Masjid Pathok Negara Sebagai Pilar Kasultanan Yogyakarta
- 26-12-2016
Keberadaan masjid menjadi salah satu pilar bagi berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Selain Masjid Gedhe yang berada di pusat pemerintahan, Kasultanan Yogyakarta juga membangun masjid di empat penjuru mata angin. Keempat masjid ini disebut sebagai Masjid Pathok Negara.
Secara makna kata, pathok berarti sesuatu yang ditancapkan sebagai batas atau penanda, dapat juga berarti aturan, pedoman ,atau dasar hukum. Sementara negara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan. Sehingga pathok negara bisa diartikan juga sebagai batas wilayah negara atau pedoman bagi pemerintahan negara.
Secara lokasi, posisi Masjid Pathok Negara berada di wilayah pinggiran Kuthanegara, tepat berada di perbatasan wilayah Negaragung. Kuthanegara dan Negaragung adalah sistem pembagian hirarki tata ruang dalam wilayah kerajaan Mataram Islam. Jika wilayah Kuthanegara adalah tempat dimana pusat pemerintahan berada, maka Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang berfungsi sebagai pelingkup atau penyangga pusat pemerintahan.
Pathok negara juga merupakan nama jabatan Abdi Dalem di bawah struktur Kawedanan Reh Pangulon. Abdi Dalem Pathok Negara adalah Abdi Dalem yang menguasai bidang hukum dan syariat agama Islam. Para Abdi Dalem ini diberi wilayah perdikan dan ditugasi mengelola masjid di wilayah tersebut, termasuk memberikan pengajaran/pendidikan keagamaan kepada masyarakat yang berada di sekitar bangunan masjid.
Secara keseluruhan Masjid Pathok Negara memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, tempat upacara/kegiatan keagamaan, bagian dari sistem pertahanan, sekaligus bagian dari sistem peradilan keagamaan yang disebut juga sebagai Pengadilan Surambi. Pengadilan ini memutus hukum perkara pernikahan, perceraian atau pembagian waris. Sementara untuk hukum yang lebih besar (perdata atau pidana) diputus di pengadilan keraton.
Denah Masjid Pathok Negara.
Sumber: Tepas Tandha Yekti
Keempat Masjid Pathok Negara dibangun di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Masjid-masjid ini meliputi Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Arsitektur Masjid Pathok Negara
Masjid Jami’ An-Nur di Mlangi didirikan dan dikelola oleh BPH. Sandiyo, atau lebih dikenal sebagai Kyai Nur Iman. Beliau adalah saudara Sri Sultan Hamengku Buwono I, merupakan putra dari Raja Mataram, Susuhunan Amangkurat IV.
Masjid Mlangi berdiri seiring dengan lahirnya daerah Mlangi, berkat hadiah tanah perdikan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada Kyai Nur Iman pada tahun 1758. Masjid ini berdiri di atas tanah seluas 1000 meter persegi, terdiri atas bangunan utama seluas 20 x 20 meter persegi, serambi seluas 12 x 20 meter persegi, ruang perpustakaan 7 x 7 meter persegi, dan halaman seluas 500 meter persegi.
Pada awal berdirinya, masjid ini memiliki 16 tiang utama dari kayu jati. Terdiri dari 4 saka guru dan 12 saka penanggep. Namun seiring kebutuhan masyarakat sekitar, bangunan ini mengalami perubahan besar-besaran pada tahun 1985. Masjid dibuat bertingkat dengan pilar-pilar beton, hanya bentuk asli masjid ini yang dipertahankan dengan cara diangkat ke lantai atas. Salah satu bagian masjid yang tidak berubah adalah mustaka, atau mahkota masjid.
Kini Masjid Mlangi dikelola sepenuhnya oleh masyarakat. Meskipun demikian, keraton masih menempatkan Abdi Dalem sebagai salah satu penanda bahwa masjid tersebut adalah Kagungan Dalem. Saat ini ada sekitar sembilan pondok pesantren yang dipimpin oleh para kyai yang merupakan keturunan Kyai Nur Iman. Tidak kurang ada 1000 santri yang belajar di pondok-pondok tersebut.
Menurut salah satu pengurus takmir, Masjid Plosokuning sebenarnya berdiri sebelum keraton dibangun. Masjid ini didirikan oleh Kyai Mursodo, beliau adalah anak dari Kyai Nur Iman Mlangi. Posisinya kala itu berada di selatan bangunan yang sekarang. Dikisahkan sesaat setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I membangun keraton dan Masjid Gedhe, beliau memindahkan Masjid Plosokuning dari posisi sebelumnya ke posisi yang sekarang.
