Garebeg Besar Jimawal 1957, Momentum Revitalisasi Abdi Dalem Citralata dan Pralata
- 24-06-2024
Selasa Wage (18/6), Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menggelar Hajad Dalem Garebeg Besar Jimawal 1957/1445 Hijriah. Penyelenggaraan Garebeg Besar tahun ini menjadi upaya keraton untuk merevitalisasi kembali pelbagai tata rakiting lampah-lampah garebeg sesuai dengan peristiwa Garebeg masa Sultan-sultan sebelumnya. Momentum revitaliasi lampah garebeg tersebut rupanya sudah dimulai pada Garebeg Sawal Jimawal 1957 tempo lalu dengan melibatkan Ndalem Mangkubumen sebagai salah satu lokasi penyerahan pareden gunungan. Sementara pada Garebeg Besar Jimawal 1957, keraton menghadirkan kembali atau merevitalisasi sepasang Abdi Dalem Citralata dan Pralata.
Lama tak terlihat, sepasang Abdi Dalem tersebut terakhir diketahui hadir dalam upacara Garebeg pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebelum tahun 1942. Pasca1970, ketika kesatuan prajurit keraton mengalami perlembagaan ulang, sepasang Abdi Dalem Citralata dan Pralata sudah tidak ditemukan lagi kehadirannya.
Abdi Dalem Citralata dan Pralata merupakan sepasang Abdi Dalem Lurah Taledhek yang bertugas mengantarkan pareden gunungan. Sepasang Abdi Dalem ini tercatat dalam dokumentasi arsip Ir. J.L. Moens berjudul Platen Album Yogyakarta Taun 1933/1934. Disebutkan bahwa Abdi Dalem Citralata dan Pralata berfungsi seperti halnya penolak bala. Mereka akan berjalan di depan rangkaian gunungan sambil menari dan bertingkah lucu. Tidak jarang mereka juga bergurau atau dalam istilah pertunjukan wayang disebut gara-gara, yang tentunya dengan banyolan khas.
“Menurut arsip keraton sezaman Ngarsa Dalem Hamengku Buwono VIII, Abdi Dalem Citralata dan Pralata berjalan di depan pareden gunungan dengan diiringi gamelan Kiai Sekati. Abdi Dalem Citralata dan Pralata merupakan Lurah Taledhek maka lampah-nya saat mengantarkan pareden gunungan dilakukan dengan cara menari,” jelas KPH Notonegoro.
Busana yang digunakan oleh Abdi Dalem Citralata dan Pralata pun direvitalisasi sesuai dengan rujukan arsip tulis maupun arsip visual. Keduanya mengenakan busana berupa kuluk putih dengan mundri atau nyamat, yakni hiasan emas yang seperti pucuk gunung di tengah kuluk. Rambut kedua Abdi Dalem Taledhek tersebut dikuncir, riasan wajah berbedak putih, dan mengenakan sumping melati, kalung melati dengan bunga cempaka berwarna putih dan kuning. Abdi Dalem ini juga menggunakan kain kampuh sindur berwarna merah dan celana putih yang dilengkapi keris serta diberi rangkaian melati, sekaligus membawa tongkat panjang.
Selain Abdi Dalem Citralata dan Pralata, momentum Garebeg Besar menjadi upaya untuk menghadirkan kembali Songsong Agung atau Songsong Bawat. Istilah Songsong Bawat merujuk kepada payung yang menjuntai ‘nglewer’. Songsong Agung merupakan payung yang menandai digelarnya upacara besar atau Hajad Dalem. Terdapat keunikan dari songsong agung, yakni kain yang menjuntai mengelilingi plak atau mahkota payung, ada pula ornamen hias fauna yang beraneka ragam (buron wana) di sekeliling kain.
Kehadiran sepasang Abdi Dalem Citralata dan Pralata serta Songsong Bawat dalam Hajad Dalem Garebeg Besar menjadi bukti akan komitmen dari Keraton Yogyakarta dalam melestarikan budaya.