Mas Riya Yososumoatmojo: Memelihara Ingatan Budaya Lewat Pelestarian Bangunan Bersejarah

Sasana Pura merupakan kawedanan yang terhitung baru di Keraton Yogyakarta. Dibentuk pada 2022, kawedanan ini bertanggung jawab memelihara aset Kagungan Dalem (milik keraton/milik sultan) yang berupa petilasan, pesanggrahan, masjid, dan makam. 

Mas Riya (MRy) Yososumoatmojo adalah salah satu sosok penting di bagian tersebut. Laki-laki bernama asli JB Putut Kelana Djati ini memang memiliki latar belakang dan pengalaman dalam bidang bangunan. Selain merupakan alumni Jurusan Arsitektur Atmajaya, ia telah bertahun-tahun ikut mengabdi untuk keraton terkait pemeliharaan dan revitalisasi bangunan fisik. 

“Tahun 2003, menjelang Ngarsa Dalam kagungan kersa (kehendak) menikahkan putrinya yang sekarang bergelar GKR Mangkubumi, saya mendapat dhawuh dari Penghageng Wahana Sarta Kriya untuk mempersiapkan tempat-tempat yang akan dipakai untuk upacara, seperti area Kasatriyan, area Keputren,” jelasnya. 

Pascagempa besar yang mengguncang Yogyakarta pada 2006, Mas Riya Yososumoatmojo kembali ditugaskan untuk memperbaiki bangunan-bangunan keraton yang rusak, salah satunya fasad bastion pojok benteng. 

Ia masih aktif membantu perawatan berbagai bangunan keraton hingga sekarang. “Karena saya mungkin memiliki latar belakang teknis, saya sering diminta Panitrapura sebagai tim teknis pembangunan-pembangunan yang dikelola Kawedanan Panitrapura saat ini, seperti pembangunan benteng Margihinggil dan renovasi Ndalem-ndalem. Kemudian ada beberapa renovasi bangunan yang di luar (keraton). Saya juga dilibatkan untuk supervisi.”

Tahun 2008, ia mendaftarkan diri menjadi Abdi Dalem prajurit di Bregada Mantrijero dan 2013 ia melamar posisi Abdi Dalem Punakawan di Kawedanan Wahana Sarta Kriya. Kawedanan tersebut bertanggung jawab atas pemeliharaan bangun fisik milik keraton, termasuk yang tergolong sebagai cagar budaya. Setelah Sasana Pura dibentuk, aset yang berupa petilasan, pesanggrahan, masjid, dan makam menjadi tugas spesifik kawedanan baru tersebut. 

Di kawedanan ini, MRy Yososumoatmojo menjabat sebagai carik (sekretaris). Namun, ia tetap terjun langsung ke lapangan untuk melaksanakan pendataan serta pemeliharaan bangunan. 

Figur Februari Web 4

Peninggalan Bersejarah

Begitu Kawedanan Sasana Pura terbentuk, MRy Yososumoatmojo ditarik untuk menjadi carik di kawedanan baru tersebut. Tugasnya serupa. Selain mengurusi administrasi, ia melakukan survei dan peninjauan lapangan. Ia harus mengumpulkan data lalu menyusun laporan. “Di tepas hanya ada tiga personel. Ada carik, kahartakan, dan satu lumaksana. Belum banyak personel,” jelasnya. 

MRy Yososumoatmojo mengungkap ia harus beradaptasi setelah liyer (mutasi tugas) dari Wahana Sarta Kriya ke Sasana Pura. “Yang diurus kan berbeda. Kalau dulu hanya bangunan, sekarang ada masjid dan pasareyan. Itu menjadi hal yang baru. Artinya, (saya) mencoba untuk beradaptasi. Yang dulu belum pernah, akhirnya menjadi tantangan juga.”

Saat bekerja di Wahana Sarta Kriya, ia fokus menangani bangunan yang berada di kompleks cepuri (benteng keraton bagian dalam), sementara di Sasana Pura, ia lebih banyak mengurusi situs-situs di luar benteng keraton. Ia mengakui hingga kini masih ada perasaan takut saat mengunjungi makam. “Jadi masih belajar, belajar untuk berani,” tuturnya. 

Ia mengatakan, ada pula rasa khawatir melakukan kesalahan. “Karena memang benar-benar baru (tugas ini) dan kita sendiri tahu kan makam-makam Kagungan Dalem itu kan banyak makam-makam kuno dan kondisinya seperti itu. Langsung ada rasa yang tidak terbiasa.”

Bagi MRy Yososumoatmojo tugasnya lebih dari sekadar pekerjaan. “Saya melihat di sini banyak bangunan yang harus dilestarikan. Itu menjadi ketertarikan saya. Memang bangunan-bangunan di keraton itu sangat berbeda dengan bangunan di luar. Di sini setiap bangunan itu ada nilai filosofi, artistik, dan segalanya.” 

Ia menekankan bahwa terdapat perbedaan saat mengerjakan bangunan di keraton dan di luar keraton. “Setiap akan melangkah melakukan aktivitas di bangunan keraton kami harus ada caos dhahar (menghaturkan sesaji) dan semacam kulo nuwun (permisi). Jadi memang itu menjadi keharusan. Saya akan mengingatkan para pekerja yang akan melaksanakan tugasnya, untuk caos dhahar dulu, sugengan dulu, berdoa bersama dulu.” Menurutnya keunikan tersebut membuat bangunan keraton makin menarik untuk dipelajari.  

