Bedhaya Mintaraga dalam Pergelaran Catur Sagotra 2022
- 29-07-2022
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat melalui Kawedanan Kridhamardawa kembali berpartisipasi dalam Pergelaran Catur Sagotra tahun 2022 yang diadakan di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada Jumat (22/07) pukul 20.30 WIB. Pergelaran Catur Sagotra tahun ini mengambil tema tari bedhaya.
“Tema Catur Sagotra tahun ini adalah bedhaya, jadi kami mendapat Dhawuh Dalem untuk menyajikan Bedhaya Mintaraga yang merupakan Bedhaya Yasan Dalem terbaru dari Ngarsa Dalem. Istimewanya lagi, pada pementasan kali ini telah mendapat palilah (izin) untuk menampilkan Bedhaya Mintaraga dengan busana kampuh dan rias paes. Sehingga, ini menjadi pertama kalinya Bedhaya Mintaraga dengan busana kampuh bisa disaksikan masyarakat di luar keraton,” ungkap KPH Notonegoro selaku Penghageng Kawedanan Kridhamardawa.
Catur Sagotra Sebagai Pelestari Budaya Mataram
Catur Sagotra merupakan acara tahunan yang digelar sebagai ajang atau wadah penguatan silaturahmi dari empat pewaris Dinasti Mataram dan sebagai bentuk pelestarian budaya masing-masing. Keempat Dinasti Mataram yang dimaksud adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran.
Pada 2021, pergelaran ini diadakan secara daring dari masing-masing istana. Tahun ini, Pergelaran Catur Sagotra kembali digelar hibrida, yakni secara luring dengan tamu undangan terbatas. Agar menjangkau lebih luas, agenda ini juga disiarkan langsung (live streaming) di kanal YouTube tasteofjogja disbud diy dan direlai oleh YouTube Kraton Jogja. Acara diawali dengan laporan penyelenggaraan kegiatan yang disampaikan Dian Lakshmi Pratiwi selaku Kepala Dinas Kebudayaan DIY yang mengemukakan bahwa gelaran Catur Sagotra menjadi inisiasi bagi Dinasti Mataram untuk melestarikan masing-masing budaya yang dimiliki.
“Pergelaran ini menjadi gereget rekonsiliasi budaya, manunggalnya kembali Trah Mataram, dari Catur Sagotra menjadi Catur Sagotrah. Identitas budaya Sagotrah ini kian bermakna, karena Surakarta dan Ngayogyakarta memiliki satu lambang Dwi Naga Rasa Tunggal, dua naga yang menghadap ke barat dan timur, namun ekornya tetap bertaut menjadi satu,” papar Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 dalam sambutan pembuka.
Sri Sultan pun berharap keadiluhungan seni yang disaksikan dalam Pergelaran Catur Sagotra ini dapat menciptakan Hamemayu Hayuning Jalma (peningkatan kesadaran makna hidup), Hamemayu Hayuning Praja (peningkatan makna bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), dan Hamemayu Hayuning Bawana (peningkatan tata kehidupan dunia yang harmonis).
Pementasan keempat bedhaya dari keraton dan pura pun berlangsung tepat usai sambutan dan penyerahan plakat penghargaan oleh Sri Sultan kepada masing-masing perwakilan Dinasti Mataram. Penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi keikutsertaan dalam agenda tahunan ini sekaligus wujud adanya sinergi yang baik antar seluruh pewaris Dinasti Mataram.
Empat Bedhaya dalam Catur Sagotra 2022
Sesuai tema Catur Sagotra tahun ini, Keraton Yogyakarta sebagai penampil pertama berpartisipasi dengan menyajikan Bedhaya Mintaraga. Tarian ini merupakan Yasan Dalem Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 dan diilhami dari Serat Lenggahing Harjuna yang ditulis sendiri oleh Sri Sultan. Bedhaya Mintaraga berkisah tentang mesu budi atau upaya menahan hawa nafsu lahiriah dan batiniah. Nilai budi pekerti dalam bedhaya ini direpresentasikan oleh tokoh Mintaraga (sosok Raden Harjuna saat bertapa).
Selain mengenakan busana kampuh dengan rias paes, Bedhaya Mintaraga yang disajikan merupakan versi jugag (singkat), dipadatkan dari durasi aslinya selama 1,5 jam, menjadi 30 menit. Pemadatan Bedhaya Mintaraga kali ini pun digarap dengan penuh kecermatan, agar tak mengurangi esensi dan nilai filosofis yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Sebagai penampil kedua, Keraton Kasunanan Surakarta menghadirkan Bedhaya Ratu. Bedhaya Ratu mengisahkan perjalanan hidup GKR Pakoe Boewono sejak dilahirkan, mengabdikan diri sebagai calon penari Bedhaya Ketawang, hingga akhirnya dipersunting oleh KGPH Hangabehi (Sri Susuhunan Pakoe Boewono XIII).
Tampil di urutan ketiga, sajian Bedhaya Wasita Nrangsemu dari Pura Pakualaman. Nama dan jalan ceritanya diambil dari naskah Piwulang Estri yang ditulis pada masa pemerintahan KGPAA Paku Alam I. Tarian ini menceritakan tentang piwulang kepada perempuan agar selalu mengingat ajaran kebaikan dari orang tua dan guru, serta tidak bersinggungan dengan hal-hal buruk.
Penampil terakhir, Bedhaya Ladrang Mangungkung dari Pura Mangkunegaran. Bedhaya Ladrang Mangungkung mengisahkan tentang sepak terjang dan latihan perang pasukan elite wanita (Ladrang Mangungkung) pada masa Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said tahun 1742 di Kartasura.
“Catur Sagotra tahun ini menyajikan gelaran bedhaya dari masing-masing keraton dan pura, menjadi suguhan budaya yang apik. Selain sebagai representasi dari kebesaran budaya, bedhaya ini sekaligus menjadi potret keindahan. Keempat bedhaya dari keempat pewaris Dinasti Mataram ini selanjutnya dapat menjadi edukasi tentang keberagaman sekaligus kekayaan dari budaya Jawa. Meski rata-rata merupakan yasan enggal (karya baru), ciri khas masing-masing dan tata aturan pola penciptaan bedhaya tetap dipertahankan. Sehingga, gelaran ini praktis dapat menjadi tontonan sekaligus tuntunan dalam pelestarian sekaligus pengembangan bedhaya,” tutup KPH Notonegoro.