KMT Hamong Semitosuleman, Kehangatan Pawon Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta memiliki beberapa pawon (dapur) yang menjadi pusat pengolahan makanan untuk berbagai keperluan, termasuk sugengan (selamatan) dan sajen (sesaji). Salah satunya adalah Pawon Sekulanggen disebut juga Pawon Wetan yang berada di sebelah timur kompleks Magangan. Pawon ini dipakai untuk menyediakan hidangan harian serta kelengkapan upacara.
Kanjeng Mas Tumenggung Hamong Semitosuleman merupakan sosok kunci di Pawon Sekulanggen. Ia memimpin sebelas Abdi Dalem yang mengabdi dan bertugas di sana. Dalam usianya yang sudah tergolong sepuh, ia tetap dengan teliti memastikan semua hidangan yang disajikan sesuai dengan aturan dan berkualitas.
Lahir pada tahun 1949 dan diberi nama Petrus Suleman, pria asal Yogyakarta ini dapat dikatakan tinggal di keraton sejak kecil. Ini dikarenakan kedua orang tuanya bekerja di keraton sebagai Abdi Dalem. Sewaktu masih belia, ia menjadi pendamping para pangeran putra Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Masa itu, ia lebih sering menginap di Dalem Pintakan (tempat tinggal KRAy Pintaka Purnomo, salah satu istri Sri Sultan Hamengku Buwono IX) dan jarang pulang. Salah satu pengalaman yang masih ia ingat sampai sekarang adalah dimarahi oleh Gusti Kanjeng Ratu Anom karena berangkat sekolah memakai sepeda milik putra beliau. Ia pun dimarahi, “’Anakku mau sekolah kok sepedanya nggak ada. Kok malah kamu yang pakai.’ Kan waktu itu semua sepeda ada di Tamanan. Tapi saya kan nggak tahu sepeda siapa saja. Saya pakai sepedanya itu,” kenangnya geli. Lucunya, sebelum dimarahi ia disuruh duduk dan makan.
Selain menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di Dalem Pintakan, Suleman kecil sering membantu ibunya yang bekerja di Pawon Sekulanggen. Ia pun bolak-balik di antara dua tempat itu. Hingga akhirnya pada tahun 1968, ia secara resmi ditugaskan di dapur tersebut.
Beranjak dewasa, Pak Suleman rajin mengerjakan apa pun yang ia bisa. Ia bahkan pernah membuka studio foto. Tahun 1970-an, ia bekerja sebagai honorer di kantor Pemerintah Kota Yogyakarta dan tahun 1974 diangkat sebagai PNS. Selanjutnya, tahun 1976 ditugaskan di Dinas Peternakan Kota Yogyakarta sebagai mantri hewan. Ia pun dengan lincah membagi waktunya antara pekerjaan di luar dan di dalam keraton. Begitu pekerjaan di luar keraton sudah selesai, ia kembali ke Dalem Pintakan untuk menemani para Gusti.
Abdi Dalem Pawon Sekulanggen
Pada dasarnya, ada dua macam rutinitas yang dijalani oleh Pawon Sekulanggen, yaitu menyediakan hidangan harian dan upacara-upacara terjadwal (Patuh), serta hidangan yang bersifat insidental. Abdi Dalem Pawon Sekulanggen terbagi menjadi dua, yakni Kanca Mandaran dan Kanca Sembir. Kanca Mandaran adalah Abdi Dalem putri yang memiliki tugas pokok memasak. Sedangkan Kanca Sembir beranggotakan Abdi Dalem putra yang bertugas membawa atau mengangkut hidangan dari dapur ke keraton.
Sebagai pandega atau pengirit di dapur ini, Pak Suleman memastikan semua pekerjaan dilaksanakan dengan baik oleh anggota tim. Ia juga mencicipi semua masakan yang akan disajikan serta memberi penilaian. “Kebetulan sekarang ini saya bisa tahu semua sesaji, jadi mengatur lah. Sesaji itu apa saja, waktunya kapan harus dibuat,” tuturnya. Sebelum hidangan dikeluarkan ia memeriksa kembali apakah semua sudah lengkap dan jumlahnya mencukupi.
Ia mengaku bukan ahli memasak, tetapi memiliki pengetahuan terkait rasa dan kualitas yang seharusnya. “Yang sudah dimasak saya icipi sedikit-sedikit. Kalau ada kekurangan fatal harus diganti.”
Ia mendorong semua Abdi Dalem Pawon untuk bisa mengerjakan semua tugas agar bisa saling mengisi. Ia merasakan tak mudah merangkul setiap individu dengan karakter yang berbeda. Namun, ia berusaha mengayomi semua dengan memegang pesan mantan kepalanya di Dinas Peternakan, “Besok kalau punya anak buah, semua kamu samakan, walau kamu terkadang jengkel. Kamu jengkel sama dia, dia harus kamu dekati. Kalau kamu dijadikan bahan omongan, jangan mudah tersulut.”
Pak Suleman juga merancang dan mengatur anggaran belanja. “Kebutuhan semua saya anggarkan, nanti saya tinggal ngangkat petugas belanja. Saya jelaskan uangnya sekian-sekian. Tidak ada uang yang dirahasiakan, terbuka semua.”
