Srimpi Lobong
- 28-10-2024
Srimpi Lobong merupakan Yasan (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921 – 1939). Kata “lobong” diambil dari judul iringan utama, yakni Gendhing Lobong. Catatan mengenai Srimpi Lobong dapat ditemukan dalam Serat Pasindhen Bedhaya Utawi Srimpi bernomor B/S 16 (halaman 133-142) dan Serat Kandha B/S 8 (halaman 129-133).
Srimpi Lobong menukil kisah dari Serat Kandha Ringgit Purwo yang menceritakan peperangan antara Sang Dyah Dewi Srikandhi melawan patih Simbarmanyura Sang Dyah Dewi Suradewati. Tari ini memiliki kesamaan dengan Bedhaya Lobong yang juga merupakan Yasan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877 – 1921), terkait cerita dan komposisi iringan.
Sang Dyah Cempalaarja atau Dewi Srikandhi digambarkan kuat perangainya dan lantang perkataannya. Sementara Dewi Suradewati berparas cantik serta sakti. Kedua prajurit unggulan itu berhadapan di medan laga untuk beradu ketangkasan.
Dewi Srikandhi dan Dewi Suradewati sama-sama bersenjatakan jemparing (panah) dan duwung (keris). Tanpa keraguan keduanya mengumbar kekuatan masing-masing. Diceritakan dalam sindhenan, Arjuna takjub dengan kesaktian keduanya. Lantas Arjuna memberi senjata pamungkas kepada sang istri, Srikandhi, untuk segera menuntaskan peperangan. Dewi Srikandhi menang, sedangkan Dewi Suradewati kalah dalam pertempuran oleh senjata pamungkas, Ardadhedali dan Kiai Ardapusara. Kemudian Dewi Suradewati diperistri oleh Arjuna dan diboyong ke Madukara.
Sejarah
“Karsa Dalem Maha Prabu, nuju ari Setu Wage, kaping Tri Jumadilakir, Alip Jalma Panca Ngesthi Jagad. Jeng Sri sinung pakurmatan, dening Kangjeng Gupernemen, ambawani Yugyakarta, wonten Loji Karesdhenan, kundhisi ngunjuk sapanya. Jeng Tuwan angandharaken, mring sagung para nung-anung, tuwin tamunya sadaya, Jumeneng Dalem Jeng Sultan. Datan winarna solahnya, sanes ari pan gumantya jroning pura pakurmatan.”
“Atas Kehendak Sang Raja, pada hari Sabtu Wage, tanggal Tiga Jumadilakir tahun Alip. (Dengan sengkalan) Jalma Panca Ngesthi Jagad. Sri Sultan diberi anugerah kehormatan oleh Tuan Gubernur yang membawahi wilayah Yogyakarta. Di Loji Karesidenan (mereka) bersulang meminum sampanye. Sang Tuan menjelaskan kepada para orang luhur serta para tamu tentang bertakhtanya Kanjeng Sultan. Tak digambarkan gerak-geriknya. Berganti hari, di balai kehormatan.”
Sejarah penciptaan Srimpi Lobong diceritakan dalam syair sindhenan mulai dari Bawa Swara Sekar Citramengeng hingga Ladrang Sri Kondur. Hal tersebut menjadi salah satu ciri Srimpi Lobong. Naskah sindhenan B/S 16 (halaman 133-142) menyatakan srimpi ini dibuat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII setelah mendapatkan anugerah kehormatan dari Gubernur Belanda yang membawahi wilayah Yogyakarta. Pada tahun 1920, saat Gusti Pangeran Harya Puruboyo (nama kecil Sri Sultan HB VIII), sedang menempuh studi di Belanda, ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menyampaikan niat untuk lengser keprabon (turun takhta). Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian takhta dipercepat. Akhirnya, GPH Puruboyo pulang ke Yogyakarta dan dinobatkan sebagai sultan baru. Sedangkan, Sri Sultan Hamengku Buwono VII lereh keprabon dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarrukmo.
Acara penganugerahan gelar kehormatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII berlangsung pada Februari 1921 di Loji Karesidenan yang saat ini menjadi Gedung Agung. Tokoh-tokoh penting hadir dalam acara tersebut sekaligus menyambut sultan baru, antara lain Jenderal Magelang, Residen Sala, serta para pangeran. Dansa dan bedhaya turut dipergelarkan dalam perayaan yang berlangsung hingga pukul 02.00 dini hari.
