Yusuf Toto Purwoko: Prajurit Surakarsa, Pegiat Kemanusiaan
- 03-12-2024
Sewaktu kecil, Yusuf Toto Purwoko sering diajak ayahnya ke Keraton Yogyakarta untuk menonton upacara Garebeg. Di sanalah, Yusuf menyaksikan eyang kakungnya berbaris gagah sebagai anggota pasukan Bregada Nyutra. Setelah sang kakek berpulang, ayah Yusuf menyambung sejarah pengabdian dengan menjadi prajurit Dhaeng. Yusuf kembali punya alasan untuk menonton Garebeg beserta pawai prajurit keraton.
Meski demikian, ia tak pernah tertarik mengikuti jejak sang ayah dan kakeknya. Hingga suatu hari pada tahun 2012, beberapa bulan setelah ayahnya meninggal, minat itu mendadak muncul. Saat itu, rekan ayahnya dari Bregada Dhaeng bertamu untuk mengambil seragam prajurit yang selama ini dipakainya. Sesuai peraturan, seragam yang sudah tidak dipakai harus dikembalikan ke keraton.
“Ketika teman bapak itu mengambil baju, kok saya ada keinginan kuat di hati, spontan, tanpa direncanakan, untuk menjadi prajurit keraton.”
Tanpa menunda, ia mengutarakan keinginannya pada teman sang ayah, Tri Suwito. “Saya merasa ketika bapak sudah tidak ada, ageman (busana) sudah dikembalikan, kok kayak ada sesuatu yang terputus.”
Ia sendiri bingung mengapa motivasi itu muncul begitu mendadak. “Mungkin saya merasa bertanggung jawab sebagai orang Jawa untuk melestarikan budaya Jawa semampu dan sebisa saya.” Ia juga ingin mendapatkan berkah dari pengabdian kepada Keraton Yogyakarta. Sang kakek memiliki kebiasaan yang sangat berkesan bagi Yusuf, yaitu membagi penganan yang ia dapatkan saat bertugas. Kebiasaan itu diteruskan oleh ayahnya. Makanan yang dibawa bahkan dipotong kecil-kecil agar semua kebagian. “Eyang mengatakan, wis pokoke berkah, entah kamu yang merasakan berkah itu atau anakmu.”
Tri Suwito berjanji untuk mengabari bila lowongan prajurit dibuka. Beberapa tahun kemudian, barulah lowongan itu benar-benar dibuka. Tak hanya mengabari, Tri Suwito juga membantu membuat lamaran dan mengantarkan Yusuf sowan ke Tepas Keprajuritan (divisi yang menaungi prajurit Keraton Yogyakarta). Namun, ternyata, rekrutmen sudah ditutup, bahkan sudah masuk tahap gladhen (latihan). KRT Kusumanegara, Penghageng Tepas Keprajuritan saat itu, bertanya pada Yusuf apakah ia memiliki bakat atau suka bermusik. Dengan jujur Yusuf menjawab bahwa ia hanya sebatas suka, tetapi tidak dapat memainkan alat musik apa pun.
“Kemudian saya diarahkan, kalau mau, setiap minggu sore saya bisa datang ke Pracimasana karena ada ada latihan ungel-ungelan bersama korps musik prajurit keraton.”
Yusuf dengan senang menyanggupi. Pada masa itu orang-orang yang ingin menjadi prajurit boleh ikut berlatih agar mereka siap mendaftar bila rekrutmen dibuka.
erlatih dari Nol
Yusuf mulai berlatih secara intensif. Para senior membimbingnya memukul tambur dengan lembut dan halus sesuai dengan ciri khas bregada keraton. Saat menghadiri latihan mingguan, ia merekam musik yang diajarkan, lalu mengulangnya setiap hari di rumah dengan alat seadanya. Berbekal stik, ia memukul-mukul helm atau lantai untuk berlatih roppel. Dengan demikian, pertemuan korps musik pada hari Minggu hanya menjadi ajang unjuk hasil latihan selama seminggu di rumah sekaligus menyempurnakan keterampilan bermusik dengan tambur yang sesungguhnya.
Kurang lebih dua tahun berlatih, Yusuf diperintah menggantikan ungel-ungelan (prajurit) Surakarsa yang berhalangan hadir. Semenjak itu, ia mulai menjadi prajurit cadangan dan beberapa waktu kemudian diminta magang. Yusuf akhirnya diangkat resmi menjadi bregada atau prajurit pada 2019. Ia ditempatkan di kesatuan Surakarsa sebagai pemain tambur.
