Dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono. Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram, beliau akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi seluruh masyarakat Yogyakarta.
Sedari kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Berkat kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa, beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.
Mengenai ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan dalam Serat Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta memberikan pertolongan kepada yang lemah.
Sifat beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya. Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit. Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana diantaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti beliau ini kemudian meluas hingga ke masyarakat umum pada tahun 1750.
Perjuangan atas Bumi Mataram
Era tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela, dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.
Untuk memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu -Susuhunan Paku Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram. Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.
Atas dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa, Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.
Perjuangan Pangeran Mangkubumi melawan Belanda yang diabadikan dalam relief di sekitar kompleks Pagelaran Keraton Yogyakarta. Sumber: Tepas Tandha Yekti
Di sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember 1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi.
Kegagalan menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.
Ilustrasi Tuan Sarip Besar yang ditugaskan untuk menemui Pangeran Mangkubumi dalam relief di sekitar kompleks Pagelaran Keraton Yogyakarta. Sumber: Tepas Tandha Yekti
Pada tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.
Dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat
Dalam Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi, sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya tata ruang dan bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great builder”, sejajar dengan Sultan Agung.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti (hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan) serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam). Semuanya menjadi nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak hanya bagi keraton tetapi juga masyarakat Yogyakarta.
Pangeran Mangkubumi dan mahakarya peninggalannya yang diabadikan dalam relief di sekitar kompleks Pagelaran Keraton Yogyakarta. Sumber: Tepas Tandha Yekti
Dalam bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya adalah: Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo.
Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3 November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa.