MB Hastono Dauzan, Juru Kunci Makam Kotagede: Mengabdi pada Keraton, Mendarmakan diri pada Masyarakat

Kabupaten Puralaya Kuthagede merupakan kawedanan yang bertanggung jawab atas perawatan makam raja-raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Saat ini area yang tersebut dikelola oleh 30 Abdi Dalem caos (operasional) dan 8 Abdi Dalem tepas (administrasi) yang memiliki tugas masing-masing. Abdi Dalem juru kunci bertugas menyiapkan semua ubarampe untuk ziarah, sementara Abdi Dalem duduk lumpur bertugas menggali liang lahat, dan Abdi Dalem dondong bertanggung jawab atas kebersihan seluruh halaman area masjid, makam, serta sendang (kolam). Ada pula Abdi Dalem rois yang memimpin acara keagamaan. 

Mereka semua berkelompok dalam enam regu yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengirid. Jadwal kerja mereka diatur secara bergiliran sehingga seluruh kawasan Puralaya selalu terjaga kebersihannya. 

Dauzan Supriyatno yang bertempat tinggal di belakang kompleks makam mulai magang sebagai sebagai Abdi Dalem kompleks puralaya ini pada 2007, setelah sebelumnya bekerja sebagai perajin kriya logam. Krisis ekonomi pada awal 2000-an mengakibatkan banyak usaha kerajinan di Kotagede dan sekitarnya gulung tikar. Untuk memenuhi kebutuhan dapur, ia menjadi juru parkir di halaman Masjid Kotagede. Di sini, ia menyaksikan keseharian Abdi Dalem lebih lekat. “Mulailah ada ketertarikan untuk menjadi Abdi Dalem,” kisahnya. Suatu ketika, para Abdi Dalem itu mendirikan koperasi pegawai. Dauzan dipercaya menjadi pengurus berhubung ia pernah bersekolah di SMEA Jurusan Akuntansi. “Parkir saya tinggalkan, lalu mengurusi koperasi,” lanjutnya. 

Gempa besar melanda Yogyakarta pada 2006, menyebabkan beberapa Abdi Dalem meninggal dunia. “Di sini kekurangan Abdi Dalem, terutama Abdi Dalem rois. Lalu saya ditanya, mau jadi Abdi Dalem atau tidak. Saya sudah telanjur di sini, sudah ada keterikatan dan rasa nyaman.” Dauzan pun mengiyakan. 

Meski sewaktu magang Dauzan ditugaskan untuk mengisi kekosongan rois, ia diangkat pada 2017 sebagai juru kunci. “Kalau rois-nya sedang tidak ada, saya bisa mengisi kekosongan rois, tapi saya bukan rois karena nama (sebagai Abdi Dalem) saya Hastono, kalau rois kan namanya Muhammad.” Memulai dari pangkat jajar, saat ini ia berpangkat bekel anom.

Figur M Aret Web 2

Terinspirasi Panembahan Senopati

Dauzan mengamati bahwa Abdi Dalem Kotagede tetap bugar dan aktif hingga usia senja. Ia pun bertanya apa rahasia mereka. Mereka menerangkan bahwa pengabdian mendatangkan ketenangan. “Bukan uang dari keraton itu yang bertuah, namun ajaran dan pengetahuan dari keraton yang membuat kita tenteram,” simpul Dauzan. 

Para Abdi Dalem sepuh tersebut mendorong Dauzan untuk bergabung dan merasakan sendiri kenyamanan itu. “Ternyata itu memang benar. Setelah mulai ngayahi (bertugas) rasa syukur di sini itu tinggi. Dahulu saya kerja sampai Bali, uangnya memang banyak, tapi di sini bisa mengubah prinsip bahwa angka itu tidak ada gunanya. Bukan angka yang menentukan kebahagiaan kita.”

Namun, motivasi terbesar terbit setelah ia membaca biografi Panembahan Senopati. “Ikhtiar yang keras akan membawa hasil yang maksimal. Itu saya dapat dari Kanjeng Panembahan Senopati. Panembahan Senopati itu bukan anak seorang raja. Karena usaha beliau, tirakat beliau, doa beliau, dia bisa menjadi raja dan menurunkan raja-raja sampai sekarang. Itu pria sukses.”

