Ketika tiba masa perjanjian Giyanti, dan berlanjut ke perpindahan keluarga besar Sri Sultan Hamengku Buwono I ke Keraton Yogyakarta, RM. Sundoro mulai tinggal di dalam keraton dengan status putera raja. Semenjak itu pula kecintaan dan kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada RM. Sundoro meningkat. Pada tahun 1758, ketika RM. Sundoro dikhitan, beliau diangkat menjadi putra mahkota.
Sesungguhnya melalui permaisuri yang pertama, GKR. Kencono, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah menetapkan putera mahkota bahkan sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti. Raden Mas Ento, demikian nama putera mahkota tersebut. Pujangga keraton menuliskan bahwa sepulang dari perjalanan ke Borobudur, Raden Mas Ento jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Oleh karena itu, status putra mahkota kemudian disematkan kepada RM. Sundoro.
Ketika RM. Sundoro beranjak dewasa, Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat menjodohkannya dengan puteri keraton Kasunanan Surakarta. Melalui pernikahan tersebut, Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya masih menyimpan keinginan untuk menyatukan Dinasti Mataram yang telah terpecah. Tercatat RM. Sundoro berkunjung ke Surakarta pada tahun 1763 dan 1765. Upaya perjodohan ini gagal. Puteri Paku Buwono III akhirnya menikah dengan putera Adipati Mangkunegoro I. Lambat laun, perkembangan masing-masing Keraton dan Kadipaten menunjukkan situasi yang semakin permanen. Dinasti Mataram semakin sulit untuk disatukan kembali.
Pada masa muda RM. Sundoro, hubungan Keraton Yogyakarta dengan Surakarta mengalami ketegangan. Faktor pemicunya adalah batas wilayah yang tidak jelas di antara dua kerajaan tersebut. Jalan damai yang diupayakan melalui jalur pernikahan antara dua kerajaan tidak membuahkan hasil. Hingga pada tanggal 26 April 1774, disusun perjanjian Semarang atas prakarsa Gubernur VOC Van de Burgh. Perjanjian ini memberi batasan tegas pembagian wilayah sebagai upaya mencegah konflik terulang kembali.
RM. Sundoro dewasa melihat, baik dari Perjanjian Giyanti maupun Perjanjian Semarang, membuat kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Kedua perjanjian itu lebih menguntungkan VOC karena wilayah kekuasannya justru mengalami perluasan. Tekanan dari VOC juga semakin mencolok baik ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I maupun Sunan Paku Buwono III mulai menunjukkan gejala kemerosotan kesehatan.
Semenjak itu pula kebencian RM. Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya semakin membesar. Akan tetapi, kenyataan ini justru membuat Sri Sultan Hamengku Buwono I semakin sayang dan menaruh harapan besar agar RM. Sundoro mampu mempertahankan dan melindungi Yogyakarta dari rongrongan bangsa asing. Hal ini diwujudkan dengan membuat perayaan atas penetapkan RM. Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Peristiwa ini menurut beberapa sejarawan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk mengabadikan pergantian abad Tahun Jawa (1700) yang biasanya ditandai dengan peristiwa penting di bumi Jawa.
Dengan status sebagai calon pewaris sah tersebut, RM Sundoro mulai melakukan gerakan-gerakan perubahan di dalam keraton dan berupaya melindungi Keraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Beliau berupaya menggagalkan pembangunan Benteng Rustenburg inisiatif Komisaris Nicholas Hartingh sejak tahun 1765 dengan cara mengerahkan pekerja dari keraton untuk membangun tembok baluwarti mengelilingi alun-alun utara dan selatan. Tak lupa, untuk meningkatkan pertahanan, sebanyak 13 meriam ditempatkan di bagian depan keraton menghadap ke arah benteng Belanda tersebut.
Sikap anti Belanda ini semakin mewujud setelah penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Beliau menolak tegas permintaan wakil VOC yang menuntut disejajarkan posisi duduknya di setiap acara pertemuan dengan sultan. Selain itu, tanpa melibatkan VOC, Sri Sultan Hamengku Buwono II menunjuk sendiri patihnya untuk menggantikan Danurejo I yang meninggal dunia pada Agustus 1799.
Terjadi banyak peristiwa penting pada periode awal abad ke-19. Sebagai sebuah perusahaan dagang, VOC bangkrut dan oleh karena itu dibubarkan. Pada saat yang hampir bersamaan Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Napoleon dari Perancis. Bekas wilayah yang dikuasai VOC kemudian dikendalikan di bawah pemerintah kolonial. Menandai perubahan tersebut, pada tanggal 14 Januari 1808, Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah kendali Perancis, menggantikan posisi pimpinan sebelumnya yang dipegang oleh Albertus Henricus Wiese.
Daendels membuat perubahan mendasar yang menjadikan seluruh kerajaan di bekas jajahan VOC sebagai bawahan dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, ia mengharuskan Raja Jawa tunduk kepada Raja Belanda. Daendels juga mengeluarkan aturan bahwa hak pengelolaan hutan harus berada di bawah pemerintah kolonial.
Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut. Hingga di kemudian hari, Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Akibat dari tekanan tersebut, Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo sebagai Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.
Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan. Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan karena keburu Inggris datang dan memukul mundur Belanda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil kembali tahtanya. Beliau menurunkan status Hamengku Buwono III kembali ke posisi sebelumnya dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang didapati terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Sifat keras Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau berhadap-hadapan dengan bangsa asing. Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.
Kembalinya Sri Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan ke Pulau Jawa pada tahun 1815 tidaklah lama. Setelah penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816, Belanda segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tangal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon.
Sementara, selama kurun waktu tersebut berlangsung, di Yogyakarta sedang dilanda kondisi tidak menentu. Sri Sultan Hamengku Buwono III meninggal, kemudian digantikan oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Tidak bertahta cukup lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih belia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, dipahami oleh Belanda bahwa selain menjadi ancaman juga bisa menjadi penengah karena didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana. Maka diputuskan untuk memulangkan kembali Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta, dan mengangkat kembali sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.
Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sri Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis. Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede karena pada saat itu sedang berkecamuk Perang Jawa sehingga tidak memungkinkan untuk diadakan prosesi hingga Makam Raja-Raja di Imogiri.
Peninggalan Sri Sultan HB II
Sebagaimana Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan Hamengku Buwono II juga meninggalkan karya-karya monumental. Mulai dari membentuk korps/satuan keprajuritan yang dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan yang lebih baik, hingga membangun benteng baluwarti yang dilengkapi meriam untuk melindungi keraton dari serangan luar.
Di bidang sastra beliau mewariskan karya-karya heroik yang berbau pertahanan dan militer, seperti: Babad Nitik Ngayogya dan Babad Mangkubumi. Dua karya babad ini menceritakan perjuangan berdirinya Keraton Yogyakarta. Juga karya sastra yang bersifat fiksi, lahir berkat beliau, di antaranya Serat Baron Sekender dan Serat Suryaraja. Yang terakhir merupakan karya pustaka yang dijadikan pusaka bagi Keraton Yogyakarta.
Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk membuat berbagai bentuk wayang kulit dengan watak perang dan menggubah wayang orang dengan lakon Jayapusaka. Tokoh utama dalam lakon tersebut adalah Bima yang begitu tepat menggambarkan watak jujur, keras dan juga tegas dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.