KMT Reksamartawijaya, Pengelola Pusat Data dan Informasi Keraton Yogyakarta
- 30-05-2023
Kawedanan Tandha Yekti merupakan salah satu departemen baru di Keraton Yogyakarta. Dibentuk pada 2012, kawedanan ini mengemban tugas utama sebagai pusat data dan informasi. Tandha Yekti juga mengurusi publikasi dan dokumentasi semua kegiatan yang berlangsung di keraton. Pendiriannya tak luput dari pekembangan zaman yang menuntut kemudahan akses informasi digital untuk publik. Tak pelak, kawedanan ini diawaki oleh banyak muda yang gesit dalam teknologi informasi, penulisan berita, videografi, fotografi dan media sosial.
Sapta Rahardjo, SE merupakan salah satu Abdi Dalem Tandha Yekti yang bergabung sejak awal kawedanan ini berdiri. Sebelumnya ia bertugas di Kawedanan Puraraksa sebagai penjaga regol (pintu gerbang). Tugas ini ia jalani sejak tahun 2002, tak lama setelah ia mengirim lamaran sebagai Abdi Dalem. Saat itu usianya belum lagi dua puluh.
Ia tergerak menjadi Abdi Dalem karena menyadari betul identitasnya sebagai orang Jawa. Kebetulan pula ia tinggal di dekat keraton. Kakek dan ayahnya pun Abdi Dalem prajurit. Di kemudian hari tak hanya Pak Sapta yang mengikuti jejak sang kakek dan ayah, melainkan kakak-kakak, adik, keponakan, dan bahkan istrinya.
Uniknya, sama seperti Pak Sapta, semua saudaranya mengawali penugasan dengan menjadi penjaga regol sebelum akhirnya menjabat kedudukan penting di kantor.
“Mungkin regol gapura itu membawa berkah semua. Kariernya juga diberi kehormatan bisa di kantor semua,” tuturnya.
Kecintaan Terhadap Budaya Lokal
Salah satu pendorong terbesar Pak Sapta untuk menjadi Abdi Dalem adalah kecintaan terhadap budaya Jawa. “Mungkin dari kecil saya senang dengan kebudayaan atau tradisi. Untuk mendapatkan keilmuwan pada saat itu yang saya anggap (terbaik) adalah keraton. Keraton adalah pusat kebudayaan yang menjadi percontohan bagi masyarakat di sekitar Yogyakarta,” tuturnya.
Selain itu, ia bervisi dan misi untuk memberikan informasi tentang realitas dan fakta terkait keraton. Ini disebabkan karena kadang ia mendengar selentingan tentang keraton yang sebenarnya tidak benar. “Menjadi tantangan saya untuk bisa memberikan informasi yang nyata tentang keraton, (untuk itu) harus masuk ke keraton dulu.”
Ia mengaku tinggal di dekat keraton membuat ketertarikannya pada budaya menguat, “Bukan berarti kalau saya tidak tinggal di dalam (lingkungan) keraton saya tidak akan belajar budaya,” jelasnya. Ia selalu disangka sebagai orang keraton atau paling tidak mengerti seluk beluk keraton. Ini membuatnya serba salah. Bila ia mengingkari, kenyataannya ia memang tinggal di lingkungan tersebut. Namun, bila mengiyakan, akan timbul banyak pertanyaan tentang keraton yang tidak bisa ia jawab.
Tandha Yekti
Setelah diterima, Pak Sapta menjalani semua tahap dari awal, mulai dari sowan bekti, magang, hingga diwisuda dan kini mendapat Nama Paring Dalem Reksamartawijaya. Pangkatnya dimulai dari yang paling rendah, jajar, yang kemudian naik secara teratur hingga kini ia menyandang pangkat Bupati Anom.
“Pada waktu itu (keraton) akan membentuk Tandha Yekti. Di situ butuh personel untuk mengisi jabatan, saya mau dengan berbagai pertimbangan.”
