Hardjani Samsi: Kesetiaan Prajurit Jagakarya yang Melintas Dekade

Kesetiaan berlandaskan kecintaan. Agaknya itulah prinsip Hardjani Samsi dalam menjalankan peran apa pun yang ia terima dalam kehidupan. Terlahir sebagai anak seorang Abdi Dalem, pria kelahiran 1951 ini tergerak untuk mengikuti jejak pendahulunya membaktikan diri di Keraton Yogyakarta.

Kebetulan ia masih terhitung keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Banyak kerabat dalam keluarga besarnya yang juga bekerja atau mengabdi di keraton. Salah satunya adalah pamannya (adik ayahnya) yang menjadi sopir pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. 

Hardjani mantap menjadi prajurit (bregada) pada tahun 1976 atas ajakan salah satu pamannya yang lain. 

“Saya pertama kali menjadi anggota Bregada Surakarsa, kalau nggak salah cuma satu tahun, lalu diangkat menjadi prajurit Jagakarya,” kisahnya.

Ia menuturkan bahwa proses pendaftaran anggota bregada tempo dulu terhitung sederhana. “Dulu masuknya itu cuma suruh latihan dulu, daftarnya belakangan. Latihan berapa kali di sini, di Pracimasono, lalu didaftar namanya siapa. Saya bilang Hardjani. Tinggalnya di mana? Di Gedongkiwo.”

Tugas sebagai prajurit ia laksanakan di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai staf pengajar di Universitas Islam Indonesia. Tugasnya adalah menyiapkan kebutuhan dosen dan membantu proses belajar mengajar. Ia bekerja di sana selama 32 tahun sebelum akhirnya pensiun.   

Figur Juni Web 1

Tugas Prajurit

Seperti anggota bregada lain, tugas utama Hardjani adalah mengawal Gunungan Garebeg. Beberapa minggu sebelum Hajad Dalem ini digelar, ia berlatih bersama rekan-rekannya. Selain itu, ia mendapat bertugas menjaga keamanan setiap dua puluh hari sekali. Ia menjalani semua tugas dan rutinitas itu nyaris tanpa absen. Namun kini, karena faktor usia yang tak muda lagi dan sempat jatuh sakit, ia tak dapat berpartisipasi seaktif dulu. 

Di Bregada Jagakarya, bapak dua anak ini awalnya bertugas sebagai jajar waos atau pembawa tombak. Kira-kira 24 tahun kemudian, karena pergantian dan pergeseren personel, ia ditugaskan menjadi sersan senjata (pembawa senapan). “Kalau saya manut saja, perintah apa saja yes, sendika dhawuh.” 

Sebagai sersan satu, Hardjani menempati posisi utama dalam barisan, yaitu depan kanan. Menurutnya tak ada yang spesial menyangkut posisi tersebut, “Terkecuali panji tidak masuk, sersan bisa menggantikan.” 

Ia tak pernah punya ambisi atas jabatan. Ia bahkan menolak posisi panji saat ditawari. “Saya bersedia, tetapi saya rikuh. Banyak orang (yang lebih pantas menjadi panji). Nanti dikira saya macam-macam. Saya tidak senang yang macam-macam. Suka yang baik-baik saja.”

Terpesona Kelembutan Hati

Selama mengabdi di keraton, Hardjani mengaku hanya rasa senang yang ia dapatkan. 

“Saya senang di keraton. Orangnya baik-baik dan lembah manah, tidak pernah usil atau macam-macam.” 

Kerapkali, teman-temannya menyatakan ingin menjalani kebahagiaan batiniah yang dialami Hardjani, “Di mana-mana, kok ya pada kepengin (seperti saya). Beruntung kamu bisa begini-begini,” tuturnya menirukan komentar orang-orang. “Saya hanya mengikuti orang tua. Orang tua dulu juga di keraton. Saya ingin mengikuti,” hanya itu responnya. 