Meski Yusuf memang ingin menjadi prajurit, ia tak pernah membayangkan mendapatkan posisi sebagai anggota korps musik. “Ternyata sampai saya diangkat resmi sebagi pemusik itu, belum ada rekrutmen lagi sebagai prajurit. Jadi ya sudah saya jalani,” jelasnya.
Penjaga Langkah
Meski tugas utamanya adalah memainkan musik, Yusuf tetap mempelajari keterampilan-keterampilan keprajuritan lain sesuai aturan, seperti tulup, plintengan, jemparingan, pencak silat, dan tentu saja baris berbaris. Menurut Yusuf, meski tak lagi menyandang fungsi militer, prajurit Keraton Yogyakarta tetap harus mengasah ketangkasan.
Selain bertugas dalam upacara Garebeg rutin, korps musik terkadang diminta untuk mengikuti pawai di luar keraton, “Korps musiknya secara bergiliran akan diambil dari masing-masing bregada yang ada di keraton untuk menjadi unen-unen (bebunyian) saat pawai.”
Bukan hal mudah untuk bermain musik sambil berbaris, tetapi dengan latihan terus-menerus, Yusuf dapat melakukannya dengan lancar.
Dalam upacara Garebeg, Bregada Surakarsa memiliki tugas khusus untuk mengawal Gunungan. Kesatuan ini hanya memiliki enam anggota ungel-ungelan, yang terbagi menjadi tiga penambur dan tiga penyuling. Bregada-bregada lain memiliki alat musik yang lebih bervariasi, seperti bende dan terompet.
Korps musik selalu berada posisi paling depan dalam barisan. Oleh karenanya, para pemusik terkadang perlu menengok ke belakang untuk memastikan apakah jarak mereka tak terlalu jauh dan tak terlalu dekat dengan anggota pasukan di belakangnya.
“Kecepatan langkah perlu diperhatikan betul dan itu bisanya dengan laku, dalam artian kita menjalani,” tutur Yusuf. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa laku merupakan proses belajar secara alami melalui pengalaman panjang. Ini seturut dengan pepatah Jawa yang berbunyi ngelmu tinemune kanthi laku.
Pengalaman Berkesan
Bagi Yusuf setiap pengalaman bertugas di keraton memberinya perasaan positif, tetapi salah satu yang mengesankan adalah upacara Garebeg Mulud 2023. “Untuk pertama kalinya sejak saya bergabung dengan Surakarsa, Surakarsa mendapat dhawuh untuk mengawal prosesi Kondhur Gangsa.” Kondhur Gangsa adalah prosesi mengembalikan gamelan dari kompleks Masjid Gedhe –tempat penyelenggaran upacara Sekaten—ke keraton. Sebelumnya pada saat Garebeg, Surakarsa tidak ditugaskan untuk mengawal prosesi ini.
Garebeg lain yang juga berkesan adalah saat prosesi Kondur Gangsa 2023. “Untuk pertama kalinya saya dalam busana Surakarsa melakukan Kurmat Ageng, yaitu menghaturkan hormat saat Ngarsa Dalem miyos. Karena pertama kali takut, deg-degan, karena kan (Kurmat Ageng) jarang sekali terjadi dan mungkin itu yang paling terkesan.”
Sementara pengalaman lucu ia dapatkan saat pertama bertugas pawai Garebeg. “Kami keluar mengawal Gunungan. Saya berjalan di tengah-tengah prajurit yang sedang berbaris. Mereka melakukan tembakan salvo untuk Gunungan. Saya kaget sampai stik saya hampir jatuh karena kaget mendengar tembakan salvo.”
Sambil tertawa Yusuf mengatakan kini ia sudah terbiasa dan bisa menyiapkan diri saat mendengar aba-aba salvo. “Kalau di tengah-tengah kaget sampai stiknya jatuh, kan ditonton semua orang itu.” Namun, lepas dari aral melintang yang terkadang ada, semua tugas di Keraton Yogyakarta ia jalani dengan senang hati dan penuh kebanggaan.
Menjadi Abdi Dalem mendorong bapak satu anak ini untuk terus belajar. Masyarakat cenderung menganggap Abdi Dalem mengetahui segala hal tentang keraton dan budaya Jawa sehingga ada ketakutan tersendiri apabila ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan benar. Ia pun tak segan-segan menimba ilmu dari referensi yang tersedia atau dari sesama Abdi Dalem. Bagi Yusuf, keraton adalah sumber ilmu yang tak terbatas.
