Agus Suprapto, Dwajadara Bregada Mantrijero, Dedikasi yang Berbuah Berkah

Agus Suprapto resmi diangkat menjadi prajurit Bregada Mantrijero pada tahun 1997. Masa itu, ia bekerja sebagai petugas keamanan di Univeritas Gadjah Mada (UGM) dan termotivasi oleh rekan-rekannya di kalangan kampus yang sudah masuk ke dalam satuan keprajurian keraton lebih dulu. Ia juga menyadari bahwa tanah tempat UGM berdiri merupakan Paring Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan oleh karenanya, ia terpanggil untuk mengabdikan diri. 

“Saat mau magang, saya menyiapkan lamaran, foto dan sebagainya,” kenangnya mengenai awal mula bergabung dengan bregada. “Kami dipanggil dan ditanya apa betul mau magang. Setelah terkumpul kurang lebih 10-20 orang, kami dilatih untuk baris berbaris. Di sana ada pelatih-pelatih dari para panji atau senior-senior keprajuritan.” Pelatihan prajurit pada saat itu, tutur Agus, relatif sederhana dibandingkan dengan pelatihan pada masa kini. 

Figur Oktober Web 1

Posisi pertamanya adalah prajurit banjel (cadangan). Tugasnya menggantikan anggota yang kebetulan berhalangan menjalankan ayahan.  Setelah dilantik, ia ditempatkan di kesatuan Mantrijero hingga sekarang. Bregada Mantrijero sendiri memiliki 48 anggota termasuk panji. 

Di kesatuan tersebut Agus memulai dari pangkat jajar waos (pembawa tombak) belakang, lalu naik menjadi jajar waos depan, jajar senjata (pembawa senapan) dan terakhir dwajadara. Ia ditunjuk secara aklamasi untuk menjabat dwajadara pada tahun 2014 dan posisi itu ia jalani hingga kini. Dalam setiap bregada prajurit, dwajadara adalah Abdi Dalem Prajurit berpangkat sersan yang bertugas sebagai membawa dwaja atau bendera kesatuan. 

Agus menuturkan saat bertugas sebagai waos, yang terpenting adalah memahami gerakan-gerakan khusus seperti sikap (hormat) kurmat ageng dan kurmat alit. Gerakan tersebut harus dilakukan dengan luwes, serasi saat dilihat dan juga tepat waktu. Sementara, saat membawa bedil, ia harus menguasai gerakan salvo atau yang diistilahkan sebagai “ngisi patrum”. 

Konsistensi sang Pembawa Bendera

Pada tahun 2023, Agus pensiun dari UGM setelah lebih dari tiga puluh tahun bekerja. Ia memulai dari tahun 1985 di Fakultas Kedokteran. Pada tahun 1997, ia dipindah ke Gedung Pusat (kantor rektorat) pada hingga purna tugas. Namun demikian, ia masih terkadang dipanggil bila diperlukan. Selama aktif bertugas, jabatan utamanya adalah koordinator pengamanan pejabat kampus dan tamu VIP. Ia memimpin teman-temannya untuk mengiringi jajaran pimpinan, baik di dalam maupun di luar daerah.

Kesetiaan Agus terhadap pengabdian rupanya dilandasi oleh rasa cinta dan keikhlasan. Itulah mengapa selama nyaris tiga puluh tahun mengabdi di keraton, ia tak begitu memikirkan imbal balik finansial.

“Sesuai dengan tujuan saya untuk mengabdikan diri ke keraton, saya merasa tetap semangat dan tetap senang, tetap punya jati diri sebagai pengabdi, dan tidak punya pikiran untuk masukan gaji dan lain sebagainya.” 

Meski kewajiban utama prajurit adalah mengikuti kirab dalam Hajad Dalem Garebeg yang terjadwal setahun tiga kali (Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi), tugas lain juga harus mereka jalani, misalnya njamasi atau prosesi merawat pusaka Kiai Cakra (bilah tombak bendera) setiap bulan Sura. Sementara jamasan Klebet (prosesi merawat kain bendera) dilaksanakan oleh Abdi Dalem Kawedanan Keprajuritan. 

Mereka juga harus siap bila sewaktu-waktu ada tugas lain dari Kawedanan Keprajuritan, misalnya tampil dalam event budaya yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau instansi lain. 

Di sini Agus tidak menampik adanya konsekuensi yang menguras energi. “Harus siap fisik dan mental karena pada saat kita ngayahi di luar keraton, misalnya untuk kirab agung atau festival keraton, sering panitia itu tidak mengerti ada prajurit yang sudah sepuh.” Akibatnya rute jadi terlalu panjang. Meski demikian, Agus menekankan mereka tetap selalu siap. 

Selain itu, ada juga kewajiban ronda keprajuritan di Kamandungan. Setiap satuan bregada mendapat tugas jaga setiap dua puluh haru sekali. Karena biasanya jatah ini dibagi ke semua anggota, setiap anggota hanya mendapat jadwal ronda sekali setiap bulan. 

Latihan rutin kecakapan prajurit, seperti jemparingan (panahan), plinthengan (katapel), tulupan (sumpit), bela diri, dan baris berbaris diselenggarakan untuk meningkatkan keterampilan dan menjaga kebugaran fisik para anggota. Agus ingin mengikuti semuanya, tetapi karena terkadang berbenturan dengan kepentingan pekerjaan, ia memilih yang jadwalnya bisa ia ikuti. “Kalau tidak ada benturan (jadwal), saya tetap datang.”

Di luar kewajiban di keraton, anggota bregada juga berinisiatif membentuk paguyuban demi merekatkan persaudaraan. “Di Paguyuban Mantrijero ada pertemuan atau istilahnya, Selasa Wagen (bertepatan dengan) Wiyosan Dalem. Diisi arisan dan persiapan apabila hendak menengok teman, atau aksi-aksi sosial seperti itu.”

Figur Oktober Web 2

Makin Modern

Nyaris tiga dekade mengabdi sebagai prajurit, Agus menyatakan secara pokok tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dalam tatanan keprajuritan. Namun, ia menyaksikan perubahan tata kelola menuju arah yang lebih baik. Salah satunya adalah kesejahteraan prajurit yang makin meningkat. 

“Perbedaan tidak ada, tapi (ada) kemajuan. Untuk baris-berbaris lebih sigap, lebih bagus. Untuk segala sesuatu Mantrijero lebih diperhatikan. Untuk kesejahteraan, sekarang juga lebih bagus.”

Kesejahteraan itu terlihat misalnya dari seragam yang lebih bagus dan honorarium yang lebih tinggi. “Jadi teman-teman termotivasi untuk lebih giat dalam pengabdian di keprajuritan keraton.”

Di sisi lain, menurut Agus, kemajuan ini menuntut penyesuaian dari para anggota, terutama yang sudah senior. “Sebetulnya tetap saja, tapi sekarang lebih modern. Jadi seharusnya teman-teman mengikuti ranah sekarang, lebih modern, lebih maju dalam bidang IT.” 

Figur Oktober Web 3

Hidup Penuh Berkah

Di luar pekerjaan, Agus memanfaatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga dan bermasyarakat. Di kampung tempat tinggalnya di bilangan Giwangan, terdapat berbagai paguyuban, termasuk paguyuban seni budaya, seperti karawitan, jathilan, dan bregada. Ia membantu melatih anggota bregada kampung tersebut. “Banyak teman-teman prajurit mengikuti atau menjadi pelatih bregada-bregada masyarakat atau bregada budaya di kampung-kampung lain,” tuturnya. 

Selain itu, waktu luang ia manfaatkan untuk menjalankan hobinya berolahraga. Tamatan STM Jetis 2 Jurusan Teknik Bangunan ini menyukai banyak cabang olahraga, tetapi yang ia tekuni adalah tenis. Bila tidak bermain tenis, ia memilih berjalan kaki. Ia melakukannya baik untuk mendampingi atasan maupun menjaga kesehatan pribadi. 

Agus merasakan pengabdiannya di keraton mendatangkan berkah yang tak terhitung banyaknya, salah satunya ada kelancaran tugas di tempat kerja. “Di keraton kita mengabdi, di kampus kebetulan kok ya saya dekat dengan pimpinan, dipercaya pimpinan.” Bapak berputra satu ini bercerita, ia tidak hanya dekat dengan para pemimpin UGM, tetapi juga keluarga mereka hingga sering diminta untuk berolahraga tenis bersama. Meski sering mendampingi para pejabat tersebut, Agus dan rekan-rekan tahu menempatkan diri, termasuk menjaga privasi atasan. 

Figur Oktober Web 4

Seperti timbal balik, UGM pun memberi dukungan pada Agus untuk berkarya di keraton. “Dari kantor juga support. Kebetulan banyak civitas akademika atau guru besar dan ahli-ahli budaya seperti Prof Joko Suryo, Prof Sumarsono, dan almarhum Prof Timbul yang suka sekali dengan kegiatan di keraton.”

Selain kelancaran dalam berkarier, berkah lain yang Agus rasakan adalah keberhasilan studi putranya. “Walau saya hanya pegawai kecil tetapi saya dekat dengan keraton. Berkahnya, anak saya yang dapat. Saya tidak bisa kuliah di UGM, tapi anak saya kuliah di (Fakultas Peternakan) UGM, alumni sana. Sampai sekarang (saat) saya pensiun, anak saya kerja di Laboratorium Pascapanen UGM.” 

Menyangkut masalah finansial, Agus berpendapat selama kita jujur dan mau bekerja, rezeki otomatis mengikuti. Dengan dukungan dari keluarga, Agus bertekad untuk terus mengabdikan pada keraton hingga nanti, “Apa pun nanti kehendak dari pihak keraton, (misalnya) kalau sudah sepuh dan harus berhenti, pada intinya saya siap.” Ia menyampaikan terima kasih kepada keraton yang telah memberikan banyak hal kepada teman-teman prajurit hingga sekarang menjadi lebih sejahtera.