Cita-cita untuk hidup tenteram adalah motivasi awal yang mendorongnya bergabung dalam bregada selain pandangan pribadi bahwa posisi itu membawa kebanggaan. Ia melihat bahwa orang-orang di keraton berkepribadian menyenangkan, “Priyayinya halus-halus, nyaman didengar.” 

Ia makin senang karena mendapat tambahan ilmu terkait minat yang ia geluti, yaitu koleksi senjata tradisional, khususnya keris, “Dulu waktu saya (masih sehat), sebulan sekali ikut saresehan, siraman pusaka. Saya sering, di mana-mana dimintai tolong. Jelek-jelek begini, Gubernur Jakarta itu pasti memanggil saya, (menjadi) langganan saya.”  Ia belajar merawat pusaka dari GBPH Yudhaningrat dan ahli lain di Ndalem Yudhonegaran.

Kecintaan Hardjani pada keris berawal dari peninggalan tujuh buah keris dari ayahnya. Selanjutnya, ia sering mengikuti kegiatan terkait dengan senjata tradisional ini. Ia mendalami keris sebatas hobi. “Hanya suka. Yang pada punya keris itu orangnya baik-baik. Halus-halus. Nama (kerisnya) kok bagus-bagus.” 

Namun, jika ada yang membutuhkan jasanya untuk merawat pusaka, ia dengan senang hati memenuhinya. 

Ia merasa sayang apabila warisan budaya ini dilupakan. “Saya hanya ingin nguri-nguri, kalau bisa jangan disepelekan.” Ia memahami keris dibuat dengan proses panjang dan mengandung nilai sejarah. 

Selain mencintai keris, pria yang pernah bersekolah hingga Sekolah Menengah Atas di Taman Dewasa ini juga suka bercocok tanam. Setelah pensiun, ia tak tinggal diam. Ia mengurus kebun dan menanam berbagai macam buah, seperti pisang, pepaya, rambutan, sukun, dan alpukat. Ini adalah kegemarannya sejak lama. “Untuk kebutuhan sendiri, kalau berbuah (rasanya) senang, (kemudian) saya bagikan,” katanya.

Figur Juni Web 2

Ke Arah yang Lebih Baik

Lebih dari lima puluh tahun menjadi prajurit, Hardjani turut menjadi saksi perubahan yang terjadi dalam korps keprajuritan Keraton Yogyakarta. Contohnya, materi yang latihan yang kini diperkaya dengan keahlian baris-berbaris semikemiliteran. Ini tentu berbeda dari latihan di masa lampau yang hanya berfokus pada lampah ndhadap, lampah macak, cara membawa senjata, dan gerakan baris-berbaris tradisional. Pelatihan keterampilan tambahan untuk prajurit pun kini lebih banyak, seperti jemparingan dan bela diri. 

Fasilitas untuk anggota juga lebih layak. “Jauh lebih baik. Apa-apa itu seolah-olah tercukupi,” ujarnya. “Minuman dan kelengkapannya ada. Fasilitas lain juga bagus.” 

Namun, tambahnya, prajurit sekarang harus berjalan lebih jauh saat upacara Garebeg. “Prajurit sekarang berangkat dari Kamandungan. Kalau dulu kan dari Pracimasono, tapi ya silakan.” Ia berharap kondisi yang lebih baik ini terus dipertahankan.  

Kelancaran Hardjani mengemban tugas hingga lebih dari setengah abad tentu tak lepas dari dukungan keluarga. Ia menceritakan bahwa almarhumah istrinya selama hidup sangat senang ia menjadi prajurit. Keduanya anaknya pun turut bangga. Hardjani dengan jujur mengakui ia menginginkan anak-anaknya mengikuti jejaknya mengabdi di keraton, tetapi ia juga mengikhlaskan saat mereka memilih jalan yang berbeda dan berkarier penuh di bidang lain. 

Yang penting baginya adalah hidup yang ayem. Keinginannya pun hanya dapat sehat kembali. “Tidak ada cita-cita, kecuali diberi sehat waras. Supaya bisa bertemu teman-teman lagi.”