Semangat Manunggaling Kawula Gusti, Keraton Yogyakarta Selenggarakan Labuhan Merapi
- 25-02-2025

Satu kali setahun Keraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara labuhan, termasuk ke Gunung Merapi, pada Jumat (31/01) atau 1 Ruwah Je 1958. Upacara ini merupakan salah satu rangkaian puncak dari peringatan Kenaikan Takhta Sri Sultan atau Tingalan Jumenengan Dalem yang ke-37 berdasarkan kalender Jawa. Sejarah mencatat bahwa Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 dinobatkan sebagai raja Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 7 Maret 1989 atau 29 Rejeb Wawu 1921. Puncak dari acara Tingalan Jumenengan Dalem tahun ini berlangsung pada Rabu (29/01) atau 29 Rejeb Je 1958. Di Keraton Yogyakarta, acara tersebut diperingati dengan memanjatkan doa melalui upacara Sugengan.
Sehari setelah Sugengan, Hajad Dalem Labuhan diselenggarakan di tiga tempat. Seluruh uborampe labuhan diberangkatkan oleh para Mantu Dalem. Uborampe yang telah diinapkan semalam di Bangsal Srimanganti tahun ini diserahterimakan oleh KPH Wironegoro, KPH Purbodiningrat, dan KPH Notonegoro melalui para Utusan Dalem kepada para juru kunci di Pantai Parangkusumo, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu.
Utusan Dalem yang sekaligus menjadi pimpinan rombongan menyerahkan uborampe untuk Labuhan Merapi adalah KRT Kusumonegoro dan KRT Widya Winoto. Kamis (30/1), tepat pukul 08:30 WIB, kedua Utusan Dalem bersama beberapa Abdi Dalem dari reh Kawedanan Widya Budaya sampai di pemberhentian yang pertama, yaitu Kapanewon Depok, Sleman. Panewu Kapanewon Depok, Wawan Widiantoro, S.IP, MPA, sebagai kepala wilayah menerima uborampe atas nama Bupati Sleman untuk kemudian dibawa ke lokasi berikutnya di Kapanewon Cangkringan. Sekitar pukul 09:30 WIB, uborampe kemudian disampaikan kepada Djaka Sumarsono, AP., M.Si selaku Panewu Kapanewon Cangkringan untuk diserahkan kepada Juru Kunci Merapi.
Setelah diserahkan kepada juru kunci, uborampe Labuhan Merapi diarak dengan 30 jeep menuju petilasan Juri Kunci Merapi di Desa Kinahrejo. Selanjutnya, para Juru Kunci di wilayah Merapi yang dipimpin oleh Mas Wedana Suraksa Harga atau Pak Asih menyambut hadirnya Utusan Dalem dengan persembahan pesta rakyat. Di halaman rumah mendiang Mbah Maridjan, rombongan diterima dengan tari Sekar Pujiastuti yang bermakna harapan agar segala sesuatu berjalan dengan baik dan lancar. Selanjutnya, fragmen tari tentang asal usul Labuhan Merapi dipersembahkan, dan ditutup dengan rayahan gunungan hasil bumi lereng Merapi kepada seluruh tamu yang hadir.
Dalam fragmen tari disuguhkan jalan cerita yang mengingatkan kembali terhadap kebesaran pendiri Kerajaan Mataram, yaitu Panembahan Senopati. Alkisah, dalam rangka membangun dinasti, sang Panembahan melakukan meditasi di Pantai Parangkusumo dan bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Penguasa pantai selatan tersebut bertekad mendukung Panembahan beserta seluruh keturunannya dengan syarat beliau bersedia memakan persembahan Sang Ratu yang dinamakan “ndog jagat”. Sekembalinya ke Mataram, pembimbing Panembahan Senopati, yaitu Ki Juru Mertani menyampaikan bahwa persembahan Sang Ratu tersebut dapat mengubah Sang Panembahan menjadi orang yang memiliki kekuatan besar. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa dengan memakan ndog jagat Sang Panembahan dapat berubah tidak lagi menjadi manusia.
Dalam fragmen digambarkan bahwa Ki Juru Mertani memberikan nasihat agar persembahan dari Kanjeng Ratu Kidul diberikan kepada Ki Juru Taman yang merupakan Abdi Dalem di Kerajaan Mataram yang paling setia. Karena kesetiaannya, tanpa ragu Ki Juru Taman bersedia menelan ndog jagat yang seketika mengubah wujudnya menjadi makhluk halus. Dalam wujudnya yang baru, Abdi Dalem yang setia tersebut berjuluk Kiai Sapu Jagat. Dalam kesetiannya Kiai Sapu Jagat bertugas menjaga warga Mataram dari amukan letusan Gunung Merapi. Sebagai bentuk penghormatan, setiap tahun raja yang bertakhta akan mengirimkan uborampe yang utamanya berbentuk pakaian tradisional.
Malam hari menjelang berlangsungnya labuhan (30/1), Desa Kinahrejo riuh menerima kedatangan para tetamu. Tampak hadir menyemarakkan Labuhan Merapi adalah para relawan dari berbagai korps seperti SAR, Pramuka, Tagana, PMI, Penjaga Taman Nasional, dan masih banyak lagi. Semua yang hadir berpadu dalam hangatnya sajian yang disiapkan dalam dapur umum dari BPBD DIY maupun warga masyarakat sekitar Kinahrejo. Atas dukungan dari Kundha Kabudayan atau Dinas Kebudayaan DIY, kehadiran para tamu dan relawan tahun ini disambut dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Lakon yang dibawakan dalam pergelaran wayang atau ringgit cucal malam itu adalah Jamus Kalimosodo. Bertindak selaku dalang adalah Mas Riyo Bupati Anom Manggolo Seputro atau Drs. Sigit Tri Purnomo. Dalang yang juga guru SMPN 3 Jetis Bantul tersebut juga merupakan Abdi Dalem Keprajan di Keraton Yogyakarta. Menariknya, dalam pagelaran malam itu dibuka dengan sepenggal penampilan dari dalang perempuan Rizki Rahma Nurwahyuni, yang merupakan putri dari Ki Manggolo Seputro.
Pagi harinya (31/1) atau bertepatan dengan 1 Ruwah Je 1958, para Abdi Dalem sudah siap membawa uborampe Labuhan Merapi. Uborampe dibawa berjalan menanjak sejauh kurang lebih 3 km menuju ke suatu tempat yang disebut sebagai Petilasan Sri Manganti, Alas Bedengan. Di tempat tersebut seluruh uborampe dihaturkan, disertai doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan untuk keselamatan dan kelestarian alam serta warga di sekitar lereng Merapi maupun Yogyakarta secara lebih luas. Ratusan orang mengiringi langkah para Abdi Dalem mengantarkan uborampe dan membawanya kembali ke Kinahrejo dengan semangat khas Kasultanan Yogyakarta untuk selalu manunggal antara kawula dan Gusti.