Pejuang Kemanusiaan
Yusuf bekerja sebagai ASN di BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kabupaten Sleman sebagai analis mitigasi bencana. Ia menjalankan program untuk penanggulangan bencana, seperti menyiapkan sarana fisik, membuat rambu-rambu kebencanaan, memelihara sistem peringatan dini hingga menyelenggarakan sosialisasi dan pelatihan kebencanaan.
Tugasnya terkadang berat. Sewaktu pandemi Covid-19 melanda, misalnya, ia ditugaskan di posko penanganan jenazah dan posko dekontaminasi BPBD Sleman. Ia bekerja di bawah tenda darurat selama berbulan-bulan.
Yusuf memang memiliki jiwa sosial dan kemanusiaan tinggi. Selain bekerja di BPBD, ia juga menjadi relawan PMI Sleman sejak 2011. Ia menyediakan diri untuk berjaga saat ada kegiatan yang membutuhkan tenaga pertolongan pertama. Ia juga terjun dalam peristiwa kebencanaan. Semenjak berkeluarga, ia memang tidak terlibat seintens dulu. “Tapi saat ini saya masih aktif. Ketika sedang luang, saya dikontak. Bila bantuan dibutuhkan, saya siap Insyaallah.” Terakhir ia menjabat sebagai pengurus PMI Sleman bidang SDM 2019-2024.
Bekerja di BPBD dan menjadi relawan di PMI, selain sesuai dengan renjananya, juga tak jauh dari pendidikan yang pernah ia enyam, yaitu D3 Kesehatan Lingkungan (Poltekes Kemenkes), S1, Teknik Lingkungan (ITY) dan S2 Ilmu Lingkungan (ITY).
Seperti di keraton, di kedua badan itu, Yusuf melaksanakan tugasnya dengan ringan walau, tentu saja, ia berduka bila bencana melanda. “Ketika ada saudara kita yang tertimpa musibah, kami ikut sedih, tapi di sisi lain, kami bisa membantu mereka bangkit kembali.” Ucapan terima kasih mendalam dari warga atas bantuan yang dalam anggapan Yusuf tak seberapa menjadi motivasi tersendiri. “Ternyata hal kecil yang saya lakukan bisa bermanfaat untuk orang lain.
Melestarikan Budaya
Saat ini Yusuf tinggal di Pangukan, Sleman bersama istri dan anaknya yang masih balita. Ia senantiasa meluangkan waktu untuk berjalan-jalan bersama mereka. Ia mengajak anaknya berkeliling kota naik bus atau naik KRL. Kadang-kadang, ia dan istrinya bermotor ke tempat yang agak jauh. Bila waktunya longgar, ia gemar tur motor bersama komunitas. Pria ramah dan murah senyum ini memang suka mengutak-atik motor tua, khususnya motor dua tak. Dengan motor dua tak pulalah ia sehari-hari berangkat ke keraton dan ke tempat kerja.
Dukungan keluarga turut berperan dalam kelancaran tugasnya di keraton. “Keluarga terutama ibu, istri, mertua itu sangat mendukung.”
Keluarga besar dari pihak ayahnya juga senang Yusuf melanjutkan jejak kakeknya. Yusuf pernah tak sengaja menemukan foto sang kakek dari grup WA prajurit keraton. Di grup tersebut sering ada unggahan foto-foto prajurit keraton zaman dulu. Salah satunya adalah foto yang diteruskan dari medsos warga negara asing. Di situ ada foto sang kakek sedang bertugas dalam upacara Garebeg. “Saya di rumah hampir tidak punya foto simbah yang pakai ageman prajurit. Nah, itu kebetulan ada teman prajurit yang share. Katanya dapat foto dari Instagram. Di situ terpampang gambar eyang saya waktu baris di Pracimasana.” Keluarga besar pun senang sekali akhirnya memiliki foto sang eyang dalam seragam prajurit.
Saat ditanya mengenai cita-cita, Yusuf menuturkan ia tak memiliki cita-cita yang terlalu muluk. “Yang penting saya diberi kesehatan, umur panjang, dan bisa menjalankan tugas baik di keraton sebagai prajurit keraton ataupun di kantor menjalankan tugas sehari-hari dan masih bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar.”
Ia berharap keraton tetap lestari dan terus berinovasi dengan tetap mempertahankan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dulu. Sementara untuk warga Yogyakarta, ia berpesan jangan sampai kehilangan jati diri dan budayanya sendiri. “Sebisa mungkin, semampu kita, sebisa kita, kita lestarikan budaya Jawa yang sudah ada ini.”
Paling sederhana, katanya, adalah dengan menerapkan unggah-ungguh, seperti mengucapkan matur nuwun (terima kasih).