Jalannya Upacara Garebeg
- 13-08-2019
Garebeg merupakan salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta yang bisa disaksikan dan diikuti oleh masyarakat umum. Dalam satu tahun Jawa, keraton menggelar tiga upacara Garebeg; Garebeg Sawal pada tanggal 1 Sawal (Idul Fitri), Garebeg Besar pada tanggal 10 Besar (Idul Adha), dan Garebeg Mulud pada tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi). Pada ketiga Garebeg tersebut, keraton mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah Sultan kepada rakyat. Gunungan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat yang hadir.
Garebeg pada Masa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia
Sebelum berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Yogyakarta merupakan kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan sendiri. Garebeg menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan tersebut. Saat Garebeg berlangsung, para bupati dan pejabat dari seluruh wilayah pemerintahan Yogyakarta, baik dari wilayah negaragung (wilayah inti kerajaan) maupun mancanegara (daerah-daerah di luar wilayah inti kerajaan), hadir ke kutanegara (ibu kota kerajaan) untuk menghadap Sultan dan menyerahkan upeti.
Keraton Yogyakarta menyediakan tempat bagi rombongan pejabat dari berbagai daerah tersebut di Bangsal Pekapalan, berupa deretan bangunan berbentuk pendapa yang mengelilingi Alun-Alun Utara. Gunungan Kakung yang dibagikan dibuat sebanyak jumlah daerah yang hadir.
Sebelum masa penjajahan Jepang (1942-1945), Pisowanan Garebeg masih digelar. Pisowanan dimulai dengan hadirnya Sultan di Bangsal Kencana, Plataran Kedhaton. Sultan kemudian berdiri dari dhampar kencana (singgasana), dan berjalan menuju Sitihinggil Lor, ginarebeg (diiringi) para pangeran dan bupati nayaka. Di Sitihinggil Lor, Sultan kemudian duduk di Bangsal Manguntur Tangkil, menghadap ke utara. Setelah itu, barulah gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe dengan diiringi para bupati.
Saat ini, Pisowanan Garebeg hanya dilakukan saat Garebeg Mulud tahun Dal. Prosesi tersebut dilaksanakan di Bangsal Kencana.
Upacara Garebeg Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Yogyakarta mengikuti dan menyesuaikan diri dengan hukum dan sistem pemerintahan yang baru. Sistem upeti yang dibayarkan tiap Garebeg ditiadakan. Meski demikian, Garebeg dipertahankan keberadaannya. Keraton tetap mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah raja pada rakyat. Namun karena berbagai kesulitan politik dan ekonomi yang menerpa, Garebeg kehilangan gaungnya.
Baru selepas tahun 1970, Garebeg mulai dikenal kembali sejalan dengan pengembangan wisata yang marak saat itu. Gunungan yang diarak ke Masjid Gedhe kembali dikawal oleh bregada prajurit yang baru saja dibentuk kembali setelah dibubarkan pada masa penjajahan Jepang. Keberadaan Garebeg berhasil menarik sejumlah wisatawan asing dalam jumlah yang berarti.
Jalannya upacara Garebeg tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Terjadi beberapa perubahan terkait dengan jumlah gunungan yang dikeluarkan dan kemana gunungan tersebut dibagikan. Misalnya pada tahun 2004, Keraton Yogyakarta hanya mengeluarkan satu Gunungan Kakung pada Garebeg Sawal. Sedang pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar, keraton mengeluarkan lima macam gunungan.
Upacara Garebeg Setelah Undang-Undang Keistimewaan DIY
Setelah UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta muncul tahun 2012, Garebeg Sawal, Garebeg Besar, dan Garebeg Mulud berjalan dengan tata cara yang sama. Keraton mengeluarkan lima macam gunungan pada tiap Garebeg. Gunungan atau Pareden tersebut dibawa menuju Masjid Gedhe, Kepatihan, dan Pura Pakualaman. Selain Hajad Dalem Pareden, terdapat dua acara lain yang dapat disaksikan oleh wisatawan, yaitu Gladhiresik Prajurit dan Numplak Wajik.
Gladhiresik Prajurit
Bregada Prajurit melakukan gladhi resik
Gladhiresik Prajurit biasa dilaksanakan sore hari pada hari Minggu terdekat sebelum Garebeg berlangsung. Gladhiresik ini adalah latihan terakhir sebelum para prajurit mengawal gunungan saat Garebeg berlangsung. Kesepuluh Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta akan berbaris sambil memainkan gendhing keprajuritan masing-masing dari Pracimasana (di sisi barat Pagelaran), melalui Jalan Rotowijayan, berbelok memasuki Plataran Kamandhungan Lor, naik ke Sitihinggil Lor, lalu lurus ke Alun-Alun Utara melewati Bangsal Pagelaran. Di Alun-Alun utara mereka berbaris dan berdiri mengapit jalan antara Pagelaran dan Ringin Kurung (Kiai Dewatadaru dan Kiai Wijayadaru). Setelah itu, bregada prajurit kembali ke Pracimasana. Selama gladhiresik berlangsung, Prajurit Keraton Yogyakarta belum mengenakan seragam kesatuannya. Seluruh kesatuan mengenakan busana pranakan.
Numplak Wajik
Prosesi Numplak Wajik mengawali proses merangkai gunungan
Numplak Wajik dilaksanakan tiga hari sebelum Garebeg di Panti Pareden, Plataran Kemagangan. Upacara ini menandai dimulainya proses merangkai gunungan. Numplak Wajik dilaksanakan sore hari selepas waktu Ashar, sekitar pukul 15.30 WIB.
