Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa
- 07-08-2017
Ada banyak macam upacara adat di Jawa. Sebagian besar lazim dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun terkadang kita masyarakat masih merasa asing dan tidak begitu paham dengan makna dan proses acaranya sendiri, serta apa saja manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia Jawa adalah produk peradaban simbolis, yaitu makhluk yang berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktivitas dengan menggunakan simbol-simbol yang diberi makna. Maka, makna dan simbol-simbol tersebut memungkinkan manusia untuk melanjutkan tindakan dan interaksi sesama mereka. Kemudian makna dan simbol-simbol tersebut diinterpretasikan melalui proses berpikir yang dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi lainnya sehingga menjadi sebuah pola kebiasaan dalam keseharian.
Pola-pola ke kebiasaan inilah yang akhirnya membentuk sebuah tradisi yang sarat dengan nilai-nilai luhur kehidupan. Utamanya adalah interaksi manusia dengan Tuhan dan sesamanya dalam memaknai tiga fase kehidupan yang paling penting, yaitu prosesi kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Masyarakat Jawa, dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dari nenek moyangnya. Tradisi yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tersebut diwariskan secara turun temurun oleh tiap generasi ke generasi berikutnya, dengan keraton sebagai pusat pedoman-nya, baik di Yogyakarta maupun Surakarta. Di Keraton Yogyakarta sendiri, berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi sebuah acara-acara khusus yang seringkali dikenal banyak orang dengan istilah upacara tradisi. Upacara tradisi sendiri adalah upacara yang penuh dengan makna simbolik yang bisa mencerminkan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan oleh masyarakat. Baik masyarakat di dalam keraton maupun masyarakat Jawa secara luas. Namun, biasanya upacara tradisi yang paling sering kita jumpai adalah yang berkaitan dengan upacara daur hidup seseorang. Upacara daur hidup adalah bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari penghayatan manusia terkait dengan tiga fase penting kehidupannya. Kelahiran, perkawinan, dan kematian. Upacara tradisi dari proses kehamilan sampai dengan kematian dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya masa kehamilan itu sendiri, kelahiran, masa anak-anak, remaja, perkawinan, dan kematian.
Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai ditinggalkan atau dikurangi kelengkapannya terkait dengan faktor ekonomi ataupun kepraktisan. Karena memang sebuah proses upacara tradisi selain sarat dengan komitmen dan keteguhan hati untuk melaksanakannya, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan penyelenggaran. Satu hal yang patut disyukuri bahwa proses yang dilakukan di dalam keraton masih memegang teguh prinsip-prinsip detail upacaranya, dalam pengertian diselenggarakan secara lengkap dan resmi.
Upacara Daur Hidup dalam Fase Kehamilan - Persalinan
Upacara Mitoni
Upacara daur hidup sendiri, dilaksanakan sejak ada tanda-tanda kehamilan sampai manusia meninggal dunia dengan jangka waktu tertentu. Di dalam masa kehamilan sendiri ada berbagai jenis upacara tradisi yang harus dilakukan, yaitu mulai dari upacara Ngabor-abori. Upacara ini adalah sebuah peringatan atau Selamatan bulan pertama yang biasanya dilakukan dengan wujud membuat jenang sungsum.
Setelah itu berturut-turut di bulan berikutnya masih terdapat upacara tradisi lain seperti Ngloroni (dua bulanan), Neloni (tiga bulanan), Ngapati (empat bulanan), Nglimani (lima bulanan), Mitoni (tujuh bulanan), Ngwoloni (delapan bulanan), dan Nyangani (sembilan bulanan), dimana masing-masing upacara membutuhkan persiapan dan ubarampe (kelengkapan upacara) yang berbeda-beda.
Selanjutnya adalah masa persalinan. Upacara tradisi untuk menyongsong masa kelahiran bayi ini juga diselenggarakan ke dalam beberapa tahapan. Mulai dari Mendhem ari-ari, yaitu proses perawatan dan penguburan ari-ari bayi. Brokohan, yaitu selamatan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus pemberitahuan kepada sanak keluarga dan para tetangga bahwa bayi telah lahir dan selamat. Sepasaran, yaitu upacara untuk memperingati bahwa bayi yang lahir telah berusia 5 hari (sepasar). Puputan, yaitu selamatan saat tali pusar bayi sudah putus (usia antara 10 hari sampai dua minggu). Terakhir, Selapanan, yaitu selamatan saat usia bayi 35 hari.
