Simposium Internasional Budaya Jawa 2023: Makna dan Fungsi Vegetasi dalam Melestarikan Alam dan Tradisi di Kesultanan Yogyakarta
- 15-03-2023
Setelah dua tahun digelar secara daring, pada 2023, Keraton Yogyakarta melangsungkan perhelatan Simposium Internasional Budaya Jawa secara hibrida, baik luring dan daring dengan tajuk utama Makna dan Fungsi Vegetasi dalam Melestarikan Alam dan Tradisi di Kesultanan Yogyakarta. Simposium kelima yang digelar dalam rangka memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 bersama dengan permaisuri bergelar GKR Hemas, diselenggarakan pada 9-10 Maret 2023 di Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Dibuka oleh GKR Mangkubumi, gelaran simposium kali ini dihadiri oleh Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, para Putri dan Mantu Dalem, GKBRAA Paku Alam, para rektor, dekan, profesor, cendekiawan, perwakilan dari berbagai KBRI dan KJRI, sejumlah tamu undangan, serta sekitar 300 peserta yang hadir dari berbagai belahan bumi.
Menurut GKR Hayu, selalu ketua panitia, tema vegetasi dipilih untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan yang sudah diwariskan pendahulu Keraton Yogyakarta. Gusti Hayu menambahkan, “Agar tidak sekadar memanfaatkan terus-menerus namun juga mereproduksinya dengan jalan pelestarian adiluhung yang selaras dengan falsafah Pangeran Mangkubumi “Hamemayu Hayuning Bawono”, memperindah alam seisinya, termasuk menjaga dan merawat kelestarian alam”. Dalam sambutan di penghujung simposium, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 menguatkan hal tersebut dengan menuturkan bahwa selama ini keraton telah melakukan pembibitan dari benih utama atau “mutrani” pada vegetasi yang punya sejarah khusus di keraton, seperti beberapa pohon beringin termasuk yang ada di Alun-alun Utara dan Selatan. Sehingga jika pohon utama menua dan roboh atau terbakar seperti yang pernah terjadi, keraton tidak akan membeli yang baru sebagai pengganti, melainkan menanam kembali dari benih utama yang sudah disiapkan dari tempat budidaya khusus di daerah Bantul. Tentu hal ini menjadi salah satu contoh wujud upaya melestarikan alam sekaligus sejarah di dalamnya.
Dalam simposium kali ini, 12 makalah yang terpilih oleh 4 orang reviewer kemudian dibagi ke dalam empat tema dan dipresentasikan dalam dua hari penyelenggaran. Di hari pertama, tema Sejarah dan Filosofi yang dimoderatori oleh Prof. Nur Hidayanto Pancoro Setyo Putro (UNY) dan Keynote Speaker Dr. Susanto (UNS, Surakarta) mengulas 3 makalah yaitu The Use of Plants in Javanese Wangsalan (Prof. I Dewa Putu Wijana), Jambu Dersana di Keraton Yogyakarta: Sultan sebagai Dewaraja dan Insan Teladan (Dr. Revianto B. Santoso), dan Pohon Sawo Kecil sebagai Simbol Budi Pekerti Masyarakat Jawa di Dalam dan Luar Tembok Keraton Yogyakarta (Lutfi Maulana Hakim, S.IP., M.A. dan Weka Kusumastiti, M.Pd.)
Sesi kedua bertema Sains dengan Keynote Speaker Ian Rowland (SOAS Alumni, Practicioners) dan dimoderatori oleh Rizki Rahma Nurwahyuni (Female Puppeteer, Chemistry Education Graduate) membahas 3 makalah, yaitu Functions of Vegetation Covers of The Sultanate of Yogyakarta for Urban Carbon Sequestration and Globlal Warming Mitigation (Andri A. Wibowo), Jenis-jenis Pohon Pilihan HB I dengan Arsitektur Pohon Berfungsi sebagai Penaung dan Penyerap Polutan di Sumbu Filosofi Yogyakarta (Atus Syahbudin, S.Hut, M.Agr., Ph.D.), dan Sarana Edukasi Mengenai Makna dan Peran Vegetasi di Sepanjang Jalan Malioboro kepada Masyarakat Melalui Pemasangan QR-Code pada Setiap Pohon untuk Membentuk Budaya Peduli Lingkungan dan Tradisi (Fauzan Rizki Irvanza).
Selanjutnya, tema sastra di sesi pertama hari kedua dimoderatori oleh Dr. Kuswarsantyo (KRT Condrowaseso) dengan reviewer Tim Behrend (Emeritus Professor University of Auckland, New Zealand). Tiga makalah yang dipaparkan, antara lain Vegetasi dalam Naskah-naskah Jawa (Dr. Arsanti Wulandari, M.Hum.), Tumbuhan dalam Ilustrasi Serat Baratayuda Naskah Pusaka Keraton Yogyakarta (Kustri Sumiyardana, M.Hum.), dan Etnoflora sebagai Metafora dalam Teks Wanita Utama: Perspektif Botani Sastra (Nur Eka Ratna Dewi).
Tema terakhir yang diulas, yaitu Sosial Budaya. Dimoderatori Elizabeth D. Inandiak (Jurnalis, Penulis, dan Penyair) dengan reviewer Dr. Annabel T. Gallop (The British Library), sesi ini membahas 3 makalah, yaitu Fungsi Mitos Pepohonan di Karaton Yogyakarta dan sekitarnya: Penjaga Tradisi, Perilaku, dan Ekologi (Dr. Novi Siti Kussuji Idrastuti, M.Hum.), Keselarasan Alam dan Tradisi: Modalitas Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal dan Bervisi Kelestarian Lingkungan di Kasultanan Jogja (Dr. Ariefa Efianingrum), dan Gunungan: Benang Merah Kontinuitas Diversivikasi Pangan Lokal dan Resiliensi Konservasi Alam (Nur Hanifah Insani, M.Pd.).
Di sela-sela pemaparan makalah pada hari kedua juga dilangsungkan gelar wicara bersama GKR Hayu, sekaligus peluncuran buku Awisan Dalem Bathik - Vol. I Motif Parang oleh KPH Notonegoro. Harapannya, selain untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap batik sebagai warisan budaya, adanya buku ini bisa menjadi dokumentasi tertulis untuk memperdalam pemahaman masyarakat mengenai motif batik, khususnya motif parang terkait kegunaan dan juga pemaknaannya.
Sama seperti sebelumnya, mekanisme tanya jawab dalam simposium tidak dilakukan secara langsung melainkan melalui aplikasi online. Kali ini melalui QR-code. Peserta dapat langsung menuliskan pertanyaan saat pemaparan berlangsung dan tidak perlu menunggu hingga prosesi tanya jawab sehingga proses berlangsungnya simposium menjadi lebih efektif dan efisien.
Hal menarik lainnya, gelaran simposium kali ini benar-benar menjangkau semua kalangan dari berbagai latar belakang, wilayah, dan juga lintas generasi. Sebagai pembicara termuda yang mewakili generasi Z, Fauzan (22) menyampaikan pesan kepada rekan sebayanya di luar sana bahwa, “Jangan takut untuk mencoba, percaya diri saja”. Ia menambahkan, jika memiliki ide cobalah diutarakan dan diperkenalkan di mimbar yang lebih luas agar dapat saling melengkapi untuk suatu bidang ilmu, memberikan dampak lebih, dan dapat memberi kontribusi yang lebih riil bagi bangsa Indonesia.