Kembali Digelar Normal, Keraton Yogyakarta Bagikan Tujuh Gunungan Garebeg Sawal
- 08-05-2023
“Gya”! Aba-aba masing-masing Panji (komandan) Bregada (prajurit) Keraton Yogyakarta terdengar menggema pada Sabtu (22/04). Aba-aba tersebut sebagai komando pengatur gerak bregada dalam mengawal tujuh buah gunungan yang diperebutkan masyarakat dalam prosesi Hajad Dalem Garebeg Sawal. Agenda ini merupakan puncak perayaan Idulfitri 1444 H/Ehe 1956. Di belakang sepuluh bregada prajurit, sekitar pukul 10.15 WIB, secara bertahap tujuh gunungan dibawa turun dari Pelataran Sitihinggil Lor oleh Kanca Abang/Narakarya menuju Kagungan Dalem Masjid Gedhe dengan diiringi irama gamelan Kanjeng Kiai Guntur Laut.
Tujuh buah gunungan tersebut terdiri dari lima jenis, yakni Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Pawuhan. Terdapat dua Gunungan Kakung lain yang selanjutnya dibagikan di dua tempat, yakni Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan. Utusan Dalem yang mengantarkan Gunungan Kakung ke Kepatihan yakni KRT Widyacandra Ismayaningrat. Untuk Gunungan Kakung yang diberikan kepada Pura Pakualaman, diantarkan oleh KRT Wijaya Pamungkas. Sementara itu, lima gunungan lain, diperebutkan masyarakat di halaman Kagungan Dalem Masjid Gedhe setelah doa dibacakan oleh Abdi Dalem Pengulon.
Terkait dengan jalannya prosesi Garebeg Sawal, Penghageng KHP Parasraya Budaya GKR Maduretno menuturkan bahwa setelah tiga tahun digelar terbatas karena pandemi, Hajad Dalem Garebeg Sawal tahun 2023 kembali digelar sebagaimana mestinya dengan iring-iringan bregada prajurit dan gunungan. “Tahun ini rute gunungan tak lagi melewati Alun-alun Utara. Gunungan yang berada di Pancaniti, dibawa Kanca Abang menuju Masjid Gedhe melalui Regol Brajanala-Sitihinggil Lor-Pagelaran-keluar lewat barat Pagelaran menuju Masjid Gedhe,” jelas Gusti Madu.
Putri ketiga Ngarsa Dalem ini menambahkan bahwa selama pelaksanaan peringatan Idulfitri terutama Garebeg Sawal dan Ngabekten, diterapkan kawasan no fly zone 0-150 meter dari permukaan tanah dan berlaku sejak Rabu (19/04) pukul 00.00 WIB hingga Minggu (23/04) pukul 23.59 WIB.
Kebijakan tersebut diambil lantaran mengingat sejarah dan maknanya, Garebeg dan Gunungan merupakan prosesi sakral yang harus dihormati. Penghageng II Kawedanan Widya Budaya KRT Rintaiswara menambahkan bahwa sejatinya Garebeg merupakan salah satu upacara yang rutin diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. Kata Garebeg, berasal dari bahasa Jawa yang berarti berjalan bersama-sama di belakang Ngarsa Dalem atau orang yang dipandang seperti Ngarsa Dalem.
“Garebeg yang dilakukan di keraton adalah Hajad Dalem, sebuah upacara budaya yang diselenggarakan keraton dalam rangka memperingati hari besar agama Islam yakni Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sementara gunungan merupakan perwujudan kemakmuran keraton atau pemberian dari raja kepada rakyatnya. Jadi Garebeg singkatnya adalah perwujudan rasa syukur akan datangnya Idulfitri, yang diwujudkan dengan memberikan rezeki pada masyarakat melalui ubarampe gunungan yang berupa hasil bumi dari tanah Mataram,” tutupnya.
Bersamaan dengan pelaksanaan Hajad Dalem Garebeg, digelar Hajad Dalem Ngabekten dengan Ngarsa Dalem pada Sabtu (22/04) dan Minggu (23/04). Ngabekten hari pertama diikuti oleh Adipati Pura Pakualaman, Bupati/Wali Kota, Abdi Dalem pria pangkat wedana ke atas, Sentana Dalem pria, dan Abdi Dalem Kaji serta Abdi Dalem Juru Kunci Petilasan dan Masjid Kagungan Dalem. Sementara, Ngabekten hari kedua akan diikuti oleh Permaisuri, Putra Dalem, Istri bupati/wali kota, Sentana Dalem putri, dan Abdi Dalem Keparak.
Numplak Wajik Awali Pembuatan Gunungan Putri
Sebelum digelar Hajad Dalem Garebeg, pada Rabu (19/04) telah dilaksanakan prosesi Numplak Wajik di Panti Pareden, Kompleks Magangan, Keraton Yogyakarta. Prosesi yang memiliki inti untuk menempatkan isi badan Gunungan Estri/Wadon dengan wajik ini dipimpin putri sulung Sri Sultan, GKR Mangkubumi. “Itu bagian dari kami membuat gunungan, jadi dalamnya ada wajik, kemudian ada rengginang. Itu merupakan contoh sendiri untuk kita mulai mengadakan garebeg,” ungkap Putri Dalem yang kini menjabat sebagai Penghageng KHP Datu Dana Suyasa, Rabu (19/04).
Prosesi diawali dengan menumplak sebakul wajik pada jodhang. Bentuknya serupa silinder dengan ketinggian sekitar pinggul orang dewasa. Rangka Gunungan Wadon yang terbuat dari bambu kemudian dipasang, diikat erat pada pasak besi yang terdapat pada jodhang. Mustaka gunungan yang telah dipersiapkan sebelumnya diangkat dan ditancapkan pada wajik tadi.
Abdi Dalem Keparak selanjutnya mengoles lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle pada jodhang. Prosesi kemudian diakhiri dengan memasang sinjang (kain panjang) songer yang dililitkan pada rangka gunungan. Lilitan tersebut kemudian diikuti lilitan semekan (kain penutup dada perempuan) dan pada bagian depannya dililitkan pula kain bermotif bangun tulak. Irama gejog lesung turut mengiringi selama prosesi Numplak Wajik dilakukan sebagai penolak bala.
Gladi Bersih Prajurit untuk Arak-arakan Gunungan
Selain prosesi Numplak Wajik, Gladi Bersih Prajurit juga diselenggarakan pada Kamis (20/04) guna mempersiapkan arak-arakan Hajad Dalem Garebeg. Gladi yang diikuti oleh 10 bregada berlangsung sejak pukul 15.30 – 17.30 WIB di area Kamandungan Kidul, Magangan, Keben (Kamandungan Lor), Pagelaran, hingga Masjid Gedhe.
Rute iringan prajurit saat Garebeg Sawal tahun ini tidak seperti biasanya yang berawal dari Pratjimosono, prajurit pengiring kali ini diberangkatkan dari Pelataran Kamandungan Kidul. Ada hal yang berbeda dalam kesatuan Prajurit Nyutra dalam iring-iringan bregada kali ini. Pada kesempatan ini, para penari (mataya) dari Kawedanan Kridhamardawa didapuk sebagai bagian Prajurit Nyutra. Hal ini sesuai dengan asal-usul Prajurit Nyutra yang dianggap sebagai prajurit paling dekat dengan raja. Bukan sekadar berbaris, pasukan ini harus berjalan sambil menari tayungan dengan membawa lembing/towok untuk mengelabuhi musuh. Sehingga dahulu, kemampuan menari tayungan menjadi salah satu syarat untuk bergabung ke dalam kesatuan prajurit ini.