MW Gondo Pawoko, Panji I Prajurit Ketanggung: Komitmen yang Melipat Jarak

Kalau sudah cinta, jarak pun tiada artinya. Ungkapan tersebut rasanya pas untuk menggambarkan pengabdian Mas Wedana Gondo Pawoko, Panji I Bregada (kesatuan) Ketanggung. Bagaimana tidak? Ia rela menempuh jarak ratusan kilometer antara Banyuwangi-Yogyakarta demi memenuhi komitmennya kepada Keraton Yogyakarta. 

Pria bernama asli Hamid Widodo ini sebetulnya lahir dan besar di Rotowijayan, perkampungan yang sangat dekat dengan keraton. Perjalanan hidup mempertemukannya dengan gadis asal Banyuwangi yang kemudian menjadi istrinya. Setelah berumah tangga, mereka menyewa rumah di Sedayu dan merintis usaha kuliner yang cukup laris di sana. 

Pada masa pandemi, atas permintaan sang anak yang sudah lebih dahulu bekerja dan pindah ke Banyuwangi, MW Gondo Pawoko dan istri akhirnya pindah ke kabupaten di Provinsi Jawa Timur tersebut. Tahun 2020 menandai perjalanannya sebagai penglaju Banyuwangi-Yogyakarta.

“Awalnya, saya bolak-balik Banyuwangi, lalu saya pindah ke sana. Saya menjalani dengan niat dan senang. Melatih kesabaran. Kalau nggak sabar, emosi terus keluar, wong jauh-jauh.”

Figur Agustus Web 3

Prajurit dan Abdi Dalem

MW Gondo Pawoko menjadi anggota Bregada Ketanggung sejak 1990. Ia memulai dari pangkat paling rendah, yaitu jajar senjata, kemudian mendapatkan kenaikan secara berkala; sersan, pengamping dwaja, panji dua, lalu panji satu.

Seakan ingin menggenapi pengabdiannya, tak lama setelah diterima sebagai prajurit, ia melamar posisi Abdi Dalem. 

“Saya dulu itu intinya banyak kepengin. Saya masuk prajurit dulu, terus diajak teman, daripada hanya jadi prajurit, ayolah jadi Abdi Dalem juga. Ceritanya begitu,” ujarnya. Ia ditempatkan di Kawedanan Puraraksa dan setelah magang tiga tahun, ia diwisuda dan secara berkala naik pangkat hingga kini mencapai pangkat wedana. Di kawedanan ini, ia bertugas sebagai penjaga regol (pintu gerbang). “Awalnya di (regol) Keben, terus kemarin Mei (2024) saya dipindah ke Regol Tenjamaya itu.” 

Semangat pengabdian MW Gondo Pawoko rupanya didorong oleh rasa penasaran. “Pertama ingin tahu, jadi prajurit itu gimana, jadi Abdi Dalem gimana. Kalau udah masuk, kan dapat keluarga baru, tahu sifat-sifatnya gini-gini. Yang pertama itu niat. Saya niat jadi prajurit.” 

Selain itu, ia juga terinspirasi oleh ayahya. “Bapak saya, kan juga prajurit. Lalu (saya sampaikan) Pak, saya pengin jadi prajurit. Bapak saya lalu mengajak, ayo, sekarang kita menghadap panji satu.”

Setelah menghadap panji satu dan menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota, ia diminta menunggu hingga tersedia seragam untuknya.  Penantian itu berakhir saat suatu hari salah seorang anggota prajurit Ketanggung meninggal dunia. “Lalu saya dikontak. Sana, bajunya kamu ambil. Saya ambil, lalu saya jadi prajurit itu.”

Sekitar tiga atau empat tahun setelah Hamid menjadi prajurit, ayahnya mengundurkan diri.

Figur Agustus Web 2

Pasukan Perang

Bregada Ketanggung, menurut MW Gondo Pawoko, merupakan kesatuan yang paling ditakuti. Dahulu, pasukan ini ditugaskan khusus sebagai kekuatan perang keraton. Rupanya, reputasi ini acapkali membuat anggotanya takut untuk menjadi komandan kesatuan. “Siapa yang mau jadi panji? Para dwajadara apalagi sersan itu pada takut.” Hanya berbekal niat yang tulus untuk memajukan pasukan, MW Gondo Pawoko akhirnya bersedia menjadi komandan, padahal ia sempat menolak karena tempat tinggalnya yang jauh. “Saya sudah mengajukan alasan. Mas, saya tinggal di Banyuwangi, jauh, begini, begini, tapi diadakan pemilihan. Dari 33 anggota, yang milih saya 31. Ya gimana lagi, itu kan amanah.”   

