Tradisi Mendhem Ari-ari dan Brokohan di Keraton Yogyakarta
- 03-03-2024
Sesaat setelah terjadi kelahiran di lingkungan Keraton Yogyakarta, tradisi mendhem ari-ari dan brokohan dilangsungkan. Kedua tradisi ini biasa dilakukan tepat pada hari kelahiran. Namun, jika kondisi kurang memungkinkan, seperti bayi lahir terlalu malam, maka boleh dilakukan esok hari.
Tradisi Mendhem Ari-ari
Ari-ari atau plasenta merupakan organ penting yang melindungi sekaligus memberi nutrisi janin selama ia berkembang di dalam rahim. Selepas proses kelahiran, ari-ari tetap dianggap istimewa oleh masyarakat Jawa. Karenanya, mereka merasa perlu memperlakukan dan merawat ari-ari dengan baik meskipun hanya sekali dan ini dilakoni melalui prosesi mendhem (penguburan) ari-ari.
Yang bertugas untuk melakukan prosesi mendhem ari-ari adalah ayah sang bayi. Saat menjalankan prosesi, ia harus mengenakan busana padintenan yang rapi, lengkap dengan nyamping dan blangkon gagrak Yogyakarta.
Ari-ari yang telah dibersihkan hingga tidak mengeluarkan darah dimasukkan ke dalam sebuah kendil, periuk kecil yang terbuat dari tanah liat. Selain ari-ari, turut dimasukkan berbagai macam kelengkapan, seperti kain mori, garam, jarum, benang, kertas bertuliskan huruf Jawa-Latin-Arab, dan kembang sritaman. Pada versi lain juga ditambahkan minyak wangi, kembang boreh, kunyit, kemiri, ganthal, uang logam, lawe, beras, gereh pethek, dan daun keladi.
Berbagai macam kelengkapan yang turut dipendam mengandung simbol dan harapan agar kelak sang anak dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan baik. Garam, kemiri, beras, dan gereh pethek menyiratkan bahwa setiap manusia perlu memenuhi kebutuhan pangan. Benang dan jarum melambangkan kebutuhan sandang. Kertas bertuliskan berbagai huruf menyimbolkan pentingnya ilmu dalam mengarungi kehidupan. Kembang boreh dan kunyit mencerminkan kebutuhan penawar atau obat. Uang logam menjadi pelengkap, agar kelak sang anak pandai mencari uang sehingga dapat mencukupi kebutuhan lain yang belum terpenuhi.
Setelah semua kelengkapan dimasukkan, kendil tersebut di-pendhem atau ditanam di tanah sedalam lengan sang ayah. Di atas tanah pendhem-an dipasang lampu yang dinyalakan setiap malam selama 35 hari atau selapan.
Tradisi Brokohan
Pada hari yang sama dengan prosesi mendhem ari-ari juga dilangsungkan upacara brokohan, yaitu tradisi yang menjadi penanda dan pemberitahuan bahwa seorang perempuan telah melahirkan. Kata brokohan sendiri berasal dari bahasa Arab ‘barokah’ yang berarti berkah. Oleh karena itu, selain sebagai penanda kelahiran, brokohan merupakan ungkapan rasa syukur atas kehadiran anggota baru dalam keluarga dan harapan agar sang anak selalu dilimpahi keberkahan.
Brokohan termasuk upacara alit atau kecil. Sesaji yang disiapkan untuk tradisi brokohan tidak banyak dan bersifat sederhana, yaitu terdiri atas:
- Jenang tujuh macam atau jenang neton, yang meliputi jenang putih, jenang merah, jenang baro-baro, jenang blowok, jenang palang, jenang sliring, dan jenang merah yang atasnya diberi sedikit jenang putih.Jenang berwarna putih adalah simbol ibu, sedangkan jenang merah (diberi gula jawa) adalah simbol bapak. Perpaduan jenang putih dan merah dalam sebuah piring menyimbolkan orang tua. Tujuh jenang neton yang dibuat di hari kelahiran melambangkan harapan akan rezeki dan kebahagiaan yang berlimpah.
- Dhawet, minuman berbahan tepung pati yang dicetak dengan saringan khusus hingga membentuk buliran-buliran memanjang. Sebagai pelengkap, ditambahkan santan, juruh (cairan gula merah), serta pengharum berupa daun pandan.
- Telur ayam kampung mentah.
- Buah kelapa yang dibelah dua.
- Gula jawa.
- Kembang sritaman yang dibungkus dengan daun pisang.
Setelah didoakan, jenang tujuh macam yang telah disajikan kemudian boleh disantap dan dibagikan kepada orang-orang di dalam lingkungan keraton. Sesaji lainnya dibagikan kepada para kerabat atau tetangga dekat di luar tembok keraton yang diusahakan mewakili empat penjuru (keblat papat): Timur, Barat, Selatan, dan Utara.
Sesaji brokohan yang disiapkan untuk dibagikan memiliki jumlah tertentu berdasarkan hitungan Jawa. Angka tersebut didapat dari hasil penjumlahan ‘nilai’ hari lahir dan ‘nilai’ pasaran: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi. Misal, sang bayi lahir pada hari Senin Wage. Hari Senin bernilai 4 dan Wage bernilai 4, sehingga hasil penjumlahannya adalah 8. Maka, hanya akan disiapkan 8 set atau rangkaian sesaji brokohan untuk dibagikan kepada tetangga maupun kerabat.
Masing-masing rangkaian sesaji brokohan yang dibagikan terdiri atas semangkok atau seplastik dhawet, 1 buah telur ayam kampung mentah, ¼ kelapa (boleh masih berbatok maupun tidak), selirang (separuh tangkep) gula jawa, dan sebungkus kembang sritaman. Sembari mengantarkan sesaji brokohan, para utusan akan memberitahukan perihal kelahiran bayi kepada tuan rumah.
Daftar Pustaka
Gusti Kanjeng Ratu Anom. 2000. Petunjuk tentang Susunan dan Kelengkapan Sesaji dalam Upacara Adat di Lingkungan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat. Yogyakarta: Kalurahan Putri Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Murdijati Gardjito, dkk. 2017. Kuliner Yogyakarta – Pantas dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yuwono Sri Suwito, dkk. 2016. Buku Adat dan Tradisi Upacara Daur Hidup – Edisi 2 Jilid. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wawancara dengan Nyi KRT Hamong Tejonegoro pada Maret 2020
Wawancara dengan Nyi Mas Hamong Yuliana pada Maret 2020