Ahli Sajen
Pak Suleman menyatakan secara umum sesaji itu permohonan untuk keselamatan. “Maka doanya hanya doa keselamatan. Terserah minta apa-apa, supaya selamat, sumangga caranya, tetapi sajen diadakan untuk rangkaiannya atau kelengkapannya.” Hal itu berarti keberadaan sajen tidaklah wajib. “Ada sajen kita berdoa, tidak ada juga berdoa. Yang salah itu yang berdoa hanya kalau ada sajen.”
Berbeda dari hidangan untuk sugengan (selamatan), sajen tidak dimaksudkan untuk dimakan. Menurut Pak Suleman, hal ini dikarenakan sajen bisa dipersembahkan dalam waktu lama sebelum ditarik mundur sehingga mungkin jadi tak segar lagi. “Kalau mau makan silakan, tapi jangan salahkan (bila kualitasnya berubah).”
Keraton sebagai pusat budaya Jawa teguh dalam memegang tradisi sesaji yang memang sudah ada sejak ratusan tahun. Aturan tiap sajen sudah baku dan tak boleh diutak-atik sekehendak hati. Sajen di keraton merupakan sajen khusus yang berbeda dari yang dibuat masyarakat umum.
Pak Suleman dapat dikatakan sebagai salah satu ahli sajen yang masih aktif hingga sekarang dan ia menganggapnya sebagai anugerah, “Kebetulan kok saya bisa langsung tahu maknanya. Itu dari mana saya nggak tahu. Jadi saya senangnya ada di situ.” Banyak orang meminta nasihat dan bantuannya terkait sajen. Dengan senang hati ia melakukannya.
Menyiapkan sajen secara rutin dengan jumlah tidak sedikit tentu bukan pekerjaan mudah. Namun, Pak Suleman dan timnya senantiasa memiliki perencanaan matang. Beberapa hari sebelumnya ia meminta anggaran dan mengelola anggaran tersebut agar cukup untuk semuanya. Ia juga menyiapkan cadangan untuk kelengkapan sajen yang relatif sulit dicari, seperti kukusan, juplak ajug-ajug (lentera minyak) dan pengaron (tempat nasi dari tanah liat) berwarna hitam.
Nyaris semua bahan sajen adalah hasil bumi lokal yang mudah didapat. “Kalau buah (untuk sajen) hanya mentimum, jambu, nanas, pisang, jeruk. Itu sangat mudah (didapat). Kalau yang agak sulit itu (sajen untuk) Malam Selikuran. Buahnya itu sering sawo. Salak. Tapi tetap ada. Tetap bisa. Ada yang sulit, tapi tidak sesulit itu.”
Mengisi Hidup dengan Berkarya
Berpuluh tahun berkarya di keraton, Pak Suleman menjadi saksi perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal ia bergabung, pawon masih berlantai tanah dan berdinding kayu. Peralatan memasak pun masih tradisional. Kala itu, bahan bakar yang digunakan adalah daun-daun kering yang banyak terdapat di keraton. Ia pun mengenali daun-daun yang baik dipakai sebagai bahan bakar, seperti daun sawo kecik, trembolo, dan tanjung.
Hingga kini, Pawon Sekulanggen telah direnovasi berkali-kali. Peralatannya pun modern. Rasa masakan, ia akui juga mengalami perubahan. “Lebih enak sekarang. Dulu yang namanya apem itu nggak ada rasa manisnya. Kalau sekarang harus enak. Saya minta harus enak.” Untuk itu ia selalu mengusahakan yang terbaik. “Tidak (harus) banyak, besar, tapi bagus, dirasakan bisa (enak).”
Setelah pensiun sebagai PNS, Pak Suleman mengabdikan nyaris seluruh waktunya di keraton seperti yang ia cita-ciatakan. Keempat anaknya telah dewasa dan mandiri. Sekembalinya ke rumah di Guwosari Pajangan, ia mengisi waktu dengan merawat tanaman hias dan memelihara burung. “Di rumah bersih-bersih sekuatnya lah pokoknya ada kegiatan agar nggak nglangut.”
Ia sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Ia tak mengejar apa pun termasuk pangkat. Perasaan bangga atau kegembiraan berlebih pun sudah tak ia miliki lagi. Dapat dikatakan pengalaman hidup sudah membuatnya “menep”. Ia tinggal menjalani hidup dengan penuh sebaik yang ia bisa.
PERISTIWA POPULER
- Pentas Wayang Wong Gana Kalajaya, Perkuat Hubungan Diplomatik Indonesia-India
- Peringati Hari Musik Sedunia, Keraton Yogyakarta Gelar Royal Orchestra dan Rilis Album Gendhing Soran Volume 1
- Talk Show: Kendhangan Ketawang Gaya Yogyakarta dan Launching Kendhangan Ketawang
- Bojakrama, Pameran Jamuan di Keraton Yogyakarta Usai Digelar
- Tetap Patuhi Prokes, Pembagian Ubarampe Gunungan Garebeg Besar Digelar Terbatas