Di kawedanan baru ini, ia ditempatkan sebagai hartakan (bendahara). Latar belakang pendidikannya di bidang ekonomi manajemen mendukungnya dalam menjalankan tugas. Namun, ritme kerjanya di sontak berubah. Saat menjadi penjaga gerbang, jadwal tugasnya hanya 12 hari sekali selama 1x24 jam, sementara di Tandha Yekti ia harus masuk kantor setiap hari mulai pagi hingga sore. Bila sebelumnya ia melakukan tugas fungsional, seperti menjaga keamanan, menyimpan kunci, hingga mengawasi wisatawan, begitu berpindah bagian, ia mengurusi hal-hal administratif.
Sebagai hartakan, tugas utamanya adalah membuat rencana anggaran tahunan, lalu mengajukan panyuwunan (permintaan) anggaran setiap bulan. Ia juga bertanggung jawab atas pencairan dan distribusi anggaran, hingga pelaporannya.
Setelah beberapa saat, Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Reksamartawijaya berganti jabatan menjadi carik (sekretaris). Ini merupakan jabatan manajerial. Dapat dibilang carik-lah yang menjalankan kantor, termasuk mengurusi surat menyurat, memimpin rapat, mengatur jadwal kegiatan, serta mengawasi staf-staf yang bekerja di sana.
“Tetapi tidak menutup kemungkinan karena Tandha Yekti adalah pusat data dan informasi serta dokumentasi dan publikasi, carik atau hartakan pegang kamera. Itu uniknya di keraton. Apa pun bisa kita lakukan. Biar pun saya bukan fotografer profesional, harus bisa saya lakukan.”
Terkait fotografi, ia menegaskan, walaupun hasilnya tidak seunggul jepretan kamerawan profesional, yang penting adalah ia ikut mengamankan atau mengabadikan momen-momen yang terjadi di keraton.
Cita-citanya untuk memberi informasi yang benar pada masyarakat pun tercapai. “(Setelah) mulai di keraton dan di Tandha Yekti ini, wawasan saya sudah mulai banyak. Di keraton ada apa, saya bisa menjawab karena saya bekerja di divisi pusat data dan informasi, jadi saya sedikit banyak tahu.”
Tak Tergoyahkan
Saat memulai pengabdian diri di keraton, Pak Sapta masih berstatus sebagai mahasiswa di dua universitas, yaitu D2 PPKP UNY Jurusan Teknologi Kulit dan Plastik, dan S1 Ekonomi Manajemen, Universitas Wangsa Manggala.
Teman-temannya tak percaya dan setengah mencibir kedudukannya sebagai Abdi Dalem. Pada zaman yang serba canggih, hal-hal yang berbau tradisional mereka anggap kuno. Mau cari apa dengan menjadi Abdi Dalem? Mereka tak bisa memahami jalan pikiran KMT Reksamartawijaya yang tidak biasa. Apalagi, penampilannya sebagai remaja “bohemian” bertentangan dengan citra Abdi Dalem yang serba tenang dan bertata krama. “Apa iya, wong gondrong kayak gitu, senang camping, senang bermusik kayak gitu kok di keraton?” komentar mereka.
Suatu saat, karena penasaran, mereka tiba-tiba mengajaknya bertemu di dekat keraton saat ia sedang bertugas di sana. “Dengan busana seperti ini (busana pranakan Abdi Dalem) saya keluar,” kenangnya. Teman-temannya terperangah mendapatinya benar-benar bekerja sebagai Abdi Dalem sekaligus pangling karena penampilannya yang berbeda.
Selepas kuliah, KMT Reksamartawijaya sempat melakoni di perusahaan swasta dalam bidang pemasaran –yang akhirnya ia lepas setelah bekerja purnawaktu di keraton--. Di sini pun terulang hal yang sama, beberapa rekan kerjanya awalnya tak percaya dan tidak mengerti mengapa Pak Sapta bersedia menjadi Abdi Dalem. Demikianlah, tak sekali dua kali, ia mendapat pertanyaan mengapa memilih “jalan sunyi”.
