Rerupa Batik Parang, Partisipasi Keraton Yogyakarta dalam Pameran Jagaddhita
- 27-10-2022
Rabu (19/10), Keraton Yogyakarta berpartisipasi dalam Festival Batik 2022 bertajuk Jagaddhita: Batik Jogja Istimewa Mendunia. Agenda ini merupakan kegiatan tahunan yang digelar oleh Dinas Perindustrian dan Koperasi DIY dengan menggandeng seluruh insan kreatif batik di Yogyakarta. Bersama dengan Kadipaten Pakualaman, Keraton Yogyakarta berkesempatan untuk memamerkan khazanah batik yang menjadi warisan budaya takbenda. Mengusung tema Rerupa Batik Parang dan Pengembangannya, keraton mengajak pengunjung untuk melihat pola motif batik parang rusak yang dikenal sebagai batik larangan (Awisan Dalem). Gelaran festival batik tersebut dilaksanakan selama 5 hari, sejak 19-23 Oktober 2022. Para pencinta batik terus menerus berkunjung untuk melihat kekayaan ragam hias Yogyakarta yang dituangkan dalam selembar kain.
Keikutsertaan Keraton Yogyakarta dalam pameran tersebut menjadi ajang untuk melakukan sosialisasi motif batik larangan yang ada di keraton. Pasalnya, motif-motif larangan tersebut telah diatur sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Pada tahun 1789, Sultan menerbitkan arsip yang berisi aturan busana bagi para bangsawan. Aturan tersebut dikeluarkan secara resmi di bawah pertanggungjawaban Patih Danureja I, yang di dalamnya termasuk penggunaan motif-motif batik pada kampuh. Tertulis pada arsip tersebut, motif sawat, parang rusak, dan huk merupakan motif larangan. Thomas Raffles pun menyebut bahwa motif batik parang rusak dan sawat merupakan batik yang biasa digunakan oleh raja. Coraknya berbeda dengan jenis batik lain, terutama pada pola hias dan warna.
Uraian mengenai batik larangan kemudian diperbaharui oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II pada Februari 1801. Aturan mengenai motif batik yang semula terbatas untuk kain dan kampuh, dalam aturan kedua ini ditambahkan perihal bentuk udheng atau penutup kepala bagi laki-laki. Motif-motif tersebut antara lain, motif sawat, parang rusak, semen, kawungsari, udan riris, cumengkirang, huk, sembagen ombaking toya, huk, modhang, bangun tulak, dan motif lisah teleng. Aturan mengenai motif batik selanjutnya ditemukan pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Aturan tersebut dimuat dalam Algemeene en Internationale Tentoonstelling van Brussel - Catalogus der Nederlandsche Afdeeling 1910, yang menyebut: parang centhung, semen ageng sawat gurda, semen redi, dan tlacap sebagai motif larangan. Sementara pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menambahi deretan motif batik larangan antara lain parang gendreh, parang rusak klithik, rujak dan rujak senthe (Bab bebet; Rijksblad Kasultanan 1927).
Masing-masing pemerintahan Sultan memiliki aturan tersendiri terkait dengan penggunaan batik larangan. Oleh karenanya, dalam pameran bersama Jagaddhita, Keraton Yogyakarta menampilkan 15 motif batik yang terdiri: parang rusak barong ageng, parang rusak barong alit, parang rusak gendreh, parang rusak klithik, parang parikesit, parang centhung, parang templek, parang baladewa, parang rujen, udan riris, rujak senthe, parang klithik senthe, parang seling huk, parang kusuma ceplok gurdha, dan parang rusak gendreh ceplok paradis. Kelimabelas motif parang tersebut diharapkan memberi wacana kepada pengunjung tentang beragam motif batik larangan dan berbagai pengembangannya.
Selama penyelenggaraan pameran, para pengunjung diajak untuk merasakan praktik membatik sebagai sarana edukasi. Pameran pun dimeriahkan dengan berbagai gelaran peragaan busana, lokakarya busana adat, hingga gelar wicara mengenai batik dari masa ke masa. Pameran yang menempati seluruh ruangan dari Gedung Jogja Expo Center (JEC) kemudian resmi ditutup (23/10) dengan apresiasi baik dari para peserta dan pengunjung.