MRy Dirjomanggolo, Prajurit Bugis dan Abdi Dalem Kagunan: Merawat Budaya dan Ikatan Sosial
- 31-12-2024
Mengabdi di keraton sejak 1984, Waluyo merupakan salah satu Abdi Dalem berdedikasi di Bregada Bugis dan Kawedanan Kridamardhawa.
Ketertarikannya pada prajurit keraton muncul jauh sebelum ia bergabung. Sewaktu kanak-kanak, ia selalu diajak oleh ayahnya untuk menonton iring-iringan bregada mengawal gunungan saat Garebeg Mulud. Besarnya minat untuk menyaksikan pawai prajurit keraton dari dekat bahkan pernah membuatnya terkena masalah.
“Untuk anak kecil, melihat di depan itu sulit sekali (saking banyaknya penonton). Saya pernah naik pohon beringin di depan Pagelaran. Itu ketahuan petugas. Selain polisi, saat itu ada banpol (bantuan kepolisian) dengan membawa tongkat rotan untuk menghalau penonton yang ada di atas, karena tradisinya warga tidak diperkenankan posisinya di atas (Pareden) Hajad Dalem.”
Namun, garis takdir membawanya terus mendekat ke keraton. Setelah dewasa, ia bekerja di Dinas Perindustrian dan setiap bulan Mulud ditugaskan untuk mengelola pameran Dinas Perindustrian di kompleks keraton. Bertambah kuatlah keinginannya untuk mengabdi.
Ia pun mengirim surat lamaran, diterima, dan menjalani magang selama lima tahun. “Setelah tiga kali melaksanakan Hajad Dalem Garebeg dan mengikuti penataran, baru saya diparingi kekocah (surat pengangkatan).”
Sebagai prajurit, ia ditempatkan di Bregada Bugis dan memulai dari pangkat terendah, yaitu jajar. “Kira-kira tahun 1991 saya dipercaya memegang alat musik kecer.” Kecer terbuat dari logam dan berbentuk seperti sepasang simbal kecil. Sepasang alat musik ini dihubungkan dengan tali dan dibunyikan dengan menggerakkan tali tersebut.
Beberapa tahun kemudian, ia dirotasi menjadi panji (komandan) dua, lalu menjadi panji satu. Pada tahun 2004 diangkat menjadi wedana. Pangkat wedana hanya ada di dua pasukan bregada, yaitu Bugis dan Surakarsa. Bregada Bugis dan Surakarsa pada zaman dahulu sama-sama yang ditugaskan di luar istana. Pasukan Bugis bertugas mengawal patih, sementara Surakarsa mengawal putra mahkota. Di bregada lain, jabatan wedana ini setara dengan kapten.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta Tahun 2012, Bregada Bugis bertugas mengawal Pareden (Gunungan) Garebeg dari keraton menuju Kepatihan. Namun, setelahnya, pasukan ini, sama dengan pasukan lain, mengawal Gunungan dari keraton menuju Masjid Gedhe.
Abdi Dalem Punakawan
Setelah menjadi prajurit beberapa tahun, Kepala Bagian TU di Dinas Perindustrian tempat Waluyo bekerja menyarankan agar ia mengajukan permohonan pengangkatan Abdi Dalem Keprajan. Abdi Dalem Keprajan adalah Abdi Dalem istimewa yang diangkat dari kalangan ASN atau TNI, adapun pangkat dan golongannya disesuaikan dengan tempat serta golongan mereka di instansi terkait.
Waluyo mematuhi saran tersebut dan kemudian diangkat menjadi Abdi Dalem Keprajan serta mendapat Nama Paring Dalem Dirjo Jatimanggolo. Nama “Dirjo” menjadi ciri khas untuk Abdi Dalem yang terkait dengan Dinas Perindustrian. Kelak, nama ini berubah menjadi Dirjomanggolo saja.
Di Dinas Perindustrian, Waluyo bekerja di Seksi Keuangan, Bagian Tata Usaha. Salah satu tugas pokoknya adalah membuat daftar gaji pegawai.
Pangkat awal Waluyo sebagai Abdi Dalem Keprajan adalah penewu kemudian meningkat secara bertahap hingga kini berpangkat riyo bupati anom. Menjelang pensiun, Waluyo merasakan keresahan terkait waktu luang yang harus ia isi dengan sebaik-baiknya. Namun, ia sudah merasakan kemantapan untuk membaktikan sebagian waktunya untuk keraton. Ia pun meminta izin untuk berkarya di bawah Kawedanan Kridhamardhawa, bagian yang mengurusi kesenian.
“Setelah purnatugas saya berpikir saya mau apa dengan sisa waktu saya. Ada teman-teman yang tidak siap pensiun. Saya sambil berkelakar (berkata) besok saya kalau pensiun akan berada di bawah pohon beringin kurung.” Teman-temanya bertanya mengapa ia ingin melakukan itu. “Untuk membersihkan daun-daun beringin. Biar apa? Biar bersih.” Tidak semua rekannya tanggap bahwa sudah bertahun-tahun Dirjomanggolo menjadi prajurit keraton dan telah bertekad membaktikan waktu lebih banyak di keraton.
“Saya ditempatkan di Kanca Kotak,” jelasnya. Kanca Kotak adalah kelompok Abdi Dalem di Reh Kagunan, Kridhamardhawa, yang berugas merawat dan menyiapkan kostum serta properti pertunjukan.
“Akhirnya (saya) di Kagunan sampai sekarang. Ternyata di situ pas dengan yang saya idamkan secara batin, (yaitu) seni dan budaya. Walau saya tidak bisa (menjadi seniman), tetapi ingin menguri-uri selamanya dalam hal kebudayaan.”
