Wayang Wong Darmadewa-Darmadewi, Gelaran Spektakuler Pembuka Pameran Parama Iswari
- 11-10-2024
“Sebet byar wauta, hanenggih ingkang pinudyeng kandha. Lelangen Ringgit Tiyang lampahan Darmadewa-Darmadewi hamethik saking Serat Bomakawya, yasan Kawedanan Kridhamardawa ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Kangge hamengeti Pameran Parama Iswari: Mahasakti Keraton Ngayogyakarta.”
“Syahdan, adapun yang teruntai dalam keindahan narasi. Pergelaran Wayang Orang dengan lakon Darmadewa-Darmadewi yang menukil dari Serat Bomakawya, gubahan Kawedanan Kridhamardawa Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam rangka memperingati pembukaan Pameran Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta.”
Selasa malam (01/10), terdengar lantang lantunan narasi yang dibawakan oleh pemaos kandha di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran. Narasi tersebut mengawali pertunjukan Wayang Wong (wayang orang) dengan lakon Darmadewa-Darmadewi yang diadakan dalam rangka pembukaan pameran temporer Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta. Pertunjukan Wayang Wong kali ini berlangsung selama empat hari, tepatnya pada tanggal 1, 2, 4, dan 5 Oktober 2024.
Pertunjukan Wayang Wong kali ini tampak berbeda dari biasanya, sebab pada pementasan sebelumnya paling lama digelar selama tiga hari. Namun, kali ini Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya berkolaborasi dengan Kawedanan Kridhamardawa menyajikan pementasan Wayang Wong Darmadewa-Darmadewi selama empat hari dan terbagi dalam empat episode: Lair, Nitis, Boyong, dan Krama. Dalam dunia Wayang Wong, hal ini dikenal sebagai pertunjukan butul sekawan dinten yang berarti ‘tamat dalam empat hari’.
Keempat episode tersebut berhasil menarik antusiasme luar biasa dari para penonton. Terhitung 2.436 penonton yang menyaksikan secara langsung. Pada penghujung episode, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 berkenan hadir sekaligus membuka pameran Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta. Turut hadir mendampingi Putra Dalem Putri GKR Condrokirono, GKR Hayu, dan GKR Bendara, serta segenap tamu undangan.
“Momentum pameran temporer akhir tahun dengan tajuk Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta kian berwarna dengan pementasan Wayang Wong Darmadewa pada malam ini,” ungkap Ngarsa Dalem saat memberikan sambutan.
Kisah Darmadewa-Darmadewi merupakan lakon carangan gubahan Kawedanan Kridhamardawa yang dinukil dari Kagungan Dalem Serat Bhomakawya (W.25) koleksi Perpustakaan Widyabudaya Keraton Yogyakarta. Episode pertama, yakni Lair mengisahkan penobatan Batara Wisnu sebagai Jagadsaksana, hal ini mengundang kecemburuan Batara Brama hingga menyebabkan persaingan antara kedua dewa tersebut. Dari persaingan tersebut, lahirlah dua bayi bernama Darmadewa dan Darmadewi yang pada masa depan akan berjodoh. Di tempat lain, kisah asmara Batara Wisnu dengan Batari Pertiwi melahirkan sosok bayi angkara murka bernama Bomasura.
Berlanjut pada episode kedua, yakni Nitis. Darmadewa dan Darmadewi mendapat perintah dari Batara Wisnu untuk menitis ke dalam wujud manusia. Darmadewa menitis ke dalam tubuh putra Prabu Kresna, yakni Samba, sedangkan Darmadewi menitis kepada Dewi Januwati, putra Prabu Baladewa. Semua kejadian tersebut beriringan dengan Bomasura yang makin beranjak dewasa dan berniat untuk mencari ayahnya. Perjalanan pencarian Bomasura tersebut membawanya menjadi seorang raja di Surateleng setelah berhasil mengalahkan Bomantaka.
Pada episode ketiga Boyong, Bomasura telah berganti nama menjadi Bomantara. Sebagai raja, ia tergila-gila dengan Dewi Januwati, tanpa berpikir panjang ia hendak menuju Mandura untuk melamar Dewi Januwati. Di Gunung Tenunan, Samba sebagai titisan Darmadewa hendak mencari belahan jiwanya yakni Januwati yang merupakan titisan Darmadewi. Dengan didampingi Punakawan, Samba berangkat menuju Mandura. Di sinilah mulai muncul permasalahan cinta segitiga antara Samba, Januwati, dan Bomantara.
Sampailah pada episode terakhir yakni Krama. Raden Samba berhasil bertemu dengan pujaan hatinya yakni Dewi Januwati. Hal tersebut membuat amarah Bomantara, hingga akhirnya pertempuran tak dapat dielakkan antara Bomantara dan Samba. Atas kesaktiannya, Bomasura dapat membunuh Samba. Prabu Kresna yang mengetahui masalah tersebut, segera melepaskan senjata cakra hingga Bomantara tewas. Atas kesetiaannya terhadap Samba yang telah mati, Januwati berniat untuk bunuh diri sebagai wujud bela pati. Rentetan peristiwa ini membuat Semar geram hingga akhirnya menuntut ke Batara Guru. Pada akhirnya, Prabu Kresna sebagai titisan Wisnu harus kembali menciptakan keseimbangan dunia, dengan menghidupkan kembali Raden Samba. Sedangkan Bomantara yang juga merupakan putra Batara Wisnu, dihidupkan kembali oleh Hyang Antaboga. Atas kehendak dewata, pada akhirnya Samba dan Januwati dinikahkan.
Secara keseluruhan, pementasan Wayang Wong kali ini melibatkan hingga sekitar 100 penari, termasuk keterlibatan Mantu Dalem KPH Notonegoro selaku Penghageng Kawedanan Kridhamardawa yang turut serta berperan sebagai Bathara Guru. KPH Notonegoro mengutarakan bahwa, lakon yang dibawakan ini sejalan dengan narasi perempuan tangguh dalam pameran temporer Parama Iswari. “Melalui pementasan Wayang Wong Darmadewa-Darmadewi kali ini, kami ingin menekankan sebuah teladan akan kesetiaan dan ketangguhan seorang perempuan yang ditampilkan oleh tokoh Darmadewi dan Januwati. Melalui perjuangan dan kesetiannya, seorang perempuan pun bisa mengubah takdir dewata,” jelas Kanjeng Noto.
Selain itu, pertunjukan kali ini menghadirkan berbagai unsur menarik yang memberikan kejutan kepada para penonton hingga mengundang riuh apresiasi. Salah satunya adalah penampilan nan apik yang dibawakan oleh peraga Merak Manyura pada episode pertama. Tak hanya itu, hadir sosok Naga dalam Wayang Wong yang telah lama tak pernah dipentaskan, kali ini dihadirkan kembali sebagai perwujudan Batara Wisnu serta Hyang Antaboga. Hal ini tentunya memberikan tantangan baru kepada Abdi Dalem Mataya (Abdi Dalem Penari) untuk menyesuaikan gerak, sebab terdapat adegan di mana tokoh naga tersebut juga ditampilkan berperang dengan Batara Brama. Semoga pementasan Wayang Wong Darmadewa-Darmadewi dan beragam eksplorasi yang disajikan makin menambah khazanah kebudayaan di Keraton Yogyakarta, hingga mampu menarik lebih banyak apresiasi penonton dari berbagai lintas generasi.