Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo, demikian nama kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, yang merupakan puteri Paku Buwono VIII dari Surakarta tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karena itu, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat, GRM Murtejo menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13 Agustus 1877.
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, perkembangan industrialisasi meningkat seiring era Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Hal ini bisa dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pabrik gula waktu itu. Tak kurang terdapat 17 pabrik gula berdiri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pabrik-pabrik tersebut terdiri dari pabrik milik Kasultanan, swasta maupun milik Belanda. Dari setiap pabrik, beliau menerima uang sebesar f 200.000 (f = florin, rupiah Belanda) dari Pemerintah Belanda.
Berlakunya era liberalisme semenjak 1870 juga memberi keuntungan bagi Sultan, yaitu dengan diperkenalkannya sistem Hak Sewa Tanah untuk masa sewa 70 tahun. Selain itu karena kebutuhan pengangkutan gula, dibangun pula sarana transportasi berupa jalur kereta api serta lori-lori pengangkut tebu. Pembangunan jalur kereta api ini diprakarsai oleh perusahaan swasta Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Ongkos sewa dari pemakaian jalur ini lagi-lagi masuk ke keuangan keraton. Maka tak heran jika kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga dikenal sebagai Sultan Sugih.
Era Hamengku Buwono VII merupakan masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah didirikan. Beliau juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi, bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.
Pada masa Hamengku Buwono VII, seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata. Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman. Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan wayang, sehingga semenjak akhir 1918 pentas semacam itu semakin marak.
Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu banyak berdiri organisasi-organisasi massa.
Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.
Menjelang pertambahan usia beliau yang ke 81, Sri Sultan Hamengku Buwono VII merasa sudah saatnya turun tahta. Pada tahun 1920, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengemukakan niat tersebut kepada patih Danurejo VII dan kepada pemerintah Hindia Belanda. Beliau sendiri memilih madeg pandhita, dan mesanggrah di pesanggrahan Ambarukmo.
Keputusan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari desakan pemerintah Belanda yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Progam ini dirasa oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai penyempitan ruang gerak beliau sebagai Sultan. Salah satu isi dari program tersebut adalah penghapusan sistem apanage yang mengembalikan semua tanah menjadi milik raja. Sepintas program itu seperti memberi kuasa mutlak kepada raja untuk memiliki kembali tanah-tanahnya. Akan tetapi, pasal lain dari program tersebut mengharuskan pengelolaan berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Hasil pengelolaan tanah-tanah tersebut harus disetor melalui lembaga bernama kas daerah (landschapkas), yang mana patih di bawah pengawasan residen menjadi penanggungjawabnya. Uang yang terkumpul tidak boleh dipergunakan langsung oleh keraton/sultan melainkan harus sepersetujuan residen. Di sini secara politis sultan seakan menjadi pegawai dari struktur pemerintahan Hindia Belanda.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian menunjuk penggantinya, GRM Sujadi, semata-mata demi terjadinya suksesi yang mulus dan kondisi pemerintahan yang stabil di bawah pengaruh Belanda yang terus mencengkeram.
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII
Selain pabrik gula, jalur kereta api dan bangunan bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo, Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak, namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.
Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII Tugu Golong Gilig yang hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII wafat pada tanggal 30 Desember 1921 (29 Rabingulakir 1851). Beliau dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.