Niat baik rupanya melancarkan pelaksanaan tugasnya. Ia bahkan merasakan suntikan energi setiap kali bertugas. “Saya itu kalau pas tugas, tadinya loyo kayak begini, kalau udah bawa pedang panji itu kuat kok.” 

Setiap panji bregada memegang pedang sebagai penanda jabatan. Terkait pedang panji tersebut, MW Gondo Pawoko memiliki kisah tersendiri, “Saya dulu sering menggantikan panji satu dan dua kalau mereka tidak bisa (bertugas). Selesai menggantikan, saya lalu istirahat. Pedang itu, kalau saya bawa, saya ajak tidur. (Dalam mimpi) malam-malam, keluar ular pendek (dari pedang itu), kepengin ikut saya. Dalam tidur, saya bilang tidak mau. Aku tidak mau kamu mengikutiku. Tahu-tahu bangun, lalu saya jadi Panji 1. Apa gara-gara itu?” ia mengira-ngira. 

Sebagaimana bregada lain, Bregada Ketanggung memiliki tugas pokok mengawal gunungan garebeg tiga kali dalam setahun. Di luar itu, mereka kadang diminta untuk tampil dalam acara-acara insidental. MW Gondo Pawoko di antaranya pernah tampil dalam perayaan hari jadi Kecamatan Wonosari dan Kabupaten Bantul. “Yang paling jauh itu (saya bertugas) di Trenggalek dan Tulungagung.”

Namun, sebagai panji satu, MW Gondo Pawoko sadar betul tanggung jawab terbesarnya adalah memberi teladan. Untuk itu, ia nyaris tak pernah melalaikan kewajiban rutinnya. Salah satunya piket. “Prajurit itu piketnya dua puluh hari sekali, kalau Abdi Dalem sepuluh hari sekali.” Ia mendapat jadwal caos untuk piket prajurit mulai pukul 20.00-23.00 selama dua hari, Senin dan selasa.  “Kalau piketnya tidak rajin kan anggotanya (ikut-ikutan), wong panjinya aja nggak pernah datang.”

Selain memberi teladan, bapak dua anak ini juga harus memberi motivasi ke anggota serta mempererat ikatan persaudaraan mereka. “(Saya menasihati) rajinlah menjalankan kewajiban (piket), wong cuma 20 hari sekali. Enteng.” Cara lain untuk memberi semangat sekaligus mengeratkan persaudaraan, ia rutin mengunjungi keluarga anggotanya.

Sementara itu, dalam baris-berbaris, tugas utamanya adalah memberi aba-aba. Ia berhubungan langsung dengan pembawa dwaja (bendera) dan dua pengamping-nya. “Hanya memotivasi (anggota) agar kompak dalam berbaris.” 

Urusan lain terkait anggota ditangani oleh panji dua. Di bawah kepemimpinan bijak MW Gondo Pawoko, Bregada Ketanggung mendapatkan juara pertama lomba ketangkasan antarbregada yang diselenggarakan tahun 2004 oleh Tepas Kaprajuritan.  

Siasat Mengatur Waktu

Sebagai Abdi Dalem Puraraksa, MW Gondo Pawoko bertugas 10 hari sekali, selama 24 jam, dari pukul delapan pagi hingga pukul delapan pagi pada hari berikutnya. 

Tak ayal, alumni Universitas Proklamasi jurusan Administrasi Negara ini harus pandai-pandai mengatur jadwal agar perjalanannya efesien. Ia memperhitungkan jadwal piket sebagai Abdi Dalem dan prajurit sekaligus.  Komitmen kuat mendorongnya untuk sebisa mungkin hadir sesuai jadwal. “Tidak ada rasan-rasan teman, panjinya nggak pernah datang. Karena saya pasti ada.”

Agar tidak terlambat, ia memilih berangkat lebih awal. “Berangkat sehari sebelum, siang. Umpamanya saya caos Senin, Sabtu (saya) sudah sampai sini. Jadi istirahat satu hari.” 

