuk di antaranya dalam acara rutin Uyon-Uyon Hadiluhung tiap malam Selasa Wage.
Tahun 2020, Bu Ning ditunjuk menjadi penanggung jawab Srimpi Teja. Pada Agustus 2021, ia memimpin pertunjukan Srimpi Muncar dan pada Agustus 2022 ia sekali lagi menerima amanat untuk menyukseskan pementasan Srimpi Dhempel.
Bukan tanpa alasan bila Bu Ning diserahi tugas tersebut. Saat masih kuliah, ia pernah melakukan penelitian tentang tari-tari klasik keraton dan untuk itu ia harus mempelajari naskah-naskah kuno di perpustakaan keraton. Srimpi Dhempel termasuk salah satu tarian yang dikembangkan pada era Sri Sultan HB VIII. Menurut Bu Ning, tari-tarian pada era Sri Sultan HB VII dan Sri Sultan HB VIII tercatat cukup rapi dan lengkap, termasuk narasi sinden, kandha, dan gendhing-gendhing-nya. Namun, bukan berarti langsung bisa dipentaskan. Naskah-naskah yang ditulis dalam aksara Jawa itu perlu diterjemahkan, diinterpretasikan lalu dikonsultasikan dengan para empu karawitan.
Guru-guru Kridhamardawa juga sering kali bertugas di luar keraton membawa misi kesenian, tak hanya di seputar Yogyakarta atau provinsi lain, tetapi sampai di luar negeri. Salah satunya adalah Muhibah Seni ke Wonosobo bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan DIY pada tahun 2022, “Menjadi semacam instruktur untuk masyarakat di sana,” Bu Ning menjelaskan. Peran lain mereka dalam misi kesenian adalah menjadi official bagi para penari.
Pada tahun 1988, Bu Ning melawat ke berbagai negara dalam rangka memeriahkan Olimpiade Seoul 1988. Ia berkeliling Asia, mulai dari Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Malaysia, Singapura, Thailand, dan negera-negara lain. “Satu setengah bulan. Durasi tari satu setengah jam, itu saya nari empat materi,” katanya. Ia harus bergerak gesit karena pergantian antar tari hanya diselingi waktu sepuluh menit. “Mau ke ruang riasnya dengan lari-lari. Itu saya sudah lepas-lepas (kostum). Lari lagi ke sana (panggung). Itu melatih saya untuk mandiri dan gerak cepat. Kalau melihat penari lambat saya geregetan, waktu kok dibuang-buang. Waktu sangat berharga.”
Agustus 2022, Keraton Yogyakarta menjalin kerja sama melalui MoU dengan Universitas Wesleyan, Amerika Serikat. Kerja sama ini berkaitan dengan bidang pertukaran budaya khususnya antara Keraton Yogyakarta dan Universitas Wesleyan serta kerja sama bidang pendidikan. Keraton Yogyakarta kemudian menugaskan Ibu Ning sebagai pengajar tari Jawa di sana selama dua semester mulai September 2022.
Totalitas Berkesenian
Di luar keraton, selain mengajar di Sasminta Mardawa, perempuan dua putra ini juga mengajar di Yayasan Pamulangan Beksa Sasmita Mardi, Swagayugama (unit kesenian tari gaya Yogya di UGM), dan memberi pelajaran secara privat.
Karena Swagayugama UGM rutin menerbitkan tulisan terkait kesenian, otomatis Bu Ning sering diminta menjadi narasumber bila para penulis membutuhkan informasi mengenai seni tari. “Pokoknya nguplek tentang seni tari, baik itu tradisi, kontemporer,” ujarnya.
Sebagai hobi, ia bergabung dengan paduan suara gereja. Di waktu senggang, atas kemauan sendiri ia mengisi waktu dengan menyusun catatan pribadi gerakan-gerakan tari yang telah ia pelajari. Semua kegiatannya, selama demi kebaikan, mendapat dukungan penuh dari keluarga.
Puluhan tahun menari, tentu banyak sekali pengalaman yang ia kumpulkan. Ia mengakui kadang ketegangan masih melanda menjelang pentas. “Harus koordinasi, harus satu rasa, satu misi.” Konflik pun kadang tak terhindarkan. “Tetapi itulah dinamika. Makin banyak masalah, makin dewasa.”
Mengabdi di keraton membuat pribadinya makin tenang, ikhlas, dan jujur, selain tentu saja menambah wawasan. “Jadi mengerti. Yang dahulu mungkin saya tidak ngeh dengan paugeran, sekarang jadi tahu. Oh, tata caranya seperti ini, banyaklah (pengetahuan yang didapat).”
Kepada generasi penerus, ia menyampaikan pesan untuk mencintai budaya. “Karena budaya itu identitas diri dan identitas bangsa. Jadi jangan sampai lupa dengan akar kita di mana kita hidup.”
Sementara menyangkut diri sendiri, keinginan terbesarnya kini adalah berbagi dan mencetak penari yang lebih baik lagi. “Saya ingin sekali (mendidik) orang yang tidak bisa menari menjadi bisa, yang bisa menjadi bagus, tetapi itu perlu proses panjang. Itu kebanggaan, apalagi bila muridnya misalkan bisa tenar atau dikenal.”