Raden Penewu Sigithadiwandowo, Penjaga Silsilah Kerabat Keraton Yogyakarta
- 26-12-2023
Di Keraton Yogyakarta, terdapat kawedanan yang memiliki tugas khusus mengurusi silsilah keluarga raja. Kawedanan Dharah Dalem sebutannya. Sejak Sultan pertama bertakhta, Keraton Yogyakarta secara natural membentuk garis keturunan yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia. Untuk memastikan garis keturunan ini tetap jelas, setiap kerabat yang benar-benar memiliki pertalian darah dengan sultan serta dapat membuktikannya bisa mendapatkan serat kekancingan tanda keabsahannya sebagai kerabat. Dalam hal ini kerabat dapat mengajukan permohonan serat kekancingan untuk anak atau cucu keturunannya.
Setiap minggu Kawedanan Dharah Dalem menerima kurang lebih 20 permohonan kekancingan. Raden Penewu Sigithadiwandowo (nama asli R. Sigit Adi Mulyanto) merupakan salah satu Abdi Dalem yang berperan penting di kawedanan ini. Ia bertanggung jawab meneliti dan memproses permohonan-permohonan tersebut dan menjalankan administrasi rutin.
“Tugas saya verifikasi. Jadi setelah surat kekancingan itu sudah selesai dibuat, secara kolektif kami kumpulkan lalu dikoreksi kembali. Selanjutnya kami haturkan ke Kawedanan Hageng Panitrapura untuk disahkan oleh Penghageng,” jelasnya.
Ayah dua anak ini memiliki awal yang agak unik saat bergabung menjadi Abdi Dalem. “Saya (awalnya) masuk di Abdi Dalem Prajurit, di Bregada Mantrijero tahun 2006 sampai dengan sekarang. Untuk masuk Kawedanan Dharah Dalem, awalnya hanya membantu.”
Saat itu sedang terjadi pembaruan struktur organisasi dan untuk menerapkan ketertiban administrasi, Penghageng menghendaki sekitar 1500 surat kekancingan yang diterbitkan untuk direvisi. “Penghageng menghendaki surat kekancingan dibuat lebih baik tapi cepat. Dari situ kami punya ide, ini harus dibuat aplikasi, kalau hanya ditulis tangan satu lembar surat kekancingan bisa memakan waktu tiga puluh menit. Kalau sehari hanya menghasilkan empat sampai lima lembar.”
Akhirnya kami bekerja sama dengan tim mahasiswa dari Universitas Negeri Yogyakarta, Kawedanan Dharah Dalem membuat aplikasi dan akhirnya mendapat persetujuan dari Penghageng. “Kita membuat kekancingan spartan, sampai nglembur, dalam sehari bisa sampai lima puluh selesai. Akhirnya 1500 itu sudah ter-cover semua, sampai sekarang bisa berjalan dengan baik.”
Tak lama setelah itu, tanpa diduga ia diangkat dan diwisuda menjadi Abdi Dalem pada tahun 2015 dengan pangkat Bekel Tuwa, ini merupakan suatu peristiwa besar dalam hidupnya.
“Anugerah yang saya terima, karena sudah membaktikan tenaga dan pikiran saya untuk keraton, khususnya di Kawedanan Dharah Dalem. Akhirnya mendapat serat kekancingan (Abdi Dalem), ini menjadi modal untuk makin percaya diri. Karena yang sebelumnya kami hanya di belakang panggung, kita maju ke depan untuk bisa full 100% mengabdi. Itu kebanggaan, bisa melayani orang-orang yang datang ke Kawedanan Dharah Dalem. Awal-awal saya paling muda, sampai sekarang pun paling muda di antara Rama-rama yang mengabdi di sini,” tuturnya. Ia mengawali pekerjaannya di Kawedanan Dharah Dalem sebagai lumaksana penyerat hingga pada 2021 ia diangkat sebagai wakil carik.
Terpanggil oleh Kecintaan
Mudah saja bagi RP Sigithadiwandowao untuk melebur dengan irama kerja keraton karena sejak kecil ia sudah akrab dengan istana ini. Ayahnya dulu adalah Abdi Dalem Juru Mudhi (pengemudi kendaraan) Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). Ia tumbuh di Pracimasana yang masih termasuk dalam kompleks keraton. Namun, cintalah yang mendorongnya membaktikan diri. “Saya suka bantu keraton dan saya mencintai keraton, maka saya wajib untuk bisa loyal seloyal-loyal apa pun untuk keraton.”
Kawedanan Dharah Dalem berada di bawah struktur Kawedanan Hageng Panitrapura yang dipimpin oleh GKR Condrokirono. Dalam keseharian kawedanan ini dijalankan oleh Penghageng Angka Kalih (pimpinan harian), wakil carik, kahartakan dan lumaksana (pelaksana tugas). Para lumaksana bekerja sebagai korektor, peneliti, penerima tamu, dan penginput data.
Untuk mendapat kekancingan dari Dharah Dalem, pemohon wajib menyiapkan beberapa persyaratan, antara lain membawa surat kekancingan asli dan fokokopinya dari orang tua, salinan KTP, fotokopi akta kelahiran, dan fotokopi kartu keluarga. Pemohon dapat dilayani pada jam kerja yaitu Senin-Sabtu pukul 09.00 – 13.00 WIB (kecuali Jumat sampai pukul 11.00 WIB).
