Tutup Garebeg Sawal 1958 JE, Keraton Tampilkan Wayang Kulit ‘Sumantri Ngenger’ dalam Bedhol Songsong

Malam semakin ramai di kompleks Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Sebagian menikmati waktu senggang di malam hari pertama Idulfitri, sebagian lagi berbondong-bondong menuju Kagungan Dalem Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad. Sasana Hinggil tampak terang benderang, pintu masuknya berhias dua songsong agung berwarna merah dan hijau. Sedangkan di dalamnya telah tertata rapi simpingan wayang di kanan dan kiri, bersiap menggelar prosesi Bedhol Songsong sebagai rangkaian penutup Hajad Dalem Garebeg Sawal 1958 Je pada Senin (31/03) malam.

Desain Postingan 1

“Sudah beberapa kali Bedhol Songsong kami coba hadirkan kembali. Esensi utama dari rangkaian Hajad Dalem ini yaitu mbedhol songsong (mencabut payung). Kalau zaman dulu yang dicabut adalah songsong atau payung-payung bupati, nah beberapa waktu terakhir ini kami coba rekonstruksi yang dicabut adalah songsong agung,” ungkap KPH Notonegoro, Penghageng Kawedanan Kridhamardawa.

Desain Postingan 3

Prosesi mencabut payung kebesaran ini direkonstruksi pertama kali saat Bedhol Songsong Mulud Je 1958 berlangsung di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada Senin, 16 September 2024 lalu. Bedhol Songsong Sawal Je 1958 menjadi kali kedua rekonstruksi esensi bedhol songsong yang digelar di Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad. Peristiwa dicabutnya songsong agung ini didahului dengan lung tinampi atau serah terima wayang dari KPH Purbodiningrat selaku Utusan Dalem, kepada dalang yang bertugas yakni Mas Lurah Cermo Kartiko.

Bertepatan dengan bunyi ‘dhog dhog dhog’ tanda dalang memulai Pagelaran Ringgit Wacucal Sedalu Natas (pertunjukan wayang kulit semalam suntuk), kedua songsong agung dicabut menjadi penanda berakhirnya rangkaian Hajad Dalem Garebeg Sawal Je 1958. Selanjutnya ML Cermo Kartiko bersama dengan para wiyaga dan sinden dari Kawedanan Kridhamardawa menghadirkan lakon ‘Sumantri Ngenger’ hingga fajar menyingsing.

Desain Postingan 4

Kisah ‘Sumantri Ngenger’ berawal dari niat Raden Kartanadi untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Ia pergi bersama adik perempuannya yang bernama Dewi Srinadi. Prabu Harjunasasra—raja negara Maespati—akan menerima pengabdian Raden Kartanadi apabila Kartanadi bisa mengalahkan Prabu Harjuansasra yang saat itu mempunyai keinginan meminang Dewi Citrawati setelah melihat Cupu Manik Kumala.

Terjadilah peperangan sengit antara Prabu Harjunasasra dan Raden Kartanadi, yang kemudian dilerai oleh Batara Narada. Prabu Harjunasasra pun menerima pengabdian Raden Kartanadi dan memberikan nama baru kepada Raden Kartanadi yaitu Raden Sumantri. Diutuslah Raden Sumantri untuk melamar Dewi Citrawati untuk Prabu Harjunasasra. Raden Sumantri berhasil melamar Dewi Citrawati karena berhasil memutar Taman Sri Wedari dengan dibantu Sukasrana (adik Sumantri yang buruk rupa).

Desain Postingan 5

Dewi Citrawati yang melihat Sukasrana berada di dalam Taman Sri Wedari pun ketakutan dan menangis. Prabu Harjunasasra mengutus patih barunya yaitu Raden Sumantri, yang setelah menjadi patih kemudian bernama Patih Suwanda agar membunuh Sukasrana. Patih Suwanda dengan terpaksa menyanggupi perintah tersebut. Patih Suwanda berbicara pada Sukasrana sebagai Sumantri, sebagai seorang kakak, menyarankan Sukasrana agar pulang. Akan tetapi Sukasrana tidak mau, Raden Sumantri menakut nakuti Sukasrana dengan membawa panah Kiai Cakrasta. Dengan tidak sengaja panah Kiai Cakrasta pun terlepas dan mengenai Sukasrana. Sukasrana tewas di Taman Sri Wedari, ditangan kakaknya sendiri. Sukma Sukasrana berjanji akan menjemput Raden Sumantri di kemudian hari.

Desain Postingan 6

Guna memfasilitasi para pecinta budaya Jawa dari berbagai penjuru dunia, Kawedanan Kridhamardawa juga menghadirkan pengalih bahasa spontan untuk pertunjukan wayang kulit ini ke dalam bahasa Inggris. Dr. Kathryn ‘Kitsie’ Emerson kembali bertugas melakukan alih bahasa, yang dapat dinikmati baik oleh penonton yang hadir langsung di Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad maupun penonton yang menyaksikan secara daring melalui siaran langsung di kanal YouTube Kraton Jogja.

Whats App Image 2025 04 01 at 00.00.07 (1)

Meski penonton yang hadir di lokasi datang silih berganti, tak sedikit yang bertahan hingga pagi. Munculnya wayang berwujud binatang yakni gajah dan macan menjadi primadona dan mengundang decak kagum penonton. Para pemirsa daring maupun yang hadir secara luring, dibuat terharu dengan satu adegan ikonik dalam lakon ‘Sumantri Ngenger’ yakni ketika Sukasrana tak mau pulang dan ingin ikut sang kakak—Sumantri.

“Lakon Sumantri Ngenger ini yang jadi favorit dan selalu ditunggu-tunggu memang dialognya Sukasrana yang ‘kakang ati, aku arep melu kakang ati’. Wah waktu adegan dan dialog ini muncul, semuanya ikut terharu,” ungkap Mg Ragil Jalu Pangestu, Kanca Magang dari Abdi Dalem Dhalang/Cermo, yang dalam bedhol songsong kali ini bertugas sebagai pimpinan produksi. 

Whats App Image 2025 04 01 at 00.00.07

Fajar segera menyingsing, sesosok wayang golek hadir menjadi penanda hampir berakhirnya pementasan wayang kulit semalam suntuk. Kehadiran wayang golek di akhir cerita mengajak seluruh penonton nggoleki atau mencari nilai-nilai kebaikan serta ajaran luhur dari keseluruhan penampilan wayang kulit yang telah disaksikan bersama. Tepat pukul 04.38 WIB pada Selasa (01/04) gunungan wayang pun ditancapkan di pelepah pisang yang merupakan bagian dari satu set kelir wayang, penanda tancep kayon atau berakhirnya pementasan wayang kulit semalam suntuk. Cerita Sumantri Ngenger telah usai dibawakan, penanda Hajad Dalem Garebeg Sawal Je 1958 telah purna terlaksana.