Beksan Lawung Alit
- 03-10-2023
Beksan Lawung Alit merupakan Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Beksan Lawung Alit sering disebut juga sebagai Beksan Lawung Alus, salah satu bagian dari Beksan Trunajaya yang terdiri dari Beksan Lawung Alit, Beksan Lawung Ageng, dan Sekar Medura. Kini naskah tari Beksan Lawung Alit dimiliki dan disimpan oleh Perpustakaan Kawedanan Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.
Seperti halnya Beksan Lawung Ageng, tarian ini juga terinspirasi dari watangan, latihan ketangkasan berkuda dan sambil beradu lawung (tombak tumpul) yang biasa dilakukan oleh Abdi Dalem Prajurit pada masa lalu. Semangat prajurit tersebut yang membuat karakter beksan ini maskulin, heroik, agung dan berwibawa. Meski demikian, Beksan Lawung Alit memiliki ciri khas ragam gerak impur, yaitu ragam gerak untuk tari kakung alus (halus).
Peran dalam Beksan Lawung Alit
Beksan Lawung Alit dibawakan oleh 12 penari utama yang terdiri dari 4 ploncon, 4 jajar, dan 4 lurah. Selain penari utama, juga terdapat 6 pendukung utama yang terdiri dari 2 tumenggung, 2 botoh, dan 2 salaotho.
Ploncon atau pengampil bertugas memegang tombak lawung sebelum digunakan jajar atau lurah. Jajar berperan sebagai prajurit muda yang penuh dengan semangat. Dalam struktur keprajuritan, jajar adalah pangkat paling rendah bagi seorang prajurit. Lurah berperan sebagai prajurit yang telah matang. Dalam struktur keprajuritan, prajurit berpangkat lurah menempati posisi di atas jajar. Tumenggung bertindak sebagai juru bicara peran botoh untuk menyusun strategi. Botoh bertindak sebagai tokoh yang mengadu ketangkasan prajurit yang mereka miliki. Salaotho bertindak sebagai Abdi Dalem pelawak yang setia pada masing-masing botoh.
Musik Pengiring
Beksan Lawung Alit ditarikan dengan iringan Gendhing Gangsaran, Gendhing Arjuna Mangsah, dan Gendhing Arjuna Asmara. Gendhing Gangsaran digunakan pada bagian awal beksan saat penari masuk dan untuk mengiringi bagian pertandingan. Gendhing Arjuna Mangsah digunakan untuk mengiringi gerak penari jajar. Sedangkan Gendhing Arjuna Asmara digunakan untuk mengiringi gerak penari lurah.
Gendhing tersebut dimainkan menggunakan Gangsa Kiai Guntur Sari yang memiliki saron jauh lebih banyak dari seperangkat gamelan pada umumnya sehingga mampu menciptakan suara yang keras dan kuat. Iringan lain yang dipergunakan dalam Beksan Lawung Alit adalah genderang dan terompet. Perpaduan iringan gangsa (gamelan), genderang, dan terompet digunakan untuk menghidupkan suasana latihan perang antar prajurit bersenjata tombak.
Dalam Beksan Lawung Alit, terdapat seorang dalang yang memimpin jalannya tarian. Dalang bertugas membawakan kandha atau kata pengantar dalam bahasa Jawa. Selain kandha, terdapat pula dialog (pocapan) antara dalang, tumenggung, botoh, dan penari utama. Dialog yang digunakan dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa Bagongan. Dialog tersebut umumnya adalah perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.
Tata Busana Penari
Penari Beksan Lawung Alit menggunakan busana seperti penari Wayang Wong sebelum era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Busana tersebut umumnya terdiri dari celana panji, kamus timang, sondher, kalung sungsun, kelat bahu, keris, dan ikat kepala yang disebut iket tepen.
Penari lurah mengenakan lancingan panjen cindhe abrit (celana panji motif cindhe merah), nyamping motif parang rusak gurdha dengan model sapit urang, bara cindhe abrit, lonthong cindhe abrit, kamus timang bludir, dan sondher cindhe abrit. Sedangkan kepalanya mengenakan dhestar tepen alus berhias pita keemasan, pethat, sumping grompol, cundhuk sekar, dan rikma klabangan. Penari jajar mengenakan busana yang sama dengan penari lurah, tetapi nyamping-nya bermotif kawung ageng ceplok gurdha.
Penari ploncon mengenakan lancingan panjen ijem (celana panji polos), nyamping motif kawung picis dengan model sapit urang, bara ijem, lonthong ijem, kamus timang bludir untu walang, dan sondher gendhala giri ijem. Sedangkan kepalanya mengenakan dhestar kobisan berhias pita keemasan, sumping grompol, dan ceplok sekar.
Wajah para penari diberi rias rona kemerahan dan hiasan godheg ngudhupturi. Selain itu, para penari juga mengenakan hiasan kalung sangsangan sungsung, kelat bahu ngangrang, dan keris branggah berhias oncen.
Karena peran tumenggung, botoh, dan salaotho tidak ikut menari, mereka mengenakan pakaian pranakan Abdi Dalem sesuai dengan kedudukan.
Pelengkap Beksan Trunajaya
Beksan Lawung Alit diciptakan bersama-sama dengan Beksan Lawung Ageng dan Beksan Sekar Medura. Ketiga tarian tersebut merupakan suatu pertunjukan utuh dari Beksan Trunajaya. Apabila ketiga beksan ini dipentaskan secara lengkap maka akan membutuhkan waktu selama 5 jam. Pada masa lalu ketiga tari tersebut dibawakan oleh Abdi Dalem Prajurit dari regu Trunajaya, salah satu kesatuan dari Bregada Prajurit Nyutra. Karena itulah tari tersebut juga dikenal sebagai Beksan Trunajaya. Nama Trunajaya diambil dari tokoh asal Madura. Pada masa Susuhunan Amangkurat I (1646-1677), ia dengan gagah berani mengangkat senjata menentang kolonialisme Belanda dan kemerosotan moral yang terjadi dalam pemerintahan Mataram Islam.
Dalam perkembangannya Beksan Lawung Alit jarang dipentaskan. Sejak diciptakan hingga tahun 1917, tercatat hanya beberapa kali dipentaskan secara utuh pada upacara pernikahan putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Kemudian pada tahun 1953, Bebadan Among Beksa menampilkan Beksan Lawung Alit untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada 17 Juni 2019 atau 14 Sawal Be 1952 J dan 9 Oktober 2023 atau 23 Mulud Jimawal 1957 J, Keraton Yogyakarta kembali mementaskan Beksan Lawung Alit pada gelaran Uyon-uyon Hadiluhung Selasa Wage untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10.
Pada 2021, bersama dua karya budaya lainnya, Beksan Lawung Alit memperoleh predikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Predikat tersebut dimuat dalam sertifikat bernomor 0006/F4/KB,04.04/2021. Dibawakan dalam ragam gerak halus, Beksan Lawung Alit pun tampil dengan penuh wibawa. Bukan hanya sekadar pertunjukkan, Beksan Lawung Alit memancarkan nilai-nilai patriotik dan disiplin yang perlu diteladani. Keberadaannya mewarisi semangat juang Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama rakyat Mataram menghadang dan menghadapi segala tantangan zaman pada masa itu.
Daftar Pustaka:
Fred Wibowo. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Soedarsono. 1979. Beksan Lawung Alus Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Soedarsono. 1997. Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
RM Pramutomo. 2009. Tari, Seremoni, dan politik Kolonial (I). Surakarta: ISI Press