Arsitektur bangunan masjid juga mengalami perubahan, mengikuti bentuk dari Masjid Gedhe. Hal ini terlihat dari model atap tumpang dan mustaka di atasnya. Hanya saja jika Masjid Gedhe terdiri dari tiga tumpang, maka Masjid Plosokuning ini hanya terdapat dua tumpang sama seperti pada Masjid Pathok Negara lainnya.
Di antara Masjid Pathok Negara, Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning termasuk yang terjaga keasliannya. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah keberadaan kolam yang mengelilingi masjid. Di kolam ini orang-orang membasuh kaki dan membersihkan diri sebelum memasuki masjid. Desain masjid dengan kolam tersebut adalah penyesuaian terhadap budaya masyarakat saat itu yang melakukan kegiatan sehari-hari tanpa mengenakan alas kaki.
Kolam Masjid Pathok Negara Mlangi
Sumber: Tepas Tandha Yekti
Masjid Nurul Huda terletak di wilayah Kauman, Dongkelan. Tepatnya di Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Masjid ini merupakan salah satu saksi bisu peran Masjid Pathok Negara sebagai sistem pertahanan. Di masa perlawanan Pangeran Diponegoro, masjid ini ludes dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pejuang pengikut Pangeran Diponegoro.
Masjid Nurul Huda didirikan pada tahun 1775 dengan Kyai Syihabudin sebagai penghulunya. Bangunan awal masjid ini beratapkan ijuk. Ciri utama sebagai Masjid Pathok Negara terletak di mustaka tanah liatnya. Mustaka tersebut kini tidak lagi berada di atap masjid, namun disimpan dalam kotak kaca. Mustaka ini pula yang tersisa dari bangunan ini ketika ludes dibakar Belanda.
Masjid Jami' Ad-Darojat terletak di Babadan, Bantul. Dibangun pada Tahun 1774 di atas tanah seluas 120 meter persegi, masjid ini juga mengikuti arsitektur bangunan Masjid Pathok Negara yang lain. Bangunan ruang utamanya menggunakan konstruksi tajug dengan empat saka guru. Di sampingnya terdapat pawestren, ruang yang diperuntukkan khusus bagi jamaah wanita. Serambi masjid berbentuk limasan serta dilengkapi juga dengan kolam sebagai tempat bersuci.
Pada tahun 1943 terjadi peristiwa penggusuran oleh pemerintahan Jepang. Daerah Babadan masuk dalam wilayah perluasan pangkalan udara. Penduduk sekitar masjid berbondong-bondong menuju ke daerah Kentungan, yang disebut juga sebagai Babadan Baru. Bersamaan dengan hal ini, seluruh bangunan masjid turut dibawa serta. Baru pada tahun 1960 dibangun masjid kembali di lokasi lama, dan pada tahun ini pula nama Masjid Ad-Darojat digunakan.
Mustaka tanah liat yang menjadi ciri khas Masjid Pathok Negara juga terdapat di sini. Meskipun pada tahun 2003 diganti dengan mustaka kuningan, mustaka asli masih disimpan dan dipelihara.
Falsafah dan Makna Masjid Pathok Negara
Dalam falsafah Jawa dikenal istilah kiblat papat limo pancer, atau yang dikenal juga dengan mancapat-mancalima. Falsafah ini diwujudkan dengan posisi empat Masjid Pathok Negara di empat penjuru mata angin, dengan Masjid Gedhe sebagai pusatnya. Hal ini adalah perwujudan konsep mandala. Jumlah tumpang pada atap digunakan sebagai pembeda antara posisi Masjid Gedhe sebagai pusat dan keempat masjid lainnya sebagai penjuru.
Mandala dalam konsep pemerintahan merupakan penggambaran keharmonisan antara makrokosmos dengan mikrokosmos (rakyat dan pusat kekuasaan). Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.
Selain konsep mandala, terdapat juga konsep “dunia waktu”, yaitu penggolongan empat dimensi ruang yang berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat. Konsep ini merupakan penggambaran kesadaran diri manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan alam semesta.
Makna terdalam dari konsep ini adalah apabila manusia mampu mengendalikan eksistensi ganda elemen kehidupan maka akan tercapai kesempurnaan lingkaran mandala di dalam dirinya. Maka keberadaan Masjid Pathok Negara dengan Masjid Gedhe di tengahnya ini, memberi peringatan kepada para penghuninya agar mengenali dirinya sendiri serta menyatu dengan alam semesta.
Interior Masjid Pathok Negara Babadan
Sumber: Tepas Tandha Yekti