Upacara Daur Hidup dalam Fase Pertumbuhan - Perkawinan
Setelah itu apabila sang anak sudah mulai mengalami pertumbuhan menjadi dewasa, upacara tradisi juga masih dilakukan. Dimulai dari Tedhak Siten, yaitu upacara selamatan pada saat anak pertama kali menginjakkan kakinya ke tanah (usia sekitar 7-9 bulan). Nyapih, selamatan saat sang Ibu berhenti menyusui anaknya diganti dengan disapih. Neton, selamatan yang diadakan bertepatan dengan hari dan pasaran anak tersebut. Gaulan, selamatan yang dilakukan saat sang anak tumbuh gigi untuk pertama kali. Nyetahuni, selamatan saat sang anak berusia tepat 1 tahun. Supitan, yaitu upacara khitanan untuk anak laki-laki. Tetesan, upacara serupa untuk anak perempuan, sebagai penanda peralihan masa kanak-kanak menuju masa remaja. Tarapan, upacara untuk anak perempuan yang menstruasi untuk pertama kali. Semua upacara ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan bagi sang anak dalam mengarungi berbagai dinamika hidup nantinya. Terutama saat mengalami tumbuh kembang di dalam kehidupan.
Upacara Tetesan
Setelah sang anak tumbuh dewasa dan menemukan jodohnya, mereka akan menjalani perkawinan. Upacara tradisi perkawinan Jawa menjadi salah satu upacara tradisi yang hingga kini masih banyak dilestarikan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa masa perkawinan adalah masa terpenting dalam siklus hidup seseorang karena fase ini adalah pilihannya sendiri yang lahir melalui proses pendewasaan dan kematangan, sedangkan proses kelahiran dan kematian adalah suatu hal yang sudah bisa dipastikan tanpa kehendak manusia. Di dalam fase ini jugalah, seseorang benar-benar mengalami peralihan dari tahap perkembangan remaja menjadi berkeluarga. Dalam tradisi Jawa, fase perkawinan mengenal tiga tahapan besar. Tahap pra-nikah, tahap pernikahan, dan tahap paska-nikah.
Upacara Daur Hidup dalam Fase Kematian
Fase terakhir adalah kematian, yaitu proses meninggalnya manusia setelah melalui banyak tahapan dalam kehidupan dan mengalami tugas-tugas perkembangan sedari lahir, masa kanak-kanak, masa remaja, dewasa, hingga tua. Dalam hal ini, upacara tradisi Jawa untuk memperingati kematian dapat diurutkan ke dalam berbagai prosesi. Lelayu (memberitakan kematian), Ngrukti Laya (mengurus jenazah dari memandikan, memberangkatkan jenazah, kegiatan sepanjang menuju makam, sampai doa di pemakaman), termasuk urusan administrasi yang berkaitan dengan kematian. Lalu ada juga upacara ritual kematian yang meliputi Selametan Surtanah atau Bedhah Bumi (upacara mempersiapkan liang kubur), Telung dina (selamatan hari ketiga setelah kematian), Pitung dina (selamatan hari ketujuh setelah kematian), Patang puluh dina (selamatan hari keempat puluh setelah kematian), Satus dina (selamatan seratus harian setelah kematian), Pendhak pisan (selamatan satu tahun sejak kematian), Pendhak pindho (selamatan dua tahun sejak kematian), dan Sewu dina (selamatan seribu hari setelah kematian).
Penting bagi generasi saat ini untuk kembali mempelajari dan melestarikan upacara-upacara tradisi yang berkaitan dengan daur hidup manusia. Cara terbaik agar warisan budaya yang sudah bagus ini tetap terjaga adalah dengan menerapkannya. Dengan demikian maka nilai-nilai luhur budaya Jawa tetap mampu memberi makna bagi setiap manusia dalam kehidupannya, sehingga manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya, tidak akan mudah kehilangan simbol-simbol warisan tradisi dari nenek moyangnya dalam berinteraksi dan memaknai hidup. Sebab dengan simbol-simbol itulah, di mana perwujudannya dapat berupa selamatan ataupun doa-doa, mampu menjadi perantara manusia dengan leluhur dan Tuhannya.
Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat yang serba modern saat ini, manusia dituntut untuk hidup serba cepat, praktis, dan larut pada kesibukan masing-masing sehingga semua tindakannya akan selalu mengarah pada sifat individualis yang sangat tinggi. Hal ini dirasa dapat membuat solidaritas dan fungsi sosialnya manusia makin memudar. Pelestarian upacara-upacara tradisi yang bersifat kolektif ini diharapkan mampu menjadi simpul sosial dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat sehingga harmoni antar manusia dapat terus terjaga.