RP Sigithadiwandowo mengaku banyak pengalaman yang ia dapat sepanjang mengabdi di Kawedanan Dharah Dalem. Silsilah kekerabatan merupakan hal sensitif yang sarat kepentingan. Kehati-hatian mutlak diperlukan karena ada saja oknum yang berniat menyalahgunakan surat kekancingan.
Pada awal bertugas ia harus berjuang membenahi administrasi yang kurang tertib baik di sisi internal kawedanan maupun pemohon. “Kalau dulu pemohon itu datang hanya bawa bagan silsilah dari ratu ditulis pakai tangan gitu (dan) akhirnya bisa nanti mendapat serat kekancingan. Sekarang kan ketat. Kalau tidak membawa atau menunjukkan serat kekancingan dan persyaratan yang lengkap, maka tidak bisa dilayani,” tuturnya.
Ia juga membuat perbaikan prosedur alur pengumpulan berkas. Bila dulu serat kekancingan diajukan ke Kawedanan Hageng Panitrapura secara acak hingga sering terselip, kini pengajuan dilakukan sebulan sekali dan berurutan. Setelah surat kekancingan yang diajukan pada bulan tertentu selesai ditandatangani, permohonan bulan berikutnya baru bisa diajukan.
Pengabdian Tanpa Sekat
Meski aktif di Kawedanan Dharah Dalem, RP Sigithadiwandowo tidak meninggalkan aktivitasnya di bregada keprajuritan. Di Bregada (kesatuan) Mantrijero, ia menjabat sebagai Panji (perwira setingkat komandan) Langenastra (pasukan bersenjata tombak).
Ia juga melatih jemparingan yaitu tradisi panahan untuk para prajurit. “Saya hobi jemparing sejak 2009. Saya ditimbali kawedanan keprajuritan untuk membantu, istilahnya melatih kanca-kanca prajurit. Njih sendika.” Dua hari sekali ia membimbing kanca-kanca prajurit jemparing di Kagungan Dalem Kamandungan.
Ada satu ayahan lagi yang ia jalani, yaitu menjadi anggota kelompok Kanca Ngori. Kanca Ngori bertugas membuka dan menutup kori (pintu gerbang) yang akan dilalui Sri Sultan saat Miyos (keluar dari kediaman) untuk menghadiri acara di kompleks keraton. “Ketika Ngarsa Dalem miyos lenggah atau menerima tamu di Bangsal Kencana, kita ada kewajiban buka pintu Gedhong Prabayeksa.” Anggota Kanca Ngori yang terdiri dari lima orang bergantian melaksanakan tugas. Saat bertugas mereka harus berpakaian lengkap dan menunggu hingga acara selesai.
Melatih Kesabaran, Mendulang Kenyamanan
Bertahun-tahun bekerja di keraton, RP Sigithadiwandowo menyimpulkan pelajaran paling berharga yang ia dapatkan adalah pentingnya bersikap sabar.
“Banyak pemohon itu kurang memahami prosedur dan tata waktu proses pengajuan permohonan, sehingga kadang ada anggapan proses pelayanan berjalan lambat,” tuturnya.
Ia menyadari itulah tantangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. “Kami secara tidak langsung menjadi garis depan (keraton). Garis depan pelayanan publik selain pariwisata.” Ia berusaha sebisa mungkin tidak mengecewakan pemohon, apalagi sebagian datang dari luar kota. Bahkan ada yang datang dari Malaysia dan Amerika Serikat.
RP Sigithadiwandowo merasakan kenyamanan selama menjalankan tugas di keraton, “Kalau kita masuk keraton, temannya banyak sekali. Masuk ke sana kenal, masuk ke sana kenal dan kita mendapat kenyamanan di situ, beliau-beliau (Abdi Dalem dan keluarga keraton) itu pada welcome. Masuk sana welcome. Jadi kalau misalnya ke Parentah Ageng, ke Danartapura, ke Panitrapura, pasti semuanya nyuguh, kan artinya semuanya sudah familier, kita sudah akrab dan saling menghormati. Teman itu tidak hanya di luar, di dalam pun ternyata banyak sekali.”
Sebagai Abdi Dalem dan seorang ayah, ia juga bangga karena putri sulungnya termasuk di antara yang memperoleh kesempatan untuk menari bedhaya di Bangsal Kencana. “Itu benar-benar melebihi suatu kebanggaan, mengharukan. Dia sudah bisa menari di sana.” Hana, demikian nama anaknya tersebut, sudah menekuni tari sejak kecil dan kini menjadi mahasiswa seni tari di ISI Yogyakarta.
Ia mencita-citakan Kawedanan Dharah Dalem dapat memanfaatkan teknologi informasi secara optimal hingga pengetahuan tentang keraton didapatkan, termasuk silsilah keluarga kerajaan dapat mendunia, dalam artian dapat diakses dari mana saja. Teknologi tersebut juga dapat digunakan untuk database dari risiko hilang.
Alumni jurusan Manajemen Perusahaan, STIE Kerjasama ini berpesan agar generasi muda mencintai budaya setempat, meski bukan berarti menampik budaya lain. “(Dengan) teknologi kita pun bisa menjaga dan melestarikan budaya lokal. Mengapa kita tidak bisa mencintai budaya lokal?” Sementara untuk keraton ia sematkan harapan agar pusat budaya Jawa ini tetap jaya abadi. “Segala bentuk budayanya, segala bentuk teladannya bagi kita, kawula yang ada di Jogja maupun di dunia. Semoga kita terapkan itu sebagai inspirasi kita agar bisa hidup lebih baik,” tutupnya.