Patehan, Tempat Minuman Keraton Yogyakarta Berasal
- 12-03-2018
Setiap hari pada pukul 06.00 dan 11.00 WIB, selalu tampak iring-iringan kecil dari lima orang Abdi Dalem Keparak (Abdi Dalem perempuan) di lingkungan Keraton Yogyakarta. Prosesi ini dimulai dari sebuah bangunan di sisi selatan Plataran Kedhaton Keraton Yogyakarta. Tempat yang dikenal sebagai Gedhong Patehan itu merupakan tempat Abdi Dalem Patehan bertugas menyiapkan minuman bagi keperluan keraton.
Saat ini Patehan berada di bawah naungan Kawedanan Purayakara, lembaga resmi yang bertugas menangani dan mengelola urusan kerumahtanggaan keraton. Meski menempati bangunan yang sama dengan museumnya, kegiatan di Patehan tidak terbuka untuk masyarakat umum. Wisatawan yang mengunjungi museum hanya bisa melihat sekilas kegiatan di Patehan dari sebuah pintu yang terbuka pada bagian belakang gedung.
Nama Patehan sendiri berasal dari kata “teh”, salah satu jenis minuman seduh. Sesuai maknanya, Patehan menjadi bagian keraton yang bertugas menyiapkan minuman, terutama teh, beserta seluruh perlengkapannya untuk kebutuhan Keraton Yogyakarta. Baik untuk upacara-upacara adat maupun untuk kebutuhan rutin sehari-hari.
Patehan termasuk bagian dari dapur istana. Pada masa silam, Patehan bertugas menyiapkan kebutuhan minuman yang sifatnya tidak terjadwal. Oleh karena itu Abdi Dalem Patehan harus siap sepanjang hari jika sewaktu-waktu sultan dan keluarga menghendaki. Saat ini, semenjak sultan dan keluarga tinggal di Keraton Kilen, peran ini sudah tidak dilakukan lagi.
Namun demikian, peniadaan peran tersebut tidak lalu mengubah waktu tugas para Abdi Dalem Patehan. Mereka beraktifitas mulai pukul 4.00 pagi dan tetap siaga sepanjang hari. Sesuai ketentuan, Abdi Dalem Patehan bertugas selama 24 jam tiap giliran jaga, mulai pukul 7.00 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya.
Terdapat sepasang sumur di dalam Patehan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan membuat minuman. Sumur Nyai Jalatunda di sisi barat dan sumur Kiai Jalatunda di sisi timur. Air dari sumur Nyai Jalatunda dipakai khusus untuk membuat minuman, sedangkan air dari Kiai Jalatunda digunakan untuk kegiatan mencuci.
Rutinitas Minum Teh Jam 6 Pagi dan 11 Siang
Agenda harian Patehan adalah menyiapkan rutinitas minum teh pukul 6.00 pagi dan 11.00 siang. Kelengkapan untuk tradisi inilah yang dibawa oleh iring-iringan Abdi Dalem Keparak setiap harinya. Rutinitas ini awalnya merupakan tradisi upacara minum teh harian yang dilakukan sultan-sultan terdahulu, namun mengalami sedikit perubahan pada era Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selain bertahta sebagai Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga pejabat nasional. Tugas yang diemban tersebut menyebabkan beliau lebih banyak menetap di Jakarta. Sejak saat itu terjadi pergeseran pada rutinitas minum teh untuk sultan. Penyajiannya tetap dilakukan setiap hari, namun minuman dibawa dan diletakkan di Gedhong Prabayeksa. Minuman didiamkan di sana sampai diambil kembali untuk diganti pada jadwal penyajian minum berikutnya.
Abdi Dalem mengambil air dari sumur Nyai Jalatunda
Proses Pembuatan Minuman Pukul 6.00 Pagi dan 11.00 Siang
Proses ini diawali dengan menyiapkan perapian dan menimba air dari sumur Nyai Jalatunda. Air tersebut kemudian dimasak dalam ceret khusus yang terbuat dari tembaga. Bahan tembaga dipilih karena dipercaya bisa menjadi penetral air sekaligus penolak bala.
Setelah matang, air tersebut dipakai sebagai penyeduh teh untuk dibuat dekokan. Dekokan teh adalah seduhan teh sangat kental yang nantinya diencerkan dengan air putih saat dihidangkan. Dekokan didiamkan selama setengah jam tanpa diaduk. Setelah siap, setengah dari dekokan dipindahkan ke sebuah teko khusus untuk raja. Separuh sisanya akan diberikan pada Abdi Dalem Keparak yang bertugas sebagai icip-icip atau pencicip. Jika masih ada tinggalan dari Keparak, kelebihan itu baru akan diminum oleh Abdi Dalem Patehan. Selama proses meracik minuman untuk sultan, Abdi Dalem yang bertugas diharuskan mengenakan samir.
Di samping membuat teh, Abdi Dalem Patehan menyiapkan pula segala perlengkapan dan minuman tambahan. Semua ini dibawa oleh para Abdi Dalem Keparak yang bertugas. Jumlahnya lima orang, disesuaikan dengan kebutuhan. Empat orang dari mereka akan membawa perlengkapan yang terdiri dari satu set rampadan (perlengkapan minum) teh, satu set rampadan kopi, sebuah teko untuk air panas, dan sebuah teko khusus air putih yang biasa disebut klemuk. Klemuk ini berisi air yang didiamkan selama satu malam. Satu orang yang tersisa membawa payung untuk melindungi klemuk.
Penyajian Minuman
Cara penyajian minuman di Patehan tidak sederhana. Masing-masing bahan memiliki takarannya sendiri. Ada juga cara-cara khas yang diberlakukan dengan tujuan tertentu. Misalnya, tidak mengaduk-aduk teh saat menyeduhnya agar kualitas rasa tidak berkurang. Bahan dasar minuman pun dipertahankan dari tempat asal yang sama seperti era sebelumnya.
Penggunaan kelengkapan minuman, seperti teko, cangkir, nampan, dan sendok juga memiliki aturan sendiri. Tidak boleh sekehendak hati.
Aturan yang kompleks ini sekilas memang tampak merepotkan. Namun semuanya memberi pembelajaran, bahwa minum teh tidak hanya sebatas melepas dahaga. Di pusat kebudayaan Jawa seperti Keraton Yogyakarta, menyiapkan dan menyajikan minuman merupakan sebuah prosesi. Di dalamnya terdapat seni, olah rasa, sarana legitimasi, juga pelestarian tradisi.