Keraton Yogyakarta memiliki setidaknya lima pesanggrahan, yaitu Ambarrukmo, Ambarbinangun, Ngeksigondo, Parangwedang, dan Parangtritis. Saat ini, total tujuh belas Abdi Dalem ditugaskan sebagai juri kunci untuk memelihara kelimanya serta menjalankan ritual, salah satunya melaksanakan caos dhahar pada waktu-waktu tertentu. 

Tiap situs bisa jadi memiliki tradisi khas tersendiri. Ini juga baru diketahui oleh MRy Yososumoatmojo dari juru kunci terkait. Di Ambarbinangun misalnya, ada kewajiban ladosan (persembahan) buah kelapa hasil bumi setempat setiap bulan. Berhubung pohon-pohon kelapa di pesanggrahan tersebut sudah banyak yang tua, tidak produktif, atau bahkan mati, Sasana Pura harus mutrani (melakukan penanaman kembali). Untuk penyediaan bibitnya, kawedanan ini bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Kulonprogo. 

Selain lima pesanggrahan itu, masih terdapat 9 petilasan, 43 masjid, dan 47 makam. Sesuai anggaran yang ada, tim Sasana Pura menjadwalkan visitasi paling tidak tiga situs setiap bulan. “Itupun juga belum nanti (kalau) ada laporan-laporan dari luar tentang adanya situs temuan baru.” 

Apabila terdapat laporan dari masyarakat mengenai temuan situs arkeologis yang diduga sebagai peninggalan keraton, Sasana Pura akan berkoordinasi dengan kawedanan dan dinas terkait untuk memeriksa dan memverifikasi kebenaran dugaan tersebut.  

Dalam dua tahun terakhir, terdapat dua laporan temuan. Salah satunya berupa petilasan yang diduga pemandian yang terletak di Maguwoharjo, Sleman, di dalam area kompleks Bandara Adisutjipto. Sementara, yang lainnya adalah makam tua di Kecamatan Ngawen, Gunungkidul yang berada di tanah Kasultanan. Diduga, itu adalah makam istri Brawijaya V, sesuai dengan tulisan yang ada. Namun, kebenarannya masih harus diverifikasi. 

“(Keduanya) sudah terdata. Kita tinggal menunggu follow-up dari KHP Datu Dana Suyasa (Kawedanan Hageng pengelola aset keraton yang menaungi Kawedanan Sasana Pura), apakah mau dikembalikan atau dipagari dulu. Tugas kita adalah supaya situs-situs itu tidak rusak atau tidak hilang.” 

Figur Februari Web 1

Pemanfaatan

Saat ini beberapa situs dimanfaatkan oleh berbagai lembaga, seperti Pesanggrahan Ambarbinangun yang digunakan sebagai salah satu fasilitas kegiatan kepemudaan oleh Balai Pemuda dan Olahraga dan Pesanggrahan Parangtritis yang digunakan sebagai lahan parkir oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Bantul.

“Yang menjadi perhatian kita supaya mereka ikut menjaga karena mereka berkegiatan dan beraktivitas di bagian dari aset keraton. Ikut memelihara dan tidak merusak, memiliki rasa handarbeni,” ungkap MRy Yososumoatmojo.

Merawat sekian banyak situs dengan tenaga dan anggaran terbatas tentu tidak mudah. Menurut MRy Yososumoatmojo, aset yang paling menantang teknis perawatannya adalah makam. Salah satu contohnya adalah Makam Gambiran yang berada di area permakaman umum yang luas. “Walau ini makam Kagungan Dalem tapi kebanyakan sudah dipakai masyarakat umum, tapi ada bagian khusus yang harus kita lindungi.” Selain memastikan status tanah permakaman, tidak mudah juga memastikan siapa yang dimakamkan di sana. “Bahwa (benar) di situ ada makam keturunan sekian-sekian, sudah ada namanya, tapi apakah itu betul, itu yang sering kita tidak tahu kebenarannya.”

Figur Februari Web 2

Berkah dari Pengabdian

MRy Yososumoatmojo pernah beberapa kali mendirikan kantor konsultan arsitektur. Namun, setelah ia mengabdi sebagai Abdi Dalem penuh di keraton dari Senin hingga Sabtu, ia memutuskan untuk menjadi konsultan lepas. 

Pekerjaannya di keraton ia yakini membawa berkah tersendiri yang tidak bisa ia dapatkan dari tempat lain. “Jadi benar, kalau kita melakukan sesuatu dengan benar itu akan mendapatkan berkah.”

Bapak dua anak yang tinggal di Mijilan ini mengaku tidak memiliki hobi khusus. Sebagian besar waktunya telah tersita untuk pekerjaan. Pada saat-saat luang, ia lebih memilih beristirahat di rumah. Namun, ia tetapi menyempatkan traveling untuk mengunjungi kedua anaknya yang telah dewasa. Yang sulung bekerja sebagai guru bahasa Jepang di Jakarta, sementara yang bungsu bekerja di Osaka, Jepang. 

Ia berharap warga masyarakat mendukung pelestarian cagar budaya. “Kita mencoba untuk melestarikan bangunan-bangunan dan aset-aset cagar budaya tujuannya kan untuk edukasi bagi generasi muda. Agar mereka tahu bahwa dulu leluhur mereka itu telah mewarisi suatu peninggalan bangunan dan budaya yang ada. Kalau itu sampai hilang, sampai rusak, kita akan kehilangan jejak sejarah dan tidak tahu. Jadi fungsi kita merawat, melestarikan adalah untuk edukasi bagian generasi mendatang. Kita juga senang kalau para generasi muda mau menghargai peninggalan leluhurnya.”