KMT Reksamartawijaya tak terusik. Ia meyakini proses pemahamannya tentang budaya akan mengubah tingkah laku dan sifatnya menjadi manusia yang beradab. Ia membuktikannya sendiri.
Salah satu yang paling mudah terlihat adalah caranya membawa diri, termasuk berpakaian. “Kalau saya melihat foto awal saya masuk keraton dengan foto yang sekarang perbedaannya sangat jauh. Fashion-nya tidak main. Sekarang saya bisa menilai dulu saya jelek sekali.” Tahun demi tahun, ia memperbaiki diri. “Mungkin saya sudah dapat banyak ilmu di keraton, bagaimana cara berpakaian yang bagus, dipakai nyaman, dilihat juga menyenangkan. Ternyata itu memang potensi membangun karakter.” Dari awalnya berpenampilan tak serasai, kini ia bahkan menjadi narahubung dan anggota tim pembekalan tentang pakaian adat bagi tamu yang berkunjung ke keraton.
Selalu Siap Menjalankan Tugas
KMT Reksamartawijaya jelas tidak mengejar material lewat pengabdiannya. Namun, lebih dari dua dasawarsa mengabdi, aneka pengalaman tak ternilai ia dapatkan. Salah satunya adalah berada dekat Ngarsa Dalem saat beliau menyampaikan Sabda Tama, Sabda Raja, Dhawuh Raja, Gumantosing Asma.
“Saya duduk tidak jauh dari Ngarsa Dalem, saya di bawah stand by untuk menerima perintah.” Baginya hal tersebut adalah kebanggaan besar.
Praktis keseharian KMT Reksamartawijaya dihabiskan di keraton. Agenda dan tugasnya selalu padat, kadang melebihi jam kerja normal. Pada hari-hari biasa, setelah menuntaskan pekerjaan, ia mengurus rumah bersama istrinya dan mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Sang istri yang juga Abdi Dalem Keprajan —PNS yang diangkat sebagai Abdi Dalem di keraton—sangat mengerti kesibukannya. Mereka saling mendukung dalam rumah tangga maupun karier.
“Sebenarnya waktu saya memutuskan resign (dari pekerjaan lain), memang niat saya untuk bergabung dengan keraton. Itu saya putuskan dan saya juga sudah berkomunikasi dengan keluarga saya.” Ia tak pernah meresahkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penghasilannya dan istri selalu ia rasakan cukup.
Setia Hingga Akhir
KMT Reksamartawijaya memilih fokus sepenuhnya di keraton. “Bila saya masih dibutuhkan, dalam arti fisik saya masih kuat untuk mengabdikan diri, saya akan mengabdi di keraton, tidak akan ke mana-mana, tetap di keraton sampai fisik saya sudah tidak mampu.”
Pria yang gemar berolahraga di pusat kebugaran ini berharap anak-anak yang lahir pada era digital tetap mengingat akar budaya mereka. “Mari kita ingat pada istilah orang Jawa, wong urip aja ninggal lanjaran, dalam arti cikal bakal kita ini dari mana. Kalau kita orang Jawa mari kita lestarikan budaya kita jangan sampai tergerus atau ditelan zaman. Kita pertahankan.”
Ini tentunya berlaku untuk semua suku. Menurutnya tak ada budaya yang mengajarkan keburukan atau keangkaramurkaan. “Semua budaya mengajak untuk selalu hidup berdampingan dengan budayanya masing-masing.”
Dalam budaya Jawa, tata krama dan tata basa sangat diutamakan. “Itu yang harus dikedepankan dulu. Masalah keilmuwan. Masalah pandai tidak itu yang kesekian. Adab lebih dulu dari ilmu.”
Ia mengutip peribahasa Jawa, “Ajining raga ana ning busana, ajining diri ana ing lathi.” Fisik seseorang tergantung pada caranya berbusana, sementara harga dirinya tergantung pada tutur kata. Ia berpesan agar unggah-ungguh dipegang erat supaya selamat dalam hidup bermasyarakat.