Gendhing Sekaten
- 23-07-2020
Gendhing Sekaten merupakan gendhing-gendhing yang dilantunkan selama Hajad Dalem Sekaten; perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan Sekaten berlangsung dari tanggal 5 hingga 12 Mulud (Rabi’ul Awal). Dua perangkat gamelan, yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga mengalunkan gendhing-gendhing khusus di Bangsal Pagongan, Kagungan Dalem Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta. Terdapat 68 gendhing dalam ragam gendhing sekaten, 16 diantaranya lazim dilantunkan selama prosesi Sekaten oleh Abdi Dalem Wiyaga KHP Kridhomardowo
1. Gendhing Rambu
Gendhing Rambu merupakan yang paling utama dalam ragam Gendhing Sekaten. Memiliki laras pelog, pathet lima, gendhing ini diyakini sebagai hasil karya Sunan Kalijaga, salah seorang wali dari Kasultanan Demak. ‘Rambu’ berasal dari kata ‘Rabbuna’ atau Tuhan kami, Gendhing inilah yang pertama kali diperdengarkan, tepat pukul 20.00.
2. Gendhing Rangkung
Setelah Gendhing Rambu selesai mengalun, gendhing utama berikutnya, Gendhing Rangkung yang juga berlaras pelog, pathet lima. ‘Rangkung’ berasal dari ‘Ro'ukunna’ atau ‘Yang memelihara kamu’. Seperti Gendhing Rambu, gendhing ini wajib dibunyikan. Keduanya masing-masing berdurasi 45 menit.
3. Gendhing Andong-Andong
Inilah gendhing utama ketiga, dengan laras pelog, pathet lima. ‘Andong’ berarti tumbuh-tumbuhan. Gendhing ini mengingatkan agar ajaran agama Islam di tanah Jawa dijaga dan dirawat supaya terus tumbuh layaknya tumbuhan. Dibunyikan setelah Gendhing Rangkung, teknik imbal demung menjadi pembeda gendhing ini dari dua gendhing sebelumnya. Imbal demung adalah teknik permainan saling mengunci pada instrumen saron demung dengan saron barung, dan bonang barung dengan bonang panerus.
4. Gendhing Lung Gadhung Pel
Setelah Gendhing Andong-Andong usai, gendhing utama berikutnya, Gendhing Lung Gadhung Pel mengalun. Gendhing utama keempat ini berlaras pelog, pathet lima dan juga bercirikan imbal demung. ‘Lung Gadhung Pel’ merujuk pada sulur tanaman menjalar. Agama Islam harus dijaga agar terus menjulur.
5. Gendhing Yahume
Gendhing Yahume berlaras pelog, pathet lima. ‘Yahume’ atau ‘yahumi’ berasal dari bahasa Arab yang berarti hari lahir. Ini terkait dengan prosesi Sekaten yang diadakan untuk memperingati hari lahir atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Gendhing tambahan yang diciptakan oleh KRT Wiroguno pada 1865 Je/1934 Masehi, ini dibunyikan setelah Gendhing Lung Gadhung Pel.
6. Gendhing Rendeng
Rendeng mengacu pada dua makna; ‘rendeng’ yang berarti batang kacang tanah dan ‘rendheng’ musim penghujan. Gendhing ini memiliki laras pelog, pathet lima. Di malam hari, jika Gendhing Lung Gadhung Pel telah selesai dibunyikan, Gendhing Rendeng termasuk salah satu yang biasa dibunyikan hingga selesai tepat pukul 24.00.
7. Gendhing Dhendhang Subingah
Gendhing Dhendhang Subingah atau Dhindang Subinah memiliki laras pelog, pathet enem. Nada-nadanya menggambarkan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Gendhing ini berdurasi cukup panjang, diperdengarkan selepas zuhur, sekitar pukul 14.00, dan merupakan salah satu yang wajib dimainkan.
8. Gendhing Orang-Aring
Gendhing Orang-Aring yang dibunyikan siang menjelang sore hari memiliki laras pelog, pathet enem. Tata garapnya berbeda dari gendhing lain, memadukan tabuhan biasa dan teknik imbal demung.
9. Gendhing Ngajatun
Ngajatun berasal dari kata ‘kajat’; kehendak, keinginan, atau niat. Gendhing berlaras pelog, pathet enem ini menyimbolkan seseorang yang telah mantap memeluk agama Islam. Ini selaras dengan tujuan Gendhing Sekaten untuk menarik khayalak. Setelah banyak orang berkumpul, mereka yang tertarik akan dituntun untuk membaca kalimat syahadat sebagai syarat memeluk agama Islam. Gendhing Ngajatun merupakan gendhing tambahan yang juga diciptakan oleh KRT Wiroguno pada 1865 Je/1934 Masehi.
10. Gendhing Lenggang Rambon
Gendhing berlaras pelog, pathet enem ini biasa dibunyikan siang hingga menjelang sore. ‘Rambon’ adalah tembakau yang halus dan wangi. Sirih dan tembakau memang banyak dijajakan saat perayaan Sekaten.
11. Gendhing Salatun
Gendhing ini berdurasi pendek, mengalun siang hari selepas zuhur, berlaras pelog, pathet enem. ‘Salatun’ berasal dari bahasa Arab yang berarti berdoa atau menegakkan salat. Gendhing tambahan ini juga digubah oleh KRT Wiroguno pada 1865 Wawu-Je/1934 Masehi.
12. Gendhing Atur-Atur
‘Atur-atur’ bermakna memberikan sesuatu. Berlaras pelog, pathet enem, gendhing ini diperdengarkan sore hari hingga menjelang magrib.
13. Gendhing Gliyung
Gendhing Gliyung atau Gleyong memiliki laras pelog, pathet enem. Gendhing yang dialunkan siang hari ini berciri khas pada bagian ngelik. Instrumen demung dimainkan secara ngracik atau ditabuh dengan ketukan dua kali lipat.
14. Gendhing Bayemtur
‘Bayemtur’ bermakna puji-pujian untuk Tuhan atau doa bersama. Berlaras pelog, pathet enem dan biasa dibunyikan siang hingga menjelang sore. Ciri khasnya adalah jumlah ulihan lagu yang banyak; tujuh ulihan.
15. Gendhing Burung Putih
Gendhing Burung Putih atau Muru Putih memiliki laras pelog, pathet lima. Durasinya panjang. Dahulu, gamelan Sekati ditabuh selama 24 jam. Namun, mulai sekitar 1970, hanya ditabuh hingga pukul 24.00. Menurut pranatan, pada malam hari, gendhing yang dibunyikan harus berlaras pelog, pathet lima. Pasca perubahan tersebut, Gendhing Burung Putih jadi jarang disajikan.
16. Gendhing Supiyatun
Gendhing Supiyatun merupakan satu-satunya gendhing yang memiliki laras pelog, pathet barang. ‘Supiyatun’ bermakna suci atau kesucian hati. Gendhing tambahan ini juga digubah oleh KRT Wiroguno pada 1865 Wawu-Je/1934 Masehi. Gendhing ini dibunyikan dari pagi hingga azan zuhur berkumandang.