Pada lain hari, semua Abdi Dalem sibuk mempersiapkan berbagai macam acara penghormatan. Dijelaskan terdapat dua belas rombongan berarak-arakan di Alun-Alun Utara. Malamnya, warga dari berbagai kalangan berkumpul untuk merayakan pengangkatan sultan baru. Dari situlah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII terinspirasi untuk menciptakan syair pasindhen Srimpi Lobong.
Komposisi Iringan
Iringan Srimpi Lobong berlaras Slendro Pathet Manyuro, dibuka dengan Lagon Wetah, Kapang-kapang Majeng Ladrang Surengrana, Lagon Jugag, Kandha, Bawa Swara Sekar Ageng Citramengeng, Gendhing Lobong, Ndawah Glebag Nuli Ladrang Sri Kondur, Ndawah Ayak-ayak, Srepegan, Lagon Jugag, Kapang-kapang Mundur Ladrang Sekar Tanjung, dan ditutup dengan Lagon Jugag. Gendhing pengiring tersebut mirip dengan iringan dalam Bedhaya Lobong. Bedanya, Bedhaya Lobong menggunakan Bawa Sekar Ageng Condrokumoro. Pada bagian kapang-kapang maju dan mundur, Srimpi Lobong tidak menggunakan Ladrang Gati berlaraskan pelog pathet barang, sehingga Ladrang yang digunakan berlaras slendro pathet manyuro, yakni Ladrang Surengrana dan Ladrang Sekar Tanjung .
Komposisi Tari
Komposisi gerak Srimpi Lobong sama dengan Srimpi Kagungan Dalem lainnya yang memiliki tiga bagian, yakni kapang-kapang majeng (maju), inti cerita, dan kapang-kapang mundur.
Ciri khas Srimpi Lobong adalah pola lantai yang didominasi erek serta tiadanya pola lantai diagonal seperti srimpi-srimpi lainnya. Dalam adegan peperangan, penari tidak langsung bertanding, melainkan saling memamerkan kekuatan terlebih dahulu. Pada awal pertandingan, properti yang dikenakan adalah jemparing dan kekuatan keduanya berimbang. Selanjutnya mereka menggunakan duwung. Di sinilah Dewi Suradewati kalah dan takluk pada Dewi Srikandhi. Adegan perang tersebut diiringi oleh gendhing utama, yakni Gendhing Lobong.
Busana
Secara umum, kostum Srimpi Lobong memiliki kesamaan dengan srimpi-srimpi lain, yaitu baju rompi dan kain berpola seredan, dilengkapi hiasan jamang dan bulu-bulu di kepala. Pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 28 Oktober 2024, keempat penari putri mengenakan busana gladhen (busana latihan) yakni semekan ubed-ubed motif kusuma berlatar putih yang dipadukan dengan embong berwarna kuning. Untuk bawahan, para penari mengenakan nyamping dengan pola seredan dan motif Prabuanom. Keempat penari juga memakai sondher gendala giri berwarna biru tua, ditambah aksesori subang, cincin, serta teleseban praja cihna pada sanggul ukel tekuk. Sedangkan paraga dhudhuk (pembawa senjata jemparing) mengenakan busana sabuk wala dengan nyamping motif Larasati berlatar hitam, dipadukan dengan lontong kuning dan sondher gendala giri biru tua yang senada dengan sondher para penari. Para penari menggunakan dua properti sekaligus, yakni jemparing dan duwung yang dimainkan dalam adegan peperangan.
Daftar Pustaka
Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
MJ Sembung Gilang. 2024. Serat Pasindhen Srimpi Lobong (Jugag). Yogyakarta: Kawedanan Kridhomardowo Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya utawi Srimpi (B/S 16), Koleksi Kapustakan Kawedanan Widya Budaya, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi (B/S 8), Koleksi Kapustakan Kawedanan Widya Budaya, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Daftar Wawancara
Wawancara dengan Nyi MW Widyawinarbudaya (Pamucal Beksa) pada 11 Oktober 2024
Wawancara dengan MB Kayun Sumekto (Penata Busana) pada 18 Oktober 2024
Wawancara dengan MJ Sembung Gilang (Koordinator Wiyaga) pada 20 Oktober 2024
Wawancara dengan KMT Widya Winata pada 25 Oktober 2024