Untuk menghemat energi, ia sering tinggal selama sepuluh hari di Jogja dan kemudian mengulang perjalanan yang sama kira-kira sepuluh hari kemudian. “Jadi caosan pertama saya (sudah tiba) di sini, caosan kedua (saya masih) di sini. Caosan ketiga, saya pikir belakang.” Kerapkali, ia menginap di keraton karena pilihan itu terasa lebih nyaman baginya. 

Tentu perjalanan kurang lebih dua belas jam itu tak ringan. Apalagi, terkadang muncul rintangan, misalnya kehabisan tiket atau ketinggalan kereta. Namun, MW Gondo Pawoko bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin.  Kehabisan tiket, ia atasi dengan naik bus. “Kalau naik kereta sepuluh hari sebelum sudah pesan, kadang sudah habis. Liku-liku perjalanan.” 

Untunglah, keluarga memberikan dukungan penuh hingga rutinitas tersebut dapat berjalan baik.  Dukungan mereka benar-benar diwujudkan dalam tindakan. Putrinya membelikan tiket kereta secara rutin, bahkan menyediakan uang saku tiap kali ia hendak berangkat ke Yogyakarta. “Yah, le mangkat nang Jogja kapan?” katanya menirukan ucapan putrinya, “Besok (tanggal sekian). Tahu-tahu ada karcis kereta, ada uang saku.”  

Lika-Liku Hidup

MW Gondo Pawoko terbiasa melakukan pekerjaan apa pun sejak muda. Sewaktu masih kanak-kanak, ia tak sungkan membantu ibunya berjualan pisang di Pasar Beringharjo. Ini ia lakukan karena ayahnya mengalami stroke setelah jatuh dari ketinggian. Beranjak dewasa, ia sempat bekerja di jasa pengurusan STNK, lalu di kantor notaris sebagai tenaga administrasi. Ia juga pernah bekerja di Dinas Tenaga Kerja sebagai honorer petugas penyuluh lapangan. 

“Terus saya dapat istri Banyuwangi (yang) pintar masak. (Kami punya gagasan) bagaimana kalau kita buka warung saja?”  Mereka pun menjual pecel lele dan nasi rames selama kurang lebih sepuluh tahun di Seyegan. Setelah pindah ke Banyuwangi, usaha ini mereka mulai lagi. 

Selain membantu mengelola warung, MW Gondo Pawoko juga memelihara ayam kampung untuk dijual. Ia memang hobi memelihara ayam sejak muda. Ia bahkan sempat memilihara ratusan ekor saat tinggal di Sedayu. Di Banyuwangi, karena keterbatasan lahan, ia hanya memelihara puluhan saja. Apabila ia bertugas di keraton, pemeliharaan ayam-ayam tersebut diambil alih oleh keluarganya. 

“Saya sekolah itu yang mbayari ayam. Pas mau bayar (SPP), ayam dijual di Pasar Ngasem,” kenangnya. 

Haru

Lebih dari tiga dasawarsa mengabdi, MW Gondo Mawoko mendapati saat-saat paling berkesan adalah saat tampil di depan umum, misalnya pada Hajad Dalem Garabeg. “Saya terharu karena dilihat banyak orang dan yang jadi panji itu saya. Saya haru, kok bisa begini? (Saya) orang nggak punya, kok bisa begini.”

Tambahan uang saku yang ia dapatkan saat diundang berpawai di luar keraton atau bahkan di luar kota selalu ia syukuri. “Timbal balik, saya mengharumkan daerah.”

Hikmah utama yang ia dapatkan dari pengabdiannya di keraton adalah kesabaran. “Intinya orang hidup harus sabar dan niat. Niatnya apa. Tercapai atau tidaknya itu tadi, sabar. Wong akhirnya pasti tercapai.” 

Itu bukan sekadar omong kosong. Ia telah berhasil hidup sejahtera dari semula tak memiliki apa-apa. Karenanya, ia berharap para pemuda dapat meneladani nilai kesabaran seperti yang ia dapatkan di Keraton. Selain itu, ia juga berharap budaya di keraton tetap lestari.  “Keraton itu disukai, kan (karena) ada budayanya. Kalau kita masuk, kita tahu oh, budayanya keraton seperti ini.”