Garebeg Sawal Jimawal 1957, Mengembalikan Tradisi Garebeg di Ndalem Kadipaten
- 11-04-2024
Kemis Pon (11/04) atau 1 Sawal Jimawal 1957, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menggelar Hajad Dalem Garebeg Sawal dalam rangka memperingati Idulfitri 1445 Hijriah. Momentum Garebeg Sawal kali ini juga bertujuan untuk merekonstruksi tradisi garebeg seperti pada masa pemerintahan Sultan-sultan terdahulu, agar dapat dimaknai oleh masyarakat secara utuh. Bukan hanya tata cara upacara garebeg yang disesuaikan, penambahan lokasi tujuan pareden gunungan hingga esensi garebeg sebagai bentuk dari sedekah Sultan kembali diluruskan.
Kembalinya tradisi garebeg seperti sedia kala dilakukan oleh Keraton Yogyakarta dengan dasar sejarah yang jelas. Berdasarkan naskah Ngayogyakarta Pagelaran atau Serat Pagelaran yang ditulis tahun 1936, tercatat bahwa prosesi garebeg menjadi puncak dari perayaan 1 Sawal. Perayaan tersebut dilakukan dengan memberikan pareden gunungan kepada Abdi Dalem dan masyarakat di beberapa lokasi, seperti di Masjid Gedhe, Kepatihan Danurejan, Kadipaten Pakualaman, dan Kadipaten Anom atau kini dikenal dengan nama Ndalem Mangkubumen.
Dirunut dari sejarah, Ndalem Mangkubumen merupakan kediaman putra mahkota GPH Hangabehi yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pada masa pemerintahan Sultan Ketujuh (1877-1921), Ndalem Mangkubumen menjadi kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, yang tidak lain merupakan adik Sultan. Ndalem Mangkubumen sebagai tempat perwujudan dari kediaman putra mahkota dalam sejarahnya memiliki tatanan pemerintahannya sendiri. Merujuk pada dokumen dan data sejarah yang jelas, Keraton Yogyakarta kembali melibatkan Ndalem Mangkubumen sebagai salah satu lokasi penyerahan pareden gunungan.
Di samping penambahan Ndalem Mangkubumen sebagai lokasi penyerahan pareden gunungan, tata cara garebeg pun mengalami penyesuaian. Keraton Yogyakarta menyediakan lima jenis gunungan, yakni dua Gunungan Kakung, satu Gunungan Estri, satu Gunungan Gepak, satu Gunungan Dharat, dan satu Gunungan Pawuhan, sehingga total terdapat enam buah gunungan. Gunungan yang telah diinapkan semalam di Bangsal Pancaniti, kompleks Kamandungan Lor, kemudian dibawa oleh Narakarya (Kanca Abang) melalui Regol Brajanala-Sitihinggil Lor-Bangsal Pagelaran-keluar lewat barat Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Pukul 10.30 WIB, lima gunungan sudah sampai di Masjid Gedhe dan selanjutnya didoakan oleh Abdi Dalem Pengulon. Satu Gunungan Kakung dan empat jenis gunungan lainnya kemudian diberikan kepada masyarakat yang menunggu giliran (nyadhong) di pelataran Masjid Gedhe tanpa rayahan, sementara satu Gunungan Kakung lainnya dibawa dan diberikan ke Kadipaten Pakualaman.
Sejatinya, masyarakat memperoleh gunungan dengan nyadhong/menunggu giliran untuk mendapatkan bagian. “Ini merupakan perlambang kesabaran manusia. Berbeda dengan merayah, karena kesannya yang kuat pasti yang akan mendapatkan dahulu,” jelas Carik Kawedanan Widya Budaya, KRT Widyacandra Ismayaningrat.
Di sisi lain, Kompleks Kepatihan dan Ndalem Mangkubumen menerima masing-masing 50 buah ubarampe pareden gunungan. Di Kompleks Kepatihan, ubarampe pareden gunungan diterima oleh Sekretaris Daerah dan dibagikan kepada Aparatur Sipil Negara. Sekitar pukul 11.00 WIB, ubarampe pareden gunungan telah tiba di Ndalem Mangkubumen dan diterima oleh GKR Mangkubumi, putri Sulung Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Usai menerima ubarampe pareden gunungan, GKR Mangkubumi didampingi oleh GKR Maduretno dan GKR Hayu membagikan simbolisasi sedekah Sultan tersebut kepada Abdi Dalem yang hadir, antara lain dari Kanca Puraraksa, Kridhamardawa, Parasraya Budaya, Keparak Para Gusti, serta Datu Dana Suyasa.
“Ubarampe pareden gunungan diberikan dengan cara diemban. Perihal ini merupakan simbol dari wujud penghormatan karena ubarampe adalah sedekah raja/Paring Dalem,” tambah Kanjeng Candra. Lebih jelasnya, ubarampe yang dibawa oleh para Utusan Dalem ke Ndalem Mangkubumen diemban dengan kain cinde warna merah yang biasa digunakan dalam upacara-upacara besar dan sakral. Selain itu mereka diiringi kesatuan Bregada Surakarsa yang dahulu merupakan prajurit putra mahkota.
Sebanyak 50 pareden gunungan yang dibagikan berwujud rengginang dan tlapukan bintang yang memiliki lima warna. “Hitam melambangkan kewibawaan dan keteguhan, putih itu kesucian, merah lambang keberanian, hijau mengisyaratkan kesuburan/kemakmuran, serta kuning melambangkan kemuliaan,” tutup Kanjeng Candra. Pemilihan warna tersebut erat kaitannya dengan kearifan jawa terkait mata angin (kiblat papat limo pancer), pancawara atau perhitungan hari pasaran, maupun gambaran hawa nafsu manusia.
Selama pelaksanaan Hajad Dalem Garebeg Sawal, kompleks Kamandungan Kidul, Kemagangan, Kedhaton dan Kamandungan Lor (Keben) ditutup bagi masyarakat umum dan pariwisata. Ditutupnya kompleks Kamandungan Lor bagi masyarakat umum karena akan digunakan sebagai lokasi istirahat para prajurit sekaligus menjaga ketertiban dari prosesi Hajad Dalem. Masyarakat tetap dapat menyaksikan jalannya arak-arakan gunungan dari Bangsal Pagelaran hingga pelataran Masjid Gedhe.
Selain itu, zona larangan terbang atau no fly zone juga diberlakukan bagi pesawat nirawak atau drone dan sejenisnya rentang 0 – 150 meter dari permukaan tanah (0-492 feet AGL). Hal ini dilakukan guna mendukung kelancaran seluruh prosesi, sekaligus memberikan penghormatan terhadap jalannya Hajad Dalem Garebeg yang merupakan simbol sedekah dari raja. Hal ini juga sesuai dengan Nomor NOTAM B0614/24 NOTAMN yang diterbitkan AirNav Indonesia.
Pada waktu yang sama tengah berlangsung prosesi Ngabekten Kakung di dalam kompleks Kedhaton. Untuk menutup rangkaian Garebeg Sawal, Keraton Yogyakarta juga mengadakan pementasan Wayang Kulit semalam suntuk atau Ringgitan Bedhol Songsong. Bertindak sebagai dalang, Mas Lurah Cermo Gundholo membawakan lakon Antareja Takon Bapa di Sasana Hinggil Dwi Abad (Kagungan Dalem Sitihinggil Kidul) mulai pukul 20.00 WIB.