Keraton Yogyakarta Ajarkan Toleransi Lewat Makna Bedhaya Sang Amurwabhumi
- 02-08-2022
Kawedanan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta mementaskan Bedhaya Sang Amurwabhumi pada Minggu malam (24/07) di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Tarian ini menjadi sajian di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan perwakilan Institut Leimena serta komunitas agama dari Amerika dalam jamuan makan malam. Institut Leimena dan perwakilan komunitas agama dari Amerika berkunjung ke Jogja dalam rangka mengobservasi langsung praktik toleransi beragama.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut Senior Fellow Leimena Alwi Shihab, Direktur Eksekutif Leimena Martin Ho, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah, perwakilan komunitas agama Amerika David Rosen, serta beberapa Kepala OPD DIY.
Bedhaya Sang Amurwabhumi merupakan Yasan Dalem (karya) pertama Sri Sultan Hamengku Buwono X setelah dinobatkan sebagai Raja Kesultanan Yogyakarta pada 7 Maret 1989/29 Rajab Wawu 1921. Tarian ini merupakan legitimasi Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada mendiang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Konsep yang diusung memiliki makna filosofis, yakni setia kepada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan bersosial. Dasar cerita tarian diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit, yang selesai ditulis bertepatan dengan hari Sabtu Pahing.
Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Kagungan Dalem Bangsal Kencana saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1990. Sejatinya, tarian yang diperagakan sembilan penari ini berdurasi 2,5 jam. Iringannya berupa irama dramatik yang menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang hakiki. Seperti halnya seorang raja yang mempunyai ekspresi dalam setiap pengabdian dengan mencoba menggalang kepemimpinan melalui pola pikir untuk mengayomi dan menyejahterakan rakyat.
Sri Sultan menyebut bahwa pemilihan lokasi pelaksanaan jamuan makan malam juga sarat akan sejarah panjang dan mengandung nilai ke-indonesiaan. Pada masa silam, Kompleks Kepatihan adalah Kantor Pepatih Dalem dan tempat tinggal keluarga beserta para kerabatnya.
"Kompleks bangunan gedung ini memang sejak dahulu diperuntukkan sebagai tempat pelayanan masyarakat dalam bingkai manunggalnya para pamong praja dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, malam ini menjadi lebih bermakna, karena dapat bertatap muka bersama Anda sekalian, seraya mengenalkan warisan budaya Yogyakarta," jelas Ngarsa Dalem.
Selain Bedhaya Amurwabhumi, pada kesempatan tersebut juga dipentaskan Klana Topeng Sembung Langu. Tarian ini mengisahkan Klana Sewandono yang kasmaran dengan Dewi Sekartaji, dan selalu didampingi abdi setia bernama Sembung Langu.
Gerak dan isi dinamika Klana Sewandono menggambarkan sosok gagah berkharisma tinggi, sehingga geraknya patah-patah dan menawan. Sementara karakteristik Sembung Langu cenderung jenaka. Ia selalu mengikuti gerak-gerik Klana Sewandono namun tak berhasil karena tak pernah olah kebatinan dan bersolek. Sehingga gerak tarian yang muncul darinya cenderung cerminan gerakan dalam kehidupan sehari-hari.