Memelihara Tanah Pusaka

Setiap Abdi Dalem di Puralaya Kotagede memiliki tugas pribadi, yaitu menyapu kawasan yang sudah ditentukan. Istilahnya tanah sapon. Selain itu, mereka juga mendapatkan tugas dari Sinuwun yang disebut tugas patuh. “Setiap Senin, Kamis, Jumat itu kami memiliki jadwal. Kalau hari Senin dan Kamis kami tebah, membersihkan areal makam dalam. Kamis itu tebah atas, membersihkan bunga. Jumat kami nyekar,” jelas Dauzan. Setiap pelaksanaan tugas selalu didahului dengan pembacaan zikir.

Ada pula tugas caos setiap enam hari sekali selama 24 jam serta tugas yang terkait dengan hari-hari besar keagamaan, seperti peringatan Isra Mikraj, Maulud Nabi, Tahun Baru Hijriah, malam pitulas, dan malam selikur. Dua yang terakhir mengacu pada malam ke-17 dan ke-21 bulan Ramadan. 

Selain itu, ada satu kegiatan khas yang hanya diadakan di kawasan ini, yaitu tahlilan untuk memperingati wafatnya Panembahan Senopati setiap 35 hari sekali. “Itu malam Jumat Pon. Itu juga wajib dijalankan oleh seluruh Abdi Dalem,” jelas MB Hastono Dauzan. Acara ini dilaksanakan setelah salat isya di area makam dan diikuti oleh ratusan warga dan tamu.  

Satu kegiatan tahunan yang penting di kompleks ini adalah nyadran atau kuthomoro di bulan Ruwah (Syakban). Keluarga keraton beserta warga melakukan takziah dan mendoakan leluhur yang telah wafat, biasanya diikuti dengan pembersihan dan perawatan makam, serta tradisi pembuatan apem, nasi gurih, ketan, dan kolak. “Kalau nyadran nunggu kuthomoro (saat) Sinuwun dhawuh untuk melaksanakan nyadran dan mengirim ubarampe untuk nyadranan itu. Jadi misalnya, kuthomoro tanggal 14, menunaikannya tanggal 15,” rincinya. 

Bagi MB (Mas Bekel) Hastono Dauzan, kompleks pemakaman bersejarah ini tidak memiliki kesan mistis atau angker. “Setiap menjelang magrib, saya harus menyalakan lampu minyak yang di dalam pemakaman. Saya santai saja.” 

Ia juga menceritakan bahwa banyak orang berziarah ke sana mengatakan bahwa kompleks tersebut tidak menakutkan. “Mereka nyaman-nyaman saja.” Bahkan, ia menambahkan, hawanya membuat mengantuk.

Perubahan Positif

MB Hastono Dauzan mengalami perubahan diri yang cukup drastis setelah menjadi Abdi Dalem. “Saya masuk jadi Abdi Dalem itu di usia muda, masih berapi-apinya, tapi harus menjadi Abdi Dalem yang penuh aturan.” 

Ia mengaku, sewaktu remaja, ia bertingkah serampangan. “Dahulu saya di kampung itu terkenal sebagai orang yang werkudaranan, tidak bisa berbahasa halus, tapi setelah lima tahun jadi Abdi Dalem, saya (bisa) menjadi pembawa acara pernikahan. Sampai ibu saya saja kaget, loh kok anakku bisa,” kenangnya. 

Kemampuan membawakan acara itu ia dapatkan dari Abdi Dalem senior. Mereka memberinya bimbingan terkait bahasa dan tata krama. Tak pelak, Dauzan pun bangga karenanya. “Dahulunya nggak berani naik panggung, tapi sekarang santai-santai saja.” 