Istilah Numplak Wajik mengacu pada inti kegiatan upacara tersebut. Sebakul wajik, kue dari ketan yang direbus dengan gula merah dan santan kelapa, ditumplak (dituang) untuk dijadikan pondasi Gunungan Wadon. Gejog lesung, musik dari bunyi lesung yang dipukul dengan alu, dimainkan selama upacara berlangsung. Saat upacara usai, lulur berwarna kuning pucat yang terbuat dari dlingo dan bengle dibagikan kepada Abdi Dalem maupun pengunjung yang hadir. Gejog lesung dan lulur dlingo bengle tersebut dipercaya sebagai penolak bala.
Hajad Dalem Pareden
Bregada Prajurit keluar dari kedhaton.
Keraton Yogyakarta mengeluarkan tiga Gunungan Kakung, satu Gunungan Estri, satu Gunungan Darat, satu Gunungan Gepak, dan satu Gunungan Pawuhan pada tiap Garebeg. Pagi-pagi sekali, semua gunungan tersebut sudah disiapkan di emper Bangsal Pancaniti, Plataran Kamandhungan Lor atau yang biasa dikenal Plataran Keben.
Sekitar pukul 08.00, delapan Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta keluar dari Pracimasana dengan urutan Bregada Wirabraja, Bregada Dhaeng, Bregada Patangpuluh, Bregada Jagakarya, Bregada Prawiratama, Bregada Nyutra, dan Bregada Ketanggung. Mereka mengambil rute melewati Jalan Rotowijayan ke selatan menuju Plataran Kemagangan, lalu ke utara memasuki Plataran Kedhaton, terus melewati Plataran Srimanganti, untuk selanjutnya ke Plataran Kamandhungan Lor, dan naik ke Sitihinggil Lor. Di Plataran Kamandhungan Lor telah bersiap dua bregada prajurit keraton yang bertugas mengawal gunungan ke Masjid Gedhe dan Kepatihan, yaitu Bregada Surakarsa dan Bregada Bugis. Selain kedua bregada tersebut, hadir pula dua bregada dari Pakualaman, yaitu Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir. Dari sana, gunungan digotong oleh narakarya (tenaga angkut) yang mendapat tugas secara bergilir dari daerah-daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Narakarya bersiap di Bangsal Pancaniti.
Gunungan tersebut digotong melewati Sitihinggil Lor, turun ke Pagelaran, lalu keluar menuju Alun-Alun Utara. Delapan bregada prajurit muncul lebih dahulu dengan urutan yang sama ketika keluar dari Pracimasana. Satu persatu prajurit dari kedelapan bregada tersebut mengambil posisi mengapit jalan yang membelah Alun-Alun Utara. Setelah seluruh prajurit menempati posisi masing-masing dan diinspeksi oleh Manggalayuda (Panglima), barulah gunungan dan rombongan yang menyertainya dibawa keluar.
Saat gunungan memasuki alun-alun, prajurit keraton memberikan penghormatan dengan tembakan salvo. Prosesi pertama dikawal oleh Bregada Surakarsa. Prosesi tersebut membawa satu Gunungan Kakung, Gunungan Estri, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Pawuhan. Di depan gunungan tersebut dibawa satu buah picisan dan dua buah songgom. Picisan adalah koin-koin timah yang dirangkai menjadi seperti bunga, sedang songgom adalah rangkaian janur kuning. Keduanya berfungsi sebagai hiasan.
Gunungan digotong melalui alun-alun.
Rombongan pertama yang menuju Masjid Gedhe berbelok ke barat sebelum mencapai Ringin Kurung di tengah alun-alun. Di halaman Masjid Gedhe, gunungan diserahkan kepada penghulu masjid. Gunungan-gunungan yang diletakkan di halaman masjid tersebut kemudian didoakan. Setelah doa selesai, barulah masyarakat diperkenankan mengambil bagian-bagian gunungan yang ada.
Prosesi kedua membawa satu Gunungan Kakung menuju Pura Pakualam. Setelah keluar dari Pagelaran, Prosesi yang dikawal oleh Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir tersebut berjalan lurus ke utara lalu berbelok ke timur di perempatan titik nol kilometer.
Prosesi ketiga membawa satu Gunungan Kakung menuju Kepatihan. Prosesi yang dikawal oleh Bregada Bugis ini berjalan terus ke utara menuju Kepatihan yang terletak di sisi timur Jalan Malioboro.
Gunungan sampai di pelataran Masjid Gedhe.
Setelah semua keluar dari keraton, kedelapan bregada yang berjaga di alun-alun kembali berbaris memasuki Pagelaran, kemudian naik ke Sitihinggil Lor, masuk ke Plataran Kamandhungan Lor, berbelok barat ke Jalan Rotowijayan, lalu kembali ke Pracimasana. Dengan dibagikannya seluruh gunungan kepada masyarakat,maka berakhirlah upacara Garebeg.
Tata cara ini memiliki perkecualian pada Garebeg Mulud Dal yang terjadi delapan tahun sekali. Pada saat itu, keraton mengeluarkan satu gunungan tambahan, yaitu Gunungan Bromo. Gunungan Bromo diangkut bersama gunungan yang lain ke halaman Masjid Gedhe. Setelah didoakan, Gunungan Bromo dibawa kembali masuk keraton dan dibagikan pada kerabat Sultan dan bupati nayaka di depan Gedhong Jene, Plataran Kedhaton.