Langendriya, Opera Tari Gaya Yogyakarta
- 11-12-2019
Langendriya adalah salah satu genre drama tari gagasan KGPA Mangkubumi, putra Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877) yang pernah menjabat sebagai Lurah Pangeran serta Ajudan Gubernur Jenderal. Penyusunan drama tari opera Langendriya berawal dari tradisi macapatan di Dalem Mangkubumen atau yang sebelumnya dikenal sebagai Dalem Kadipaten. Macapatan, atau waosan macapat, atau pembacaan macapat, biasa dilakukan tiap bulan Pasa/Ramadhan sebagai pengganti kegiatan latihan menari yang dihentikan selama masa puasa.
Cikal Bakal Langendriya
Pada awalnya, larik-larik syair macapat hanya dinyanyikan oleh seorang saja. Namun salah seorang putra KGPA Mangkubumi, KPH Purwadiningrat, berinisiatif agar syair macapat dibawakan oleh dua orang atau lebih secara silih berganti sembari memerankan tokoh dari tembang (lagu) yang dibawakan. Tradisi ini kemudian dikenal sebagai mondrengan, yang secara harfiah berarti “banyak”.
Tradisi mondrengan kemudian dikembangkan lebih lanjut. KPH Purwadiningrat terus mengembangkan mondrengan dalam bimbingan ayahnya. Tembang macapat kemudian dilantunkan sembari melakukan gerakan tangan dan kepala seperti yang dilakukan oleh seorang penari, namun tetap dalam posisi duduk bersila. Selanjutnya muncul gagasan agar tradisi mondrengan diangkat dalam bentuk pementasan drama tari. KGPA Mangkubumi kemudian memperoleh izin mendapatkan sebuah salinan naskah Serat Damarwulan dari kakaknya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921).
Serat Damarwulan sebagai Sumber Cerita Langendriya
Serat Damarwulan ditulis oleh Carik R.Ng Selawinata tahun 1885. Serat Damarwulan dipilih agar cerita yang ditampilkan berbeda dengan Wayang Wong yang merupakan pusaka Keraton Yogyakarta, karena Wayang Wong mengambil cerita dari kisah Mahabharata atau Ramayana.
KPH Purwadiningrat kemudian menyusun Serat Damarwulan menjadi naskah drama dengan tujuh judul episode. Episode tersebut adalah Jumenengan Nata Dewi Kencanawungu, Pejahipun Ranggalawe, Gunjaran, Pejahipun Menak Jingga, Damarwulan Jumeneng Nata, Ratu Wandan Dateng Majapahit, dan Panji Wulung Dateng Majapahit. Tiap episode memerlukan waktu berjam-jam apabila dipentaskan sehingga umumnya Langendriya hanya dipertunjukkan dalam bentuk fragmen. Naskah turunan tersebut kemudian dikenal sebagai Pakem Mangkubumen, sumber cerita pertunjukan Langendriya gaya Yogyakarta.
Pertunjukan Langendriya
Kegiatan membaca macapat di Dalem Mangkubumen akhirnya menjadi seni pertunjukkan yang disebut dengan Langendriya. Keunikan Langendriya terletak pada ragam gerak tari yang dibawakan dalam posisi jengkeng, yakni merendahkan tubuh dengan menekuk lutut di mana posisi pupu mlumah atau paha terbuka dan jengku (lutut) tidak menapak lantai. Posisi jengkeng sengaja dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Wayang Wong Keraton Yogyakarta yang dibawakan secara berdiri.
Walau demikian, unsur-unsur Langendriya masih mengadopsi Wayang Wong Keraton Yogyakarta. Misalnya kehadiran pembaca cerita atau pemaos kandha, juga ditampilkannya pemukul keprak yang berperan memberi aba-aba kepada penari atau pemain gamelan.
Dialog dalam Langendriya menggunakan bentuk tembang macapat yang dibawakan sesuai dengan suasana dan karakter yang dimainkan. Tipe karakter dalam Langendriya banyak dipengaruhi tipe karakter dalam Wayang Wong. Sebagai perbandingan, Damarwulan dalam Langendriya serupa dengan Arjuna dalam Wayang Wong, sedang Ratu Ayu Kencanawungu serupa dengan Dewi Suprabawati.
KGPA Mangkubumi turut menunjuk salah satu putranya yang lain untuk menyempurnakan Langendriya. KRT Wiraguna ditugaskan untuk membuat desain tata busana, termasuk properti dan aksesoris. Agar tidak menyamai desain yang sudah ada di Kraton Yogyakarta, KRT Wiraguna mengusulkan perpaduan desain gaya Eropa dengan gaya Jawa. Hal ini nampak pada penari dengan baju tertutup. Penari putra banyak menggunakan desain topi Eropa juga mengenakan atribut slempang serta tanda pangkat. Sementara busana penari putri bentuk baju berlengan panjang dengan hiasan kepala seperti bulu-bulu dan jamang.
Langendriya pertama kali dipertunjukan di Dalem Mangkubumen. Pertunjukan tersebut banyak menarik minat para bangsawan dan kalangan umum. Sri Sultan Hamengku Buwono VII pun menaruh hati pada pertunjukan ini. Pada tahun 1907, Langendriya diboyong untuk dipentaskan di dalam benteng keraton untuk memeriahkan 40 hari resepsi pernikahan Putra Mahkota dengan Putri KGPA Mangkubumi. Pertunjukan digelar di Bangsal Kasatriyan. Selain untuk memeriahkan resepsi pernikahan, pertunjukan yang digelar di Bangsal Kasatriyan ini juga berfungsi sebagai nasihat pernikahan kepada mempelai melalui kisah yang disampaikan.
Sebagai kesenian yang lahir di lingkungan keluarga bangsawan, Langendriya mencerminkan pandangan dan sikap kehalusan bertingkah laku yang ideal dalam kehidupan sehari-hari. Karena disajikan dalam ramuan lakon, tari, dan dialog yang dinyanyikan, maka tak berlebihan jika Langendriya disebut sebagai seni drama tari opera pertama di Jawa.