Simposium Internasional Budaya Jawa 2022: Keraton Yogyakarta dan Kontribusinya kepada Bangsa
- 14-03-2022
Sejak tahun 2019, Keraton Yogyakarta menjadi tuan rumah Simposium Internasional Budaya Jawa yang diselenggarakan dalam rangka peringatan kenaikan takhta atau Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas. Selama empat tahun berturut-turut, simposium internasional ini menjadi bukti konsistensi Keraton Yogyakarta dalam membuka ruang diskusi akademik tentang budaya Jawa sekaligus upaya edukasi budaya kepada publik.
Tema simposium yang diangkat setiap tahunnya pun berbeda-beda. Pada 2019, simposium perdana mengangkat tema manuskrip. Busana keraton menjadi pokok bahasan pada 2020, sedangkan jamuan keraton menjadi tema pada 2021. Simposium keempat yang digelar tahun ini mengambil tema “Keraton Yogyakarta dan Kontribusinya kepada Bangsa”.
Simposium Internasional Budaya Jawa 2022 dibuka pada hari Selasa, 8 Maret pukul 13.30 secara daring melalui akun zoom. Dalam sambutan pembukaan, Ketua Panitia Simposium Internasional 2022 Gusti Kanjeng Ratu Hayu menuturkan, “Adanya simposium dan pameran dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem beberapa tahun terakhir ini merupakan bukti upaya keraton yang terus menerus membuka diri agar nilai-nilai luhur dapat terus dilestarikan, yakni dengan menghadirkan ruang untuk menjaga berkembangnya atmosfer tukar pikiran khususnya tentang budaya Jawa.”
Usai sambutan pembukaan, disusul paparan utama oleh para akademisi ahli yang meninjau dan menyeleksi makalah-makalah simposium, yaitu Matthew Cohen, Jennifer Lindsay, serta Annabel Teh Gallop. Dalam simposium kali ini, makalah-makalah yang sudah ditinjau dan diseleksi dipaparkan dalam lima sesi yaitu Arsitektur dan Tata Kota, Seni Pertunjukan, Politik dan Pemerintahan, Sejarah dan Budaya, serta Sosial dan Pendidikan. Sebelum kelima sesi simposium dibuka, para peserta diajak menyimak uraian singkat bersama KPH Notonegoro tentang kabar terkini dari Keraton Yogyakarta.
Diikuti tidak kurang 255 peserta baik dari dalam maupun luar negeri, pelaksanaan simposium tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan kelima sesi diadakan secara paralel. Peserta diperbolehkan untuk memilih sesi sesuai dengan minat masing-masing. Ada tiga panelis di sesi pertama, Arsitektur dan Tata Kota, yang dimoderatori oleh Eko Prawoto. Ketiga panelis ini menyajikan makalah tentang Transformation of Heritage Architecture in Saujana Jeron Beteng Yogyakarta (oleh Dina Shafira Irawan & Laretna T. Adishakti), Tugu Yogyakarta Merentang Masa: Transformasi Bentuk dan Makna Golong-Gilig dan Pal Putih (oleh Rizki Dwika Aprilian & Muhammad Naufal Fadhil), serta Selokan Mataram: Pergulatan Kuasa Jepang dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1942-1945) dari Perspektif Teori Akses (oleh Muhammad Alnoza).
Dimoderatori oleh RW Widyarumeksa Budaya, sesi kedua menghadirkan tiga panelis yang menyajikan makalah tentang Seni Pertunjukan, yaitu Eksistensi Tari Srimpi Pandhelori Gaya Yogyakarta di DKI Jakarta (oleh Sulistiani), Gamelan Kangjeng Kyai Sekati Kasultanan Yogyakarta dalam Perbandingan (oleh Sumarsam), serta seorang panelis dari Jepang, Masami Okabe, yang memaparkan tentang Gamelan Instruments from Kasultanan Yogyakarta to Japan in 1940.
Dalam sesi ketiga, B. Hengky Widhi menjadi moderator tentang Politik dan Pemerintahan yang disampaikan oleh tiga panelis, yaitu Tedhak Loji: Praktik "Konsolidasi" Politik hingga Eskalasi Ekonomi pada Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (oleh Fajar Widjanarko), The Role of Keraton Yogyakarta to Local Wisdom Improvement during Nationalism Movement (oleh RM Pramutomo), dan Diplomasi Sang Raja: Kontribusi Kasultanan Yogyakarta dalam Periode Awal Kemerdekaan Indonesia (oleh Pratika Rizki Dewi).
Sejarah dan Budaya menjadi tema di sesi keempat yang dimoderatori oleh Nurmita. Dalam sesi ini, ketiga panelis menyampaikan makalah tentang Bagongan Dialect in Social Media and Its Position in the Society: A Sociolinguistic Study (oleh Nurvita Wijayanti & Panggio Restu Wilujeng), Tradisi Penyambutan dan Penghormatan Tamu di Keraton Yogyakarta sebagai Bentuk Pola Relasi pada Masa Pemerintahan Hamengku Buwono VII dalam Naskah Koepija Djendralan (oleh Clara Shinta Anindita Apriyadi & Mamlahatun Buduroh), serta Keraton dan Rekonsiliasi '65: Kontribusi Masjid Soko Tunggal Terhadap Perdamaian Bangsa (1972-1999) (oleh Erik Muhammad R).
Tema Sosial dan Pendidikan menjadi sesi kelima yang dimoderatori oleh Sekarsari, dengan tiga panelis yang menyampaikan makalah tentang Ajaran Filsafat Moral Tari Srimpi Pandhelori dan Joged Mataram sebagai Pendidikan Olah Rasa dan Etika (oleh Risa Kaizuka & Titik Agustin), Analisis Wacana Keteladanan Sikap Putri Keraton Yogyakarta: Keraton Inklusif Bukan Eksklusif (oleh Endang Tri Irianingsih & W. Hendro Saputro), serta Peran dan Sumbangsih Keraton Yogyakarta Terhadap Lembaga Pendidikan Musik di Indonesia (oleh RM Surtihadi).
Para peserta simposium tampak antusias dengan mengajukan berbagai pertanyaan di setiap sesi. Kelima sesi berakhir pada pukul 16.15 WIB. Pelaksanaan simposium ditutup oleh GKR Mangkubumi yang menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam simposium tahun ini. Gusti Mangku menambahkan, “Semoga kegiatan ini dapat menjadi sarana bertukar wawasan dan memperkuat jati diri bangsa, juga semakin menginspirasi masyarakat untuk lebih banyak berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.”