Figur M Aret Web 3

Pengabdian yang Membawa Hikmah

MB Dauzan Hastono mengungkapkan banyak berkah ia dapatkan dari pengabdiannya. Ia tak menampik tiga bulan pertama menjadi masa transisi yang tidak mudah. Pendapatan yang turun membuat keuangannya sempat goyah, “Tapi itu tidak berlangsung lama, setelah tiga bulan masuk di sini, sudah biasa kembali, sudah bisa ngikuti ritmenya yang di sini.”

Meneladani perjuangan Panembahan Senopati, ia percaya usaha yang maksimal pasti membuahkan hasil maksimal, sesuai porsi rezeki yang sudah digariskan. Ia pun kreatif menangkap peluang apa pun untuk mencari nafkah. “Kalau pas nggak jaga, saya cari serabutan di luar. Kemarin waktu booming sepeda saya membuka jasa reparasi sepeda dan jual-beli sepeda. Jadi lihat pasar saja, apa yang baru on itu kita masuk.”

Ia juga membantu menjalankan modiste yang dikelola istrinya, mulai dari memasang kancing hingga memasarkan usaha tersebut pada orang-orang yang ia temui. 

Keadaan apa pun ia sikapi dengan rasa syukur. “Kita sering nunggu punya mobil untuk bisa bersyukur. Sebenarnya kita cuma butuh satu piring untuk bertahan hidup,” tuturnya bijak. 

MB Hastono Dauzan mengalami masa muda yang berat. Ia terpaksa berhenti sekolah saat duduk di kelas 2 SMEA karena ayahnya terserang stroke. Keuangan keluarga yang ambruk membuatnya harus bekerja. Padahal nilai-nilainya terhitung baik dan ia sudah lolos dalam ujian masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Pengabdian pada keraton mengajarinya untuk ikhkas menerima lika-liku perjalanan hidup. Namun, di sisi lain, ia juga bertekad adalah hal serupa tidak terjadi pada anak-anaknya. 

Nampaknya harapan tersebut mewujud. Kini ia hidup nyaman bersama istri dan kedua anak laki-lakinya. Mereka sering memancing atau bersepeda bersama, bahkan sampai luar kota. “Dan kita pasti mampir ke tempat seperti ini, makam-makam seperti ini (untuk) ziarah.”  

Anak sulungnya sudah hampir menamatkan pendidikannya di SMA Negeri di Banguntapan, sementara anak keduanya masih duduk di kelas enam.  

“Berkah dari ngabdi saya bisa (menyekolahkan anak). Kalau dahulu tidak terpikir saya bisa menyekolahkan anak sampai ke situ nggak terpikir,” ungkapnya. 

Keduanya mendapat beasiswa dari dana keistimewaan lewat keraton, “(Uang) ini nggak akan saya ambil dan sampai sekarang masih utuh. Saya bilang kepada anak saya besok kamu yang menyekolahkan dari keraton.”

Hikmah lain yang ia dapatkan adalah rasa hormat dari masyarakat sekitar. Penghormatan itu membuat MB Hastono Dauzan terdorong untuk berbuat lebih. “Untuk kampung saya bisa berbuat apa? Sumbangan saya apa? Kalau saya cuma sebagai patehan, cuma masak air itu rasanya tidak sepadan dengan penghormatan mereka kepada saya. Saya harus mendarmakan yang lebih, yang orang-orang nggak bisa.” Ia pun menegaskan kepada istrinya bahwa ia tidak akan menerima imbalan atas jasanya membawakan acara.  

Bila ada warga yang memiliki hajat dan membutuhkan jasanya, ia membaktikan diri dengan senang hati tanpa memungut bayaran “Karena saya tidak bisa menyumbang materi, saya menyumbang dengan itu.”  

MB Hastono Dauzan berharap Keraton Yogyakarta dapat terus menaungi masyarakat Yogyakarta agar tradisi dan budaya kejawen tidak hilang. “Karena sekarang banyak orang Jawa yang tidak bahasa Jawa, orang Jawa nggak bisa pakai jarik, orang Jawa malu pakai surjan.” Ia juga mengangankan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Keraton Yogyakarta tersebar luas karena ajaran-ajaran memiliki keistimewaan.