Kebanggaan Prajurit
“Karena menjadi Abdi Dalem merupakan tujuan saya dan kepuasan batin saya, tentu banyak sukanya,” ungkap Waluyo terkait apa yang ia rasakan setelah mengabdi di keraton selama lebih dari tiga dekade. “Dukanya (apabila) saat melaksanakan tugas itu ada yang salah, saya merasa dosa.” Ia mencontohkan, pernah ia menaruh set panggung di titik yang keliru. “Saya merasa beban saya itu.”
Sementara di keprajuritan, ia merasakan kerisauan ketika pasukannya tidak segera menaati komandonya sebagai panji. “Pernah suatu ketika, Keraton Yogyakarta menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara. Kami harus datang lebih awal di Alun-Alun. Sementara di kantor, saya ditugaskan sebagai seksi pameran di JEC. Jadi saya waktu itu kemrungsung wira-wiri. Setelah itu saya memberi aba-aba, tapi tidak didengarkan.” Akhirnya ia bersikap tegas, bahkan kepada prajurit yang lebih senior. Ia berani berbuat demikian karena baginya tugas dan perintah tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk menjaga kewibawaan Ngarsa Dalem. “Jadi, saat kita harus bertugas ya (kita harus) bertugas. Nanti ada saatnya kita mendapat perintah untuk beristirahat.”
Salah satu pengalaman menyenangkan ia dapatkan ketika ia mengikuti Festival Keraton di Cirebon. “Saat itu saya masih memegang alat musik. Setelah melaksanakan kirab, oleh masa yang ada di sana prajurit keraton (Yogyakarta) dikatakan antik, menarik, dan juga khas pakaiannya sehingga dielu-elukan penonton. Bahkan pas jalan pawai itu, topi blangkon (kami) ditarik-tarik penonton.”
Ia juga menceritakan kenangannya semasa reformasi ketika jalan-jalan di Yogyakarta banyak diduduki demonstran. Ia mengenakan seragam prajurit dan hendak berangkat ke keraton untuk menjalankan tugas. “Tapi kemudian mahasiswa itu membuka jalan, prajurit keraton harus dikasih jalan (kata mereka). Saya merasa bangga, prajurit saja dihormati, apalagi Ngarsa Dalem.”
Tokoh Masyarakat
Sewaktu masih berdinas sebagai ASN, Mas Riyo Dirjomanggolo tidak kesulitan membagi waktu antara kantor dan keraton. “Hajad Dalem itu pasti tanggal merah, kecuali (saat) institusi keraton dibutuhkan oleh instansi lain untuk kirab, kita harus mengajukan dispensasi.” Untunglah kepala kantornya sangat mendukung keterlibatan Mas Riyo Jatimanggolo di Keraton. “Kepala kantor merasa bahwa semua tanah gedung itu yang membuatkan keraton, jadi yang diutamakan itu harus keraton,” jelasnya.
Setelah pensiun, ia makin banyak mencurahkan waktu untuk mengabdi. Sesuai jadwal, ia bertugas setiap Senin dan Kamis. Ini masih ditambah apabila ada tugas ekstra, misalnya melayani Kanca Mataya (penari) dan Musikan (pemusik) saat ada latihan atau pentas.
Saat tidak bertugas di keraton, ia mengisi waktunya dengan bertani yang merupakan hobi serta sumber penghasilan baginya.
Laki-laki yang tinggal di Banguntapan ini juga aktif dalam kegiatan sosial-kemasyarakatan. Ia telah menjadi ketua RT selama 13 tahun di kampungnya. Ia juga menjabat sebagai sekretaris KUD (koperasi unit desa) yang menyediakan pupuk, obat hama, penggilingan padi, serta jasa lain bagi petani anggota. Pada tahun 2023, ia ditunjuk oleh camat setempat untuk mengikuti lomba ketokohan pemberdayaan masyarakat dan mendapatkan juara tiga. Tidak mengherankan, Waluyo sudah lama berkecimpung dalam organisasi kemasyarakatan sejak muda. “Sejak pemuda jadi ketua pemuda, pengurus Kelembagaan dan Ketahanan Masyarakat Desa maupun lembaga sosial, karawitan, ketoprak.”
Istri dan anak-anaknya mendukung penuh pengabdiannya di keraton. Sebelum menikah, ia sudah menjadi Abdi Dalem sehingga ia sudah memastikan calon istrinya dapat menerima kondisi tersebut.
Kedua orang tuanya saat masih hidup juga sangat bangga Waluyo menjadi prajurit. “Bapak saya dulu adalah tukang ngemit, bikin blangkon dan surjan. Ia mendukung sekali, kalau (saya) diparingi seragam (dari keraton) dan kebesaran, (oleh Bapak) diukur lagi, dikecilkan.”
Pria lulusan SMA ini merasa ia sudah mencapai cita-cita tertingginya, “(Cita-cita) hati sanubari saya hanya bisa menjadi bagian dari keraton. Itu saya sudah puas. Tidak ada cita-cita lain.”
Ia mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada keraton yang sudah menerimanya sebagai Abdi Dalem sehingga ia bisa belajar soal sopan santun dan tata krama. “Walau tidak 100% sesuai dengan harapan, tetapi paling tidak (saya tahu) oh kalau jadi Abdi Dalem itu harus begini, harus menjaga Wibawa Dalem, harus menjaga Kuncara Dalem, jadi tidak boleh di tengah masyarakat melakukan yang bertolak dengan sopan santun dan budaya.”