Simposium Internasional Budaya Jawa: “Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta”
- 10-03-2020
Pementasan Beksan Lawung Ringgit oleh KHP Kridhomardowo menjadi suguhan pembuka dalam Simposium Internasional Budaya Jawa “Busana dan Peradaban Keraton Yogyakarta” yang berlangsung pada 9-10 Maret 2020 di Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo, Yogyakarta. Acara yang diikuti oleh sekitar 500 peserta ini merupakan bagian dari rangkaian Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X.
GKR Hayu, selaku ketua panita, dalam sambutan mengutip pepatah jawa “Ajining Raga Gumantung Saka ing Busana” bahwa busana memiliki peranan penting terhadap tubuh, bukan hanya melindungi jasmani, namun juga menjadi media identifikasi terhadap gender, profesi, kekuasaan, dan tata nilai yang menguatkan identitas. Busana sebagaimana budaya juga berkembang mengikuti zaman. Untuk itu, melalui penyelenggaraan simposium Gusti Hayu mengungkapkan harapan,“agar catatan-catatan masa lalu mengenai busana dapat digali kembali, hasil-hasil penelitian didiskusikan, dan perbedaan pendapat kita rayakan sebagai hal yang memperkaya ilmu pengetahuan.”
Simposium Internasional Budaya Jawa dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Turut hadir dalam kesempatan tersebut KGPAA Paku Alam X, Bupati Sleman Sri Purnomo, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) DIY dan sejumlah tamu undangan. Simposium ini menghadirkan pembicara dari dalam serta luar negeri. Beberapa di antaranya yaitu, Dr. Sandra Sardjono (Tracing Pattern Foundation, San Fransisco, Amerika Serikat), Dr. Siti Maziyah, M. Hum (Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang), Dr. Dick van der Meij (Digitised Repository of Endangered and Affected Manuscripts in South-east Asia, Belanda), Muhammad Rendrawan Setiya Nugraha (Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta), Dr. Jennifer Lindsay (Honorary Associate Professor, The Australian National University), Dr. Theresia Suharti/Nyi KRT Pujaningsih (KHP Kridhomardowo, Keraton Yogyakarta), dan Retno Purwandari, S.S, M.A. (Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Selain pembicara tamu, juga dihadirkan 9 orang yang abstraknya terpilih melalui call for paper.
Pembahasan busana dan peradaban Keraton Yogyakarta dibagi dalam empat tema yang dibahas selama dua hari, yaitu sejarah, filologi, seni pertunjukan, dan sosial budaya. Masing-masing pembicara diberi kesempatan memaparkan presentasinya selama 20 menit sebelum sesi tanya jawab. Mekanisme tanya jawab tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui aplikasi online dan ditampilkan dalam layar. Salah seorang pembicara, Jennifer Lindsay, memberikan apresiasi, “Ini simposium yang paling efisien yang pernah saya hadir”. Lebih lanjut, Beliau menambahkan alasannya,“Saya suka sistem di mana penanya itu harus melalui layar (aplikasi), sangat membantu supaya ngga membuang-buang waktu.”
Pada hari ke-2 dilaksanakan talkshow bertajuk "Digitalisasi Budaya di Keraton Yogyakarta". GKR Hayu dan KPH Notonegoro memublikasikan proses digitalisasi budaya yang tengah dilakukan Keraton Yogyakarta, yaitu penggarapan Kapustakan. Kapustakan adalah sistem digital yang memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi terkait naskah dan obyek museum Keraton Yogyakarta secara mudah. Prosesnya masih berlangsung, namun sebagian hasil digitalisasi sudah dapat diakses melalui laman www.kratonjogja.id/kapustakan.
Dalam dialog ini juga diluncurkan buku transliterasi Serat Menak “Amir Hamza” jilid I dari aksara jawa ke latin hasil kerjasama Keraton Yogyakarta bersama Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Serat Menak “Amir Hamza” merupakan teks yang ditulis oleh GKR Hageng, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan ikut dijarah oleh Inggris saat peristiwa Geger Sepehi pada 1812. Setahun yang lalu, naskah tersebut telah dikembalikan kepada keraton dalam bentuk digital, sedangkan naskah asli masih tersimpan di British Library.
Selanjutnya, seluruh tulisan yang telah dipresentasikan akan diunggah dalam website resmi Keraton Yogyakarta, kratonjogja.id. Dalam laman tersebut juga dapat dilacak kembali proceeding, atau kumpulan tulisan dalam simposium tahun sebelumnya. Harapannya agar seluruh sistem terkait registrasi, pembayaran, dan publikasi simposum terangkum menjadi satu sehingga pembahasan mengenai kekayaan budaya Jawa